N;ever Mind

159 15 0
                                    

Jin Hyung benar-benar menjadi orang yang paling mengerikan disaat dia marah. Bukan marah hanya marah seperti saat ia mengomeli Namjoon yang membakar panci atau Jungkook yang kurang ajar.

Marah. Dimana emosinya tersulut dan terbakar.

Jin Hyung yang pergi seorang diri membuatku khawatir kalau boleh jujur. Tapi, apa boleh buat? Jin Hyung orang yang peka. Ia bahkan bisa mengenaliku hanya dengan derap langkah kakiku. Sepelan apapun itu, ia akan mengenali aku.

Yah, bisa dibilang itu salah satu efek menyebalkan karena kami telah tinggal bersama untuk waktu yang panjang. Jika kau pikir hanya tujuh tahun genap? Tidak, lebih. Kurasa hampir delapan tahun. Ingat, hampir.

Tapi untuk mengenalnya, aku sudah mengenal Jin Hyung selama 9 tahun. Sudah hampir satu dekade aku mengenal Jin Hyung. Sang kakak kelas idaman yang sempurna.

Harus aku akui, awalnya aku menerima tawaran tinggal bersama karena aku butuh biaya dan berhutang budi. Namun kini, aku tinggal dengannya karena ia bagai saudara.

Seandainya dia tak menolongku malam itu, aku sudah menjadi Min Yoongi cincang dan membuat keluarga depresi.

Ya. Sebesar itu hutang budiku pada Jin Hyung.

Dan saat ini, saat ia menunjukkan sisi terpuruk dan tergelapnya, aku tak bisa berbuat apapun.

Menyedihkan? Ya, memang. Aku pun berpikir demikian. Keadaan ini menyedihkan.

Kalian pikir aku akan menghina diriku menyedihkan? Haha, lucu jika seorang Min Yoongi menghina dirinya.

Salah satu sisi Jin Hyung yang mirip denganku; tidak menghina dirinya sendiri.

Kalau boleh jujur, aku belajar mencintai diriku sendiri dari Jin Hyung.

Tapi aku tak pernah tahu, bahwa sebenarnya, Jin Hyung menyumpah pada dirinya sendiri.

Aku meremas rambutku pelan, meredam emosiku. Tenang Yoongi, kau harus tenang. Aku tak stabil sekarang. Aku akan mengambil peran kakak, dan aku tak terbiasa.

Aku selalu bersama Jin Hyung saat menjadi kakak di Bangtan. Bagaimana jadinya aku menengahi mereka tanpa Jin Hyung? Yang lebih menyakitkan lagi... Bagaimana jika mereka tahu sisi ini dari Jin Hyung?

Bukan. Bukan mereka tak akan menerima sisi gelap Jin Hyung. Tapi mereka akan menyalahkan diri mereka sendiri, membuat diri mereka sendiri terpojok. Karena itu, Jin Hyung selalu berusaha menjadi atap.

Melindungi, tapi membelakangi. Tak membiarkan yang berlindung dibawah atapnya melihat tantangan apa yang ia hadapi seorang diri.

Mataku panas, perih. Rasanya air mataku akan pecah sekali saja aku berkedip.

Tapi biarlah, mereka tak akan tahu.

Biarkan aku menangis, aku tak akan terlihat aneh jika menangis di Rumah Sakit.

Aku tak menangis lama, sampai ponsel yang ku aktifkan dalam mode getar itu memberi tanda panggilan.

Jeon Jungkook is calling...

Sialan. Salah satu pendengar saat aku menelfon Jin Hyung.

"Yeobseyo? Hyung, kau dimana?"

Suara Jungkook langsung menyambar memberi pertanyaan tanpa menunggu sahutan. Eish, anak ini benar-benar.

"Kenapa?" tanyaku balik. Ini cara terbaik agar tak diinterogasi kelinci itu.

"Kau pergi dari siang, sekarang sudah pukul 4." ucap Jungkook membuatku spontan melihat jam tangan bermerek Rolex tersebut.

Pukul empat lewat dua puluh tiga menit.

Aku sudah di Rumah Sakit cukup lama.

"Aku sedang ada urusan. Tumben menelfon?"

"Ah, pintar juga kau Hyung. Apa kau bersama Jin Hyung? Dia tak ada kabar. Dari pagi tak ada chat di ruang obrolan maupun telfonku yang diangkat. Padahal hilangnya dari pagi buta." tuturnya terdengar seperti ocehan. Bagaimana pun tubuhnya seperti olahragawan, dia memang bayi yang terlalu sering menempel dengan Jin Hyung.

"Ia sedang membeli kopi. Tenang saja." aku jujur 'kan?

"Kalian dimana?"

Ck, anak itu. Aku sudah menghindari pertanyaan ini, dan dia malah menanyakannya lagi.

"Tak jauh dari rumah Jin Hyung."

"Yoongi-ssi!" aku menoleh mendengar panggilan dari arah kananku. Oh? Kejutan apa ini. Aku bertemu Suho Hyung dan Chanyeol Hyung disini.

"Kook, ada orang dengan urusan penting. Akan ku telfon nanti." ucapku mematikan telfon sepihak. Mati aku jika Suho Hyung dan Chanyeol Hyung mengucapkan masalah Xiumin Hyung.

"Kau disini? Mana Jin?" tanya Suho Hyung. Aku memasang muka datar ㅡyang memang jarang berubahㅡ sambil mengangguk singkat sebagai salam.

"Kau sudah melihatku disini 'kan? Membeli kopi di kafetaria." jawabku seadanya membuat Suho Hyung memutar bola matanya dan Chanyeol Hyung tertawa. Yah, mereka sudah tahu bahwa itu adalah aku.

"Kalian yang mengantar Xiumin Hyung ke Rumah Sakit atau hanya menemani Jin Hyung ke Rumah Sakit?" tanyaku langsung. Sebenarnya, dua orang ini adalah orang yang sulit di lihat oleh Bangtan. Tidakㅡke dua belas manusia biang rusuh itu memang jarang aku temui. Kyungsoo yang sebaya denganku juga tak aku temui.

Ah, pengecualian untuk Xiumin Hyung. Dia sering datang ke tempat Bangtan karena Jin Hyung. Mereka itu lucu. Ketika mereka berkelahi, Xiumin Hyung akan pergi ke Bangtan untuk menjemput Jin Hyung., keluarga pelawak 'kan?

Suho Hyung menatapku dengan mata yang tak bisa ku artikan.

"Aku yang mengantarnya. Ah, kami maksudku." ucap Chanyeol Hyung yang memijat pelan leher Suho Hyung.

Ah,

Aku salah bicara.

Xiumin Hyung memang orang penting bagi EXO, terutama Suho Hyung. Maka, tak aneh juga jika Suho Hyung juga menganggap Jin Hyung seperti adiknya.

"Bagaimana tadi Jin?" tanya Suho. Matanya sedikit meredup, tubuhnya ia banting ke bangku ruang tunggu membuat bangku besi itu sedikit berbunyi.

"Yah, sebelas dua belas dengan dirimu." jawabku jujur, membuat Chanyeol Hyung mendelik padaku. Emosinya sepertinya sedikit terpancing.

Biar lah, aku tak peduli.

Jin Hyung. Xiumin Hyung.

Dua bersaudara Kim itu benar-benar membuatku sesak saat ini.

"Jin bisa melakukan hal berbahaya jika dia pergi sendirian disaat suasana hatinya seperti ini, kenapa kau biarkan ia sendirian?" tanya Suho Hyungㅡlagi.

"Jangan terlalu peduli padanya,"

Aku duduk. Terlalu lama berdiri membuatku lelah. Ah, rasanya aku ingin tiduran sekarang.

"aku berusaha tak peduli pada Jin Hyung karena jika ia sadar ada perhatian berlebih padanya, ia akan merasa menjadi beban." sambungku.

Itu Jin Hyung.

Karena itu, Jin Hyung tak pernah mau menceritakan masa buruknya.

Dan karena itu juga, aku berusaha untuk tidak peduli.

SenseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang