S;hock

115 12 0
                                    

J I N Y O U N G  terdiam dalam bingung. Mulutnua terbuka dengan mata yang demikian juga terbuka lebar.

Jin menoleh, melihat Jinyoung yabg tengah shok menatapnya.

"Jinyoung-a..."

"Hyung, apa berita itu bohong?"

Jin menghela nafasnya berat. Banyak pikiran atau alasan berkecamuk dipikirannya. Tapi ia tak bisa menolak hatinya untuk memberi gelengan sebagai respon. Ia tahu, tak selamanya ia bisa menutupi kebohongan dengan sempurna. Apalagi, Jinyoung dan Irene sedarah. Jinyoung juga berhak dan wajib tahu.

"Maaf. Aku tak bisa berbohong bukan?" Jin tersenyum sedih. Jinyoung bingung, melihat sang kakak yang menangis membuatnya semakin terjebak keadaan.

"Bin Nuna?" Jinyoung memanggil Binnie.

Binnie menutup mulutnya, menahan tangis. Matanya masih membiarkan air mataengalir dipipinya yang sudah memerah.

"Jinyoung-a... Joohyun Eonni..." Tidak bisa. Sama saja sulit bagi Binnie untuk menahan tangisnya agar tak meledak.
Jinyoung berlari, memeluk sang kakak agar tangisan mereka berdua melebur jadi satu. Tangan Jin merengkuh mereka, menangis dalam hatinya sendiri. Bahkan hatinya kini sudah menjerit kesakitan.

"Bin Nuna, tenanglah. Joohyun Nuna akan baik-baik saja. Kita akan baik-baik saja."

Jin mengelus puncak kepala Jinyoung. Melihat bocah ingusan berusia delapan tahun lebih muda darinya kini bisa menenangkan kakaknya membuat ia sadar bahwa Jinyoung sudah semakin dewasa dan perlahan bisa menjadi sandaran dan tahu bagaimana menjadi kuat.

Dua jam berlalu. Binnie terlelap karena lelah menangis. Sedangkan Jinyoung memeluk Binnie dalam diam selama satu jam kini membiarkan sang kakak tertidur dipangkuannya.

Jin yang duduk disebelahnya hanya mengacak rambut pria itu pelan, membuat Jinyoung mendecih.

"Hyung, kau akan menolong Hyun Nuna?" Jinyoung bertanya tanpa menoleh. Ia takut terkesan tak tahu diri. Sudah menumpang, minto tolong pula. Syukur, respon yang diberikan Jin adalah kebalikannya. Ia menepuk kuat pundak Jinyoung.

"Jinyoung-a, apa itu pertanyaan? Tanpa kau bicara, aku akan pergi mengurusnya. Aku akan menelfon Yoongi, Namjoon, dan Wendy. Untuk menemani kalian, mengerti?" Jinenatap Jinyoung dalam. Jinyoung menggeleng, "Aku bisa menjaga Bin Nuna seorang diri." Tuturnya yakin.

Jin bersikukuh, "Tidak. Ketika seseorang dipuncak emosinya, tenaga, panik, dan emosinya akan bersatu pada puncaknya. Yoobin lebih emosional darimu, tapi tetap kau juga punya tekanan terlalu dalam. Setidaknya harus ada satu orang yang bisa tenang dan rasional disini." Jin meng-skak mat Jinyoung.

Tangannya merogoh ponsel disakunya yang sudah tak menyala dua hari atau lebih.

Tangannya bergerak cepat mencari kontak milik Yoongi yang berada dipuncak kontak paling sering dihubungi. Suara deru panggilan baru berbunyi sekali dan suara Yoongi sudah datang menghampiri pendengaran Jin.

"Ya! Hyung! Aku kha-"

"Jangan banyak bicara. Datanglah bersama  Namjoon dan Wendy. Bawa anak lain juga terserah. Cepat." Tutur Jin menuntut, mengunci pintu dan membawa kunci pintu dan menuju kamarnya mengganti baju. Yoongi diseberang sambungan telfon mendesis tak mau kalah. "Setelah membuat kekacauan lalu kau memaksaku menjadi pembantu?" Jin mendesah lelah, "Yoong, aku harus kekantor polisi. Jangan buat aku mencirogai mu sebagai pelaku." Ucap Jin mengasal.

"Pelaku? Kantor Polisi? Dokter menghubungimu?"

"Tidak. Televisi. Datanglah, aku harus menjadi saksi dan mencari bukti. Binnie dan Jinyoung tetap tak bisa aku tinggal."

"Apa mereka baik-baik saja Oppa?"

"Wen?" "Heum. Ini aku."

"Maaf. Binnie tidak. Dia kacau. Jinyoung terlihat baik tapi tidak sepenuhnya. Maaf karena tidak menghubungimu, tapi aku minta tolong."

"Kami akan kesana. Tunggulah sebentar."

Panggilan terputus. Jin semakin berantakan. Menyusun pikirannya membuatnya semakin jauh dari kata tertata. Yang ada, ia malah semakin merasa gila.

Ia turun, mengabil earphone dan memasangnya keponsel dan telinganya. Yang ia cari adalah video rekaman CCTV kecelakaan Irene.

Tiga sosok gila. Dua pria itu hanya bawahan sedangkan si wanita yang mempekerjakan mereka atau komplotan? Foto zoom rabun dikarenakan gelap.

Mata Jin menutup. Terkejut, tapi tidak juga.

Seorang wanita yang figurnya sangat familiar bagi Jin. Postur dan bahkan sisi samping wajahnya. Jin mengenal wanita yang ia yakini dalang itu dari ujung kaki hingga rambut.

"Gadis itu. Padahal ia selalu ditolong." Jin menggigit ibu jarinya, "Lihatlah rusaknya dia, Nuna."

SenseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang