L;ack

177 21 2
                                    

Malam menjadi sangat panjang bagi Jin. Pekerjaan, masalah adiknya. Kepalanya sakit.

Ditambah lagi, ia melihat Yoongi yang sedang menunggunya.

Hebat, Yoongi si manusia hibernasi menungguku, batin Jin.

"Hyung." "Dia baik-baik saja."

Jin menghempaskan tubuhnya kasar pada ranjang putih dengan aksen beige nya. Ia lelah, hari ini adalah hari yang panjang. Bukan tubuhnya yang lelah.

Batin, dan pikirannya lelah.

"Kau baik-baik saja, Hyung?" tanya Yoongi, menarik mata Jin untuk meliriknya sebentar. Melihat ekspresi Yoongi yang cemas namun berusaha datar membuat Jin tersenyum geli. Tsundere seorang Min Yoongi bukan apa-apa dihadapannya.

"Kau khawatir?" tanya Jin yang dijawab desisan oleh Yoongi. "Baiklah, kalau begitu, aku baik-baik saja." lanjut Jin.

"Aku khawatir, Hyung." ucap Yoongi hampir seperti bisikan membuat Jin tersenyum.

"Aku hanya lelah, tenang saja." ucap Jin.

Ia tak bohong. Ia lelah.

Benar-benar lelah sampai untuk bernafas pun lelah.

Keheningan terus berlanjut hingga Jin terlelap. Namun, tidak dengan Yoongi. Matanya menatap datar kearah Jin, membiarkan helaan nafas panjang dan berat keluar mengurangi beban.

Melihat Hyungnya seperti ini, Yoongi juga tidak tega. Bekerja untuk membantu adik-adiknya dalam diam, sedangkan sang kakak tak sedarah nya itu sendiri tak melakukan apapun untuk membuat dirinya senang.

Malam panjang terus berlalu, sampai ponsel Jin berdering pelan memabngunkan Jin dari tidur singkatnya. Mata paginya belum bisa melihat jelas.

Kakinya melangkah kekamar mandi menyiramkan air pada kulitnya membangkitkan kesadarannya, membersihkan giginya yang semalam tak ia bersihkan karena lelah.

Waktu masih menunjukkan pukul 6 lewat 09 menit, sedangkan Jin sudah sibuk berkutat didapur. Memasak masakan porsi 7 orang dengan kemampuan makan seperti monster telah menjadi keseharian Jin setelah 7 tahun bersama. Pengecualian untuk Yoongi. Mereka sudah kenal sejak SMP.

Desis dari panci di interupsi oleh suara dering ponsel Jin dimeja makan. Mau tak mau, Jin mematikan kompor dan beranjak keruangan dimana ponselnya berada.

Sebuah panggilan dari nama kontak 'Kyungsoo' muncul sebagai sumber panggilan.

Kyungsoo tak pernah mengontak kecuali darurat, batin Jin.

"Yeoboseyo?" Jin membuka suara.

"Jin-a." suara Kyungsoo sedikit serak.

Kyungsoo lahir ditahun 1993, yang artinya, dia lebih muda satu tahun. Tapi, karena Jin lahir diakhir tahun dan Kyungsoo lahir diawal tahun, maka mereka memutuskan untuk menjadi sebaya.

"Apa ada masalah?" tanya Jin langsung.

Terdengar helaan nafas singkat dari ujung telfon, "Xiumin Hyung masuk rumah sakit. Semalam dia sedikit mabuk, kemudian ada pengendara ugal-ugalan yang menabraknya." info Kyungsoo tenang.

Terbalik dengan Jin yang sudah berteriak tertahan. Entah jika tak ingat ada adiknya, ia akan berteriak dengan suara melengking. Jin menenangkan diri, menghela nafas singkat menyinkronkan pikirannya.

"Lalu dia dimana?" Jin beranjak kedapur, menyiapkan makanan dengan ponsel terapit diantara telinga dan bahunya. Ia sedikit panik dan bergerak cepat untuk mengganti pakaian.

"Aku di Rumah Sakit Yehwa. Dia sedang di UGD." panggil Kyungsoo atau yang disapa D.O itu.

"Aku berangkat sekarang. Tolong jaga Minseok Hyung." pinta Jin dan menutup telfon sepihak.

Ia meraih mantel dan kunci mobilnya dengan cepat, tak menyadari teman seruangannya yang bangun.

"Pagi Ji-" BRAKK!

Belum sempat Yoongi menyelesaikan sapaannya, pintu apartemen sudah dibanting keras. Bukan marah, tapi Yoongi tahu Jin sedang buru-buru.

Daripada menunggu lift, Jin memilih tangga yang cepat. Toh, ia hanya dilantai 7. Basement didepan mata sampai akhirnya ia menemukannya mobilnya, menancap gas menuju Rumah Sakit tempat kakaknya dilarikan.

Jin menaikkan kecepatan kemudi lebih dari biasanya. Cukup cepat sampai Rumah Sakit berjarak 40 menit itu hanya ditempuh selama 20 menit lebih.

UGD, ia terengah sedangkan matanya mengedar mencari Kyungsoo atau siapapun teman kakaknya maupun dirinya. Sampai matanya berhenti pada bangku tunggu. Ada Chanyeol, Kyungsoo, dan Junmyeon atau disapa Suho disana.

"Kyung! Suho Hyung! Chan!" Jin berlari kearah mereka, matanya sedikit memerah seolah tak berkedip sedari tadi. "Minseok Hyung, dimana? Tidak parah 'kan?" tanya Jin yang tak memperdulikan dirinya yang sudah habis nafas, pundaknya bergetar.

Suho mengusap punggung Jin, menenangkan sedikit teman sebayanya itu, "Bernafaslah dulu.".

Kyungsoo masih bungkam, sedangkan Chanyeol dengan wajah muramnya, hanya menepuk-nepuk pundak Jin.

"Kyungsoo-yaa, jawab aku." panggil Jin lagi. Kyungsoo menggeleng, "Jin, aku sendiri belum dapat kabar atau info apapun sejak satu jam yang lalu." tutur Kyungsoo.

Jin mencelos, matanya kosong tak berarah. Mulutnya bungkam.

"A-ah... Begitukah?" suara Jin sedikit bergetar. Tatapannya bergerak tanpa arah seolah mencari pegangan.

"Tunggulah." Kyungsoo menarik Jin untuk duduk diantara dirinya dan Chanyeol.

Bukan mereka bertiga tidak prihatin. Melihat Jin yang biasa membuat ulah atau bahkan tak tahu diri ketika bermain ketempat mereka patah mental seperti ini juga membuat mereka sakit hati.

"Jin..." Suho memanggil, memastikan bahwa teman sebayanya itu baik-baik saja. Walau Suho tahu jelas.

Jin tidak baik-baik saja.

"Aku baik-baik saja, Hyung. Wajah prihatin mu tak lucu. Kecelakaan adalah hal wajar." Jin tertawa. Terlihat cerah, namun mereka yang sudah mengenal Jin sejak bersahabat dengan Xiumin tahu bagaimana sikap Jin.

Mata Jin yang biasanya penuh kebahagiaan kini meredup bagai lilin padam.

Melihat orang yang sudah dianggap adiknya sendiri seperti itu, Suho juga tak tega. Apalagi Xiumin disana sedang berjuang dengan luka yang tak bisa ia beritahu pada Jin.

"Jin Oppa?" sebuah suara memanggil Jin dengan tenang. Mata Jin teralih pada sosok yang memanggilnya.

"Wendy?" tanya Jin, "Sedang apa disini?" tanya Jin ㅡlagi.

"Aku bekerja disini, kau?" tanya Wendy dengan seragam perawatnya.

"Menunggu kakakku." sahut Jin dengan senyum pahit. Raut wajah manis Wendy berubah, wajah tak enak dan segan berganti menggantikan wajah ramahya tadi, "Ah... Ma...af." Wendy berucap, hampir seperti berbisik.

Jin menggeleng, "Tak perlu seperti itu, itu hal wajar." Jin tersenyum.

Senyumnya menyakitkan... Wendy membatin. Ia bukan tak peka, bisa dilihat bagaimana pahitnya senyum Jin yang tampan.

Jin yang terlihat sempurna.

Bagaimanapun, kejujuran pada hatinya sendiri adalah kekurangannya.

Kejujuran, bahwa dia tidak baik-baik saja.

SenseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang