Suasana apa, ini terlalu canggung. Didepanku hanya ada Jin Oppa dengan wajahnya yang ditenggelamkan diantara kedua lipatan tangannya.
Dua gelas minuman dengan ukuran berbeda bagaikan sekedar formalitas diantara kami. Sedari tadi, sudah setengah jam dan tak ada pergerakan dari Jin Oppa setelah ia membeli minum tadi.
Aku menghela nafas, mengusap rambut hitam legamnya yang terurai dengan lembut. Bukan aku tidak tahu, tapi perasaanku mengatakan bahwa orang yang berusia dua tahun lebih tua dihadapanku ini tengah menangis. Tidak, lebih tepatnya hanya mengeluarkan sedikit air mata.
Aroma Black Rose yang sangat aku kenal menyeruak dari rambutnya. Tapi aroma kali ini lebih menyedihkan.
"Hei, kau mau pulang?" tanyaku, memecah suasana hening. Kepalanya terangkat membawa mata berkaca itu menemui mataku.
Ini adalah kondisinya yang paling berantakan. Matanya sembab, wajahnya sedikit memerah. Ia mengambil minumannya lalu menarik aku pergi.
Deg.
Tunggu, kenapa jantungku berdebar? Tidak. Ini waktu yang salah untuk memiliki perasaan baru.
Dan, Jin bahkan terlihat santai menggenggam tanganku.
Jadi untuk apa muncul perasaan baru padanya?
Cukup lama, sampai Jin menarikku menuju mobil yang terbilang mewah bagiku. Mobil hitam itu, tanpa berkata, tangan Jin bergerak membuka pintu penumpang.
"Masuklah."
Bahkan saat terpuruknya, dia masih bersikap layaknya gentleman seperti ini. Huh, tidak adil.
Aku memilih untuk menurut, membiarkan dia menutup pintu sisiku dan menuju bangku kemudi.
Tak lama, ia bergerak keluar daerah rumah sakit membuatku terbelalak. Pasalnya, dia berkendara dengan jarum kecepatan menunjukkan jarum nya dekat angka seratus.
Bersyukur aku tidak memiliki catatan serangan jantung. Aku bisa mati serangan jantung jika dibawa dengan kecepatan mirip balapan ini.
"J-Jin Oppa. Perlambat laju mobilmu. Terlalu berbahaya jika kau berkendara dengan kecepatan seperti ini!" teriakku tertahan.
"Tenanglah. Percaya padaku." suaranya melembut. Namun tidak dengan kecepatannya. Jarum yang semula berada dibawah angka seratus kini berada di angka seratus dua puluh. Membuatku menjerit spontan. Mataku memejam kuat, bergumam tak jelas seolah saat ini adalah saat terakhirku.
Tanganku menggenggam erat pegangan diatas kepalaku.
Ckiit- Brak!
Mobil yang kunaiki direm mendadak dan sebuah suara bantingan terdengar membuatku khawatir bahwa sang pengemudi menabrak sesuatu.
"Kenapa? Tak mau keluar?"
Jin tengah diluar, disampingku. Dipintu yang telah terbuka, tersenyum mengulurkan tangannya.
Sebuah tunnel yang ditutup lama sepertinya. Disana ada banyak coretan, sofa usang, dan sebuah tempat pembakaran kecil yang terisi kayu-kayu menghitam.
Aku mengucek mataku yang sedikit berair lalu meraih tangan Jin.
Besar. Dan hangat.
Tangan menggenggam tanganku lembut, mengaitkan jemariku diantara jari-jarinya.
Mataku melihat lebih jelas, ada beberapa serat tali tambang panjang yang dipasangkan beberapa foto.
Foto Jin, adik-adiknya, kakaknya, dan beberapa orang tak kukenal yang sepertinya keluarga adiknya.
"Ini tempat kesukaanku bersama Bangtan." Jin membuka suara, memasukkan saku nya
Matanya mengedar, membuat sebuah senyum miringnya mengembang dengan, eum, tampannya.
"Tapi tebak, siapa orang pertama yang membawaku kesini?" Jin bertanya, melepas tautan antara jemari-jemari kami. Membawa tatapan teduh nan sendunya bertemu mataku. Aku menggeleng, memberikan sedikit garis lengkung keatas pada bibirnya.
Ia melangkah mendahuluiku, menempatkan dirinya untuk duduk disofa usang yang mungkin busanya tipis atau hampir tak ada.
Ia melihat metal yang melingkar ditangannya, "Pukul empat lewat limapuluh delapan. Tunggulah, sebentar." ucapnya sambil menepuk sofa disisinya, memberi tanda aku untuk duduk disisinya.
Aku melangkah kesisinya, mengarahkan tangannya membawa tubuhku kedalam lengannya.
"Akan kutunjukkan beberapa hal baru tentang aku padamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sense
Fanfiction"Kau tahu Jin? Keindahan tak hanya bisa diketahui melalui indra pengelihatan. Namun juga indra lainnya." ㅡBae Joohyun, Irene. Bagi Kim Seokjin, semua hal yang dirasa indranya juga adalah hal biasa baginya. Sampai, kalimat sang saudara tak sedarah Ir...