I;mportant

218 19 0
                                    

Wendy memberikan sebuah roti. Roti rasa cokelat yang setidaknya bisa menjadi energi bagi Jin. Semenjak tadi, Kyungsoo, Suho, maupun Chanyeol sudah memaksanya makan. Tapi alibi Jin tetap saja sama.

Aku sudah makan.

Kalau boleh jujur, Wendy tak hanya prihatin melihatnya. Tapi hatinya ikut sedih, seolah remuk melihat Jin patah seperri ini. Jin yang ia temui sebagai atasan baik hati dan penuh senyum, kini roboh.

Dari semua cerita tentang Jin yang pernah didengarnya, semuanya ceria dan memancing tawa. Tak ada yang pedih atau kelam.

Melihat Jin sampai mengabaikan dirinya, bahkan lupa mengurus administrasi hingga akhirnya diurus Suho. Jin benar-benar hilang arah saat ini. Xiumin alias sang kakak Minseok harus dioperasi karena luka tabraknya membuatnya semakin kacau.

"Jin Oppa. Makanlah." panggil Wendy entah untuk ke berapa kalinya.

"Aku sudah kenyang We-" "Alibi mu terus saja begitu." ucap Wendy.

"Aku tahu kakakmu penting. Tapi dirimu juga." ucap Wendy melunak, "Aku berusaha untuk tak marah. Melihatmu begini membuatku marah..." lanjutnya pelan.

"Marahlah."

Karena aku juga marah pada diriku sendiri, sambung Jin membatin.

Ia marah. Kenapa Ia tak bersama kakaknya? Atau sekedar menawarkan jemputan? Kenapa dia harus membiarkan kakaknya minum? Kakanya hanya minum saat tertekan. Adik macam apa yang tak tahu kakaknya tertekan.

Wendy menggigit bibir salah tingkah. Ia tahu, ia salah bicara.

Dan Ia bingung, kenapa dia khawatir pada orang yang baru dikenalnya kemarin.

Jin meraih roti yang ada ditangan Wendy, merobeknya sedikit dan menyuapnya tanpa nafsu kemulutnya.

"Aku makan dengan baik, terimakasih. Tenang saja." ucap Jin. Jin tersenyum.

Masih, Jin masih mempertahakan sisi kuatnya.

Aku baik-baik saja..., Jin membatin, mensugesti dirinya sendiri.

Wendy mengehela nafas pelan, "Shiftku selesai. Aku akan berganti pakaian dan menemanimu. Tunggu aku, Oppa." dan beranjak meninggalkan Jin sebentar.

Jin masih tenggelam dalam pikirannya dan tak melanjutkan makannya. Otaknya masih tak bisa memerintah sarafnya bekerja sampai telfonnya bergetar. Yoongi, Yoongi, dan Yoongi. Lehih dari 25 panggilan tak terjawab dari Yoongi, sebanyak itu panggilan Yoongi akhirnya membuat Jin menyerah dan mengangkat saluran telfonnya.

"Yeobseyi? Kenapa Yoongi-a?" Jin membuka suara.

"Hyung, kau dimana? Dari pagi kutelfon, kenapa pagi tadi kau buru-buru? Cafe mu diurus Jisoo? Kau kemana? Kenapa tidak di Cafe?" tanya Yoongi berturut-turut. Tak salah memang jika dia adalah komposer dan rapper. Dengar saja bicaranya.

"Di Rumah Sakit." jawab Jin singkat membuat suara Yoongi terdengar sedikit khawatir. "Kau baik-baik saja?" tanya Yoongi pelan yang diangguki oleh Jin. Pikirannya terlalu kosong untuk berfikir bahwa Yoongi tak bisa melihatnya.

"Hyung?" Yoongi memanggil.

"Tenang, aku baik-baik saja." Jin menenangkan Yoongi. Matanya hanya melirik Wendy yang sedang berjalan mendekat.

"Kenapa kau disana?" tanya Yoongi bingung. Jin terkekeh, "Sedang apa kau?"

"Aku? Sedang menonton televisi dengan anak-anak." jawabnya jujur. Sepertinya sedikit hiburan boleh juga. Ia juga butuh sang adik terdekat.

"Aku di Rumah Sakit Yuehwa, kemarilah jika mau."

"Kau sedang apa, Hyung? Siapa yang sakit?"

"Datanglah atau tidak sama sekali Min Yoongi. Sampai jumpa." Jin mematikan telfon sepihak, membiarkan Yoongi berdecak dan mengumpat dibelakang sang Kakak.

"Kau sepertinya mendapat hiburan?" tanya Wendy yang sudah duduk disebelah Jin, membungkuk menumpu wajahnya melihat kearah Jin.

Jin menangguk, "Mungkin." karena ia sendiri tak pasti apakah ia benar-benar terhibur.

Tangan Wendy terulur, meraih rambut hitam kecoklatan milik Jin yang agak berantakan. Rambut koma yang menunjukkan keningnya itu disisir pelan oleh Wendy, memberi perasaan lembut dan tenang bagi Jin yang hatinya kacau balau.

Jin bersandar pada pundak Wendy, membuat Wendy sedikit terkejut.

"Aku takut..." Jin sedikit membuka suara. Membuka perasaannya yang sedari tadi ia bungkam, "Aku takut hal buruk terjadi pada Minseok Hyung..." suara serak Jin masih terus menggema.

"Apa yang bisa aku lakukan jika aku kehilangan dia...?" Jin rapuh saat ini. Sangat rapuh.

Hanya sang Kakak. Sang Kakak yang ada disini. Orang tua mereka yang kaya raya berkenala entah kemana. Hanya surat yang dikirim dari berbagai negara tiap tahun. Bahkan Jin tak yakin kedua orang tuanya tahu bagaimana perasaannya dan keadaan putra tertua mereka.

Mata Jin berkilau, memperlihatkan pantulan cahaya yang muncul karena air matanya yang menggenang. Perasaan Wendy juga sakit melihat Jin seperti ini. Ia tahu bagaimana rasa kehilangan.

Tangannya, menarik Jin kedalam pelukannya.

Tangannya, mengelus punggung Jin menyampaikan perasaan hangat.

"Tenanglah..." Wendy terus bersuara dalam keheningan Jin, dalam bisunya, suara Wendy adalah keindahan yang menyentuh telinga dan hatinya.

"Menangislah..." tangan Wendy masih mengelus Jin bagai anak anak, "Aku ada disini."

Retak. Retak sudah pertahanan Jin air matanya mengalir perlahan dalam diam.

Suara Wendy. Sentuhan Wendy. Semuanya memberinya hangat namun juga rapuh.

"Minseok Hyung... Sangat penting bagiku..." Jin bertutur dalam suara serak, mengisak sedikit dalam pedihnya.

Dan Yoongi, melihat sebuah pemandangan luar biasa.

Sang kakak, kini menangis.

SenseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang