why me #32

138 9 0
                                    

Mimpi buruk itu seolah tak ingin berhenti mengusik tidurku. Ia kerap membuatku terjaga saat dini hari tiba. Dengan kondisi yang masih sama. Keringat dingin, napas tak beraturan dan membuatku enggan untuk melanjutkan tidur kembali. Padahal saat di puncak, tidurku sangat lelap. Apa ini ada hubungannya dengan Laras? Benarkah Laras benar-benar ingin menghantui hidupku? Ia ingin menuntut balas padaku? Arwahnya gentayangan? Apa yang ia inginkan? Kematiankukah?

Bagaimana jika aku pergi dari kota ini, apa ia masih tetap akan menghantui hidupku?

Huh.

Aku melangkah keluar dari toko roti dengan gamang. Hari ini adalah ulang tahun Danar. Sebuah kue ulang tahun berukuran jumbo baru saja kubeli lengkap dengan pahatan nama Danar di sana. Kue tart cokelat dengan ornamen kepala Mickey Mouse yang sengaja kupesan pada pembuat roti di sana. Meski Danar bukan anak-anak lagi, tapi, aku ingin memberinya kejutan besar kali ini. Saat ia pulang kuliah nanti, aku ingin mengejutkannya dengan dua batang lilin yang membentuk angka 20, yang menyala di atas kue tart. Aku juga ingin menghadiahinya krim spesial di hidungnya, bahkan di seluruh wajahnya. Pasti akan menyenangkan!

Ah. Tapi, aku juga harus membelikannya kado. Apa? Kaus, kemeja, sweater, jam... Aku tidak tahu harus membelikan Danar apa. Meski aku sangat mengenal Danar, tapi, untuk hal satu ini aku tidak punya ide sama sekali. Pikiranku buntu!

Aku menatap ke sekeliling. Siang yang terik, debu beterbangan ke mana-mana, polusi udara yang sempurna, dan aku tetap memilih jalan kaki ketimbang naik angkutan umum. Kebetulan rumah Danar tak begitu jauh dari toko roti, jadi, rasanya tanggung jika aku menaiki kendaraan umum. Meski aku sebenarnya sangat benci melakukan hal ini. Aku tidak nyaman dengan sinar matahari!

Tiba-tiba pandanganku tertumbuk pada seorang anak kecil, mungkin berusia satu setengah atau dua tahun, yang sedang bermain bola di atas trotoar. Jaraknya cuma beberapa jengkal dari tempatku berdiri. Di sebelahnya berdiri sebuah warung kopi dadakan beratap sehelai terpal berwarna biru. Mungkin ia anak pemilik warung itu. Entahlah.

Tenggorokanku mendadak kering saat melihat warung kopi itu. Cuaca panas dan segelas es teh adalah sebuah kombinasi yang sempurna. Seperti menemukan oase di padang pasir yang kering kerontang.

Tak perlu pikir panjang untuk melangkahkan kakiku ke arah warung tenda itu. Aku bergegas memesan es teh dalam kemasan plastik. Jika mama tahu aku jajan sembarangan seperti ini, ia pasti akan ngomel seharian. Ya, aku akui jajan sembarangan apa lagi di pinggir jalan seperti ini adalah kebiasaan tidak sehat. Debu, asap, air yang dipergunakan sebagai bahan dasar minuman, es batu... Semuanya tidak masuk standar kesehatan mama. Tapi, untuk kali ini adalah pengecualian. Aku janji ini adalah jajan sembaranganku yang terakhir kali. Setelah ini aku akan memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuhku.

Sebuah plastik bening berisi cairan teh dan bercampur dengan es batu telah berada dalam genggaman. Aku menyeruput minuman itu melalui sedotan dan rasa dingin mulai menjalar di dalam leher lalu bermuara di perut. Berbanding terbalik dengan hawa panas yang ditawarkan matahari siang ini. Mungkin setelah ini aku terserang pilek atau batuk.

Aku beranjak dari tempat dudukku dan bermaksud melanjutkan langkah. Rasa hausku telah terobati dan separuh semangatku telah kembali. Aku harus segera pulang tepat waktu sebelum Danar mendahuluiku.

Anak kecil itu masih bermain di tepi jalan bersama bolanya. Sepertinya ia terlalu bersemangat saat menendang bolanya hingga benda bundar itu menggelinding ke jalan raya. Tanpa pikir panjang, karena anak sekecil itu belum bisa berpikir dengan baik, ia berlari ke jalan untuk mengejar bola kesayangannya. Tanpa menghiraukan bahaya jenis apapun yang sedang mengancam jiwanya. Juga tak ada yang melarang perbuatannya karena ia sendirian.

Aku tersentak. Otakku hanya bisa berkata 'bahaya'. Jalan itu lumayan ramai dan benar saja, saat itu ada sebuah mobil yang melaju kencang menuju ke arah anak kecil itu. Ya Tuhan! pekikku panik. Anak itu bisa tertabrak jika tidak diselamatkan secepatnya!

Aku gamang. Aku harus mengambil keputusan dalam waktu yang super singkat, hanya dalam hitungan detik saja. Aku tidak bisa tinggal diam saja melihat bahaya sedang mengancam jiwa orang lain. Terlebih lagi ia hanya seorang anak kecil tak berdosa.

Aku melepaskan kantung plastik di genggaman tangan kiriku begitu saja hingga ia jatuh di tanah dan cairan di dalamnya meluber keluar membasahi aspal yang panas. Sementara kardus berisi kue ulang tahun untuk Danar juga bernasib tak jauh beda. Sungguh, aku tak berniat melemparnya begitu saja. Seingatku, aku menjatuhkan benda itu ke atas trotoar dan berharap isinya tidak rusak saat kardusnya bersentuhan dengan tanah.

Aku berlari ke arah anak kecil itu dan berusaha menarik tubuhnya ke tepi jalan. Aku sudah beberapa kali melihat adegan semacam ini di dalam sinetron, tapi, sungguh ini berbeda dari yang kulihat. Ini jauh lebih sulit dari yang kubayangkan.

Suara derit ban yang bergesekan dengan permukaan aspal terdengar seperti sebuah jeritan panjang. Anak kecil itu sudah berada di tepi jalan meski ia dalam keadaan terjatuh. Tapi, kenapa tubuhku terlalu lambat untuk segera menepi?

Sebuah hantaman keras menimpa tubuhku detik itu juga. Aku melayang di udara selama beberapa saat sebelum akhirnya terlempar dan jatuh di atas aspal yang panas.

Kejadian itu begitu singkat dan aku sama sekali tak melewatkannya sedetikpun. Bahkan saat aku sudah terkapar di atas aspal, aku masih bisa melihat keadaan sekitarku. Debu, sinar matahari yang begitu terik dan menyilaukan mata, anak kecil itu yang berdiri bengong sembari menatap ke arahku, kantung es teh milikku yang isinya sudah berceceran ke mana-mana, juga kardus kue ulang tahun untuk Danar yang teronggok di atas trotoar. Apa kue itu masih utuh? Apa pahatan nama Danar masih bisa terbaca dengan jelas? Lalu ornamen Mickey Mouse?

Orang-orang mulai berdatangan menuju ke tempatku. Suara riuh, panik, bercampur jadi satu. Kenapa sepanik itu? Aku baik-baik saja dan masih tersadar. Kedua mataku bahkan masih bisa melihat sekeliling dengan jelas. Hanya saja tubuhku tak bisa kugerakkan sama sekali. Ya, tubuhku kaku dan kehilangan semua energinya.

Dadaku mulai sesak. Kepalaku juga memberat. Pandanganku berkunang-kunang tepat di saat seseorang bertanya padaku, apa aku baik-baik saja.

Mataku memberat dan menutup perlahan lalu digantikan warna hitam. Gelap. Tak ada setitik cahayapun yang tertangkap oleh retina mataku. Suara riuh panik orang-orang itu juga perlahan samar-samar lalu menghilang. Tak ada suara sama sekali.

WHY ME? #completeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang