Ponsel Jin bergetar lama menandakan panggilan masuk membuat Jin terpaksa bereaksi mengambil ponselnya dari saku.
Nama kontak Rene Nuna terpampang dipanggilan itu membuat Jin menggeser lambang hijau tanpa ragu.
"Yeoboseyo?"
"Kau dimana!?" suara Irene berteriak dengan suara kendaraan yang terdengar samar membuat Jin jelas terkejut. "Uh, tak perlu berteriak, Nuna. Aku di tunnel biasa." tutur Jin yang disahuti decakan oleh Irene.
Irene mematikan sambungan itu sepihak lalu menancap gas menuju tempat kesukaannya pergi bersama Jin semasa Sekolah Menengah Atas.
Ya, Jin hanya lupa bahwa fakta gadis pertama yang pergi bersamanya ke terowongan itu adalah Irene.
Sedikit semburat merah mudah nampak samar dipipi Irene, tangannya mencengkram setir. Jangan salahkan Irene, dulu, dia sangat dekat dengan Jin. Jika kau bertanya pada semua siswa angkatan mereka, mereka pasti akan menjawab bahwa mereka adalah kekasih tak resmi saking dekatnya.
Yah, mereka sempat punya perasaan satu sama lain. Tapi, Irene harus mengubur perasaannya karena sebuah alasan.
Irene melirik pesan yang baru ia ambil dan ia tulis lagi bersama Wendy, nafasnya sedikit tercekat ketika melanjutkan surat itu.
Yah, Irene buruk jika bahasa Inggris. Tapi, Wendy bisa membantu Irene menerjemahkan surat yang ditulis Jin untuk Irene dalam bahasa Inggris dahulu.
Ketika ia paham, Irene sadar bahwa dirinya terlambat. Dahulu, mereka selalu bersama bahkan ketika Sowon telah menjadi kekasih Jin.
Tapi kini, Irene sadar. Ada Wendy disisi Jin.
"Unnie, pesan ini untuk siapa? Astaga, manis namun menyedihkan. Aku bahkan hampir menangis ketika menerjemahkannya." tanya Wendy melihat surat Irene, mata Irene tak menunjukkan banyak perasaan.
Irene tersenyum. "Seungwan-a, apa kau suka pada Jin?" tanya Irene, menatap sosok yang dianggapnya adik dengan lembut, namun sendu.
Ditanyakan seperti itu, semburat merah muda muncul di pipi pucat Wendy, "A-apa sih. Mana mungkin 'kan?" sahut Wendy canggung.
Irene tersenyum, "Baiklah, aku paham." sahutnya singkat. Ia paham, Wendy memiliki rasa yang tumbuh pada Jin. Begitu juga Jin pada Wendy.
"Eum, jadi, Eonni. Itu dari siapa?" tanya Wendy lagi. Irene menggeleng, "Ini surat dari seseorang saat aku SMA. Aku baru tahu ini ada saat aku mengemasi barang-barangku sebelum ke Perancis."
Irene tersenyum pahit. Walaupun terlambat, biarkan dirinya menjadi sosok yang bisa menahan Jin agar tidak jatuh.
Lima belas menit dari sana, Irene meng-rem mobilnya ketika sampai pada tunnel yang dimaksud Jin. Jelas, ada mobil Jin disana.
Irene turun dan berlari pelan, langkahnya terhenti melihat Jin dengan tangannya yang melingkar dipundak Wendy. Irene menghela nafas, entah lega atau sakit. Siapa yang tahu?
Mata Irene bergerak mengikuti dua pasang iris Jin dan Wendy.
Matahari tenggelam. Masih sama seperti beberapa tahun lalu.
Melihat langit yang dulu mereka panda bersama.
Irene tersenyum, mendengar samar perbincangan Wendy dan Jin. Hei, jarak mereka hanya delapan meter.
"Irene Nuna yang membawaku kesini pertama kali." Jin membuka suara membuat kedua pasang mata menoleh padanya, "Joohyun Eonni?" tanya Wendy yang dijawab anggukan oleh Jin.
"Dulu, saat itu dia mengajakku, lalu berkata; Tempat ini, biarkan menjadi saksi bisu kesedihanmu. Datanglah tiap matahari tenggelam lalu biarkan masalahmu tenggelam dalamnya. Lalu besok, Matahari siap bersinar lagi. Hebat bukan?" Jin terkekeh, mengundang garis lengkung dan beberapa tetes air pada Irene.
Maaf.
"Irene Nuna bilang untuk mengajak orang-orang berhargaku kesini. Orang yang akan ku anggap sebagai harta karun ku, dan orang yang akan meletakkan tangannya pada pundakku dan berkata; semuanya akan baik-baik saja padaku." Jin berceloteh lagi, matanya lurus menatap matahari yang turun perlahan. Sementara kini, Wendy dan Irene hanya tertuju pada Jin.
"Joohyun Nuna, Bangtan, Minseok Hyung. Lalu, kini ada kau." ucap Jin tersenyum pada Wendy manis, mendaratkan sebuah kecupan manis nan singkat pada kening Wendy.
Wendy membeku dalam keterkejutan, semburat merah muda muncul, giginya menggigit bibir bawahnya gugup. Jin terkekeh, menemukan fakta bahwa Wendy sangat imut.
Tak jauh berbeda dengan Irene. Bibirnya membentuk lengkungan keatas, mengukir senyum yang cantik pada wajahnya.
Maaf.
Irene memejamkan matanya, tak melepas senyum dari wajahnya. Menarik nafas membiarkan paru-parunya menghirup oksigen lebih dari biasanya.
Adik-adikku sudah bersatu, sudah dewasa.
Jin mencium bibir Wendy. Tanpa apapun, hanya menempelkan kedua bibir mereka, membiarkan tunnel, matahari sore, dan Irene menjadi saksi dalam diam dari pernyataan cinta untuk Wendy.
"Tolong dampingi aku, kau mau, Wendy?" tanya Jin menatap Wendy, matanya teduh memberikan ketenangan untuk Wendy.
Wendy mengangguk, membiarkan Jin menariknya dalam sebuah pelukan hangat dan penuh cinta.
"I like you, Wendy."
"I like you, Jin."
Irene terkekeh, melihat manisnya pasangan itu. Menarik ponsel dari sakunya lalu memotret kedua pasangan itu.
Senyumnya terukir manis. Jemarinya bergerak menuliskan sebuah pesan singkat untuk Wendy.
Joohyun, B.
; Tolong urus Jin, Seungwan.
; Aku percaya padamu.Menghapus air matanya, menghela nafasnya perlahan lalu tersenyum.
I loved you Jin. No, I'm loving you.
Irene melangkah, mendekati dua insan yang melingkarkan lengannya satu sama lain, lalu berdehem memecah hening, "Ehem- kurasa aku menganggu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sense
Fanfiction"Kau tahu Jin? Keindahan tak hanya bisa diketahui melalui indra pengelihatan. Namun juga indra lainnya." ㅡBae Joohyun, Irene. Bagi Kim Seokjin, semua hal yang dirasa indranya juga adalah hal biasa baginya. Sampai, kalimat sang saudara tak sedarah Ir...