S E O K J I N duduk di ujung kasur, membiarkan matahari masuk melalui sela jendela kamarnya.
Matahari samar, tak memberikan titik cerah apapun bagi hati maupun pikiran Seokjin. Matanya mulai tertutup—lagi. Dirinya tidak tidur sejak keluar dari Rumah Sakit. Kuncinya ia rubah, tidak membiarkan siapapun datang padanya.
Ting Tong
Ah, satu pengecualian.
Seokjin bergerak lemas menuju pintu rumahnya. Setelah pintunya terbuka, ia bisa jelas melihat sosok Binnie dan Jinyoung yang sembab matanya. Jin tersenyum merangkul Jinyoung dan mengusap puncak kepala Binnie.
“Tak menangis?” Canda Jin kaku. Binni menggeleng, “Aku harus mrnjaga Jinyoung. Aku tak boleh lemah.” Tutur Binnie mengukir senyum sedih. Jin ikut tersenyum.
Binnie masih muda, terlalu jauh untuk berfikir seperti itu.
Seokjin menyalakan lampu miliknya, mengaktifkan pengeras suara miliknya agar rumah miliknya tidak terlalu sepi untuk kedua anak itu. Binnie membawa tas besar yang akhirnya diambil alih oleh Jin.
"Aku bisa melakukannya sendiri, Oppa." Binnie berujar kesal. Jin menggeleng dan melangkah kelantai atas rumahnya, "Nah, jangan kaku. Aku kakak kalian." tutur Jin menghilang dari jarak pandang Binnie.
Binnie menghela nafasnya, mengalihkan fokusnya pada Jinyoung yang kini sedang mengutak-atik ponsel milik Jin.
"Jinyoung-a? Kenapa?" Binnie mendekat pada Jinyoung yang asyik dengan ponsel milik Jin.
"Oh, Nuna. Entah, aku hanya ingin memutar lagu lain. Playlist Seokjin Hyung terlalu kelam, yang ada aku menangis." Ucapnya. Alis Binnie terangkat sebelah, penasaran. Benar saja, lagu-lagu yang terkenal sedih ada di puncak most played milik Seokjin.
"Jadi kau mau lagu apa?" tanya Binnie memperhatikan Jinyoung. Jinyoung menggeleng, "Seokjin Hyung memasang mode pesawat. Aku tak bisa mencari lagu online." Cibirnya kesal, tepat bersamaan dengan Jin yang turun dari lantai atas.
"Kau mau lagu ceria? Pasang ponselmu atau ponsel Binnie saja. Lalu sambungkan ke wi-fi milikku." Tutur Jin mendekat, mengambil ponselnya. Jinyoung menurut saja, memasang ponselnya dan memutar lagu hip-hop dan lagu pop anak remaja.
Jin beralih menuju dapur memasak makaroni keju instan. Dan memasak sup. Dua bersaudara Bae sedang terdiam didepan televisi. Jin sadar kalau mereka tidak seaktif biasanya. Jin menggeleng, mengabaikan pikiran lamanya.
"Yoobin, Young-a! Kalian tak masalah dengan makanan instan?" Tanya Jin dari dapur. Binnie dan Jinyoung menoleh bersamaan, "Selama bukan mi instan." ucap Binnie.
"Tak boleh pesan pizza, Hyung?" Jinyoung bertanya dengan sebuah pukulan keras dari Binnie sebagai peringatan. Jin terkekeh, "Untuk makan malam saja. Liburan musim dingin kalian disini boleh dihabiskan bermain 'kan?" Goda Jin membuat Jinyoung mengangguk semangat. Binnie menghela nafas mengetahui masalahnya akan bertambah.
- Sense -
Pukul delapan malam. Pizza yang dijanjikan Jin sudah datang, membuat Jinyoung berseru girang, Binnie? Tentu senang, ia hanya menjaga image saja.
"Kalian bermainlah sebentar, aku ada urusan. Paham?" Perintah Jin pada kedua anak itu. Mereka mengangguk.
Jin beralih menuju kamar sang kakak, mengambil ponsel miliknya yang masih dalam mode pesawat.
Bukan ingin menghemat data. Namun Jin hanya ingin menghindari panggilan dan pesan dari teman, kekasih, atau siapapun itu.
Jin tidak mau fokusnya untuk mengurus Binnie ataupun Jinyoung pecah dengan pefmasalahannya. Ia menghela nafas panjang, memijit pelipisnya pelan, ‘Sedikit lagi, ayo fokus pada mereka.’
Jin mematikan sebentar mode pesawatnya, membiarkan beberapa pesan dan daftar panggilan tak terjawab darinya masuk lalu mengaktifkan mode itu lagi.
Untuk saat ini, dirinya tak boleh terhubung dulu dengan dunia luar.
Atau tidak, beban nya akan bertambah bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sense
Fanfiction"Kau tahu Jin? Keindahan tak hanya bisa diketahui melalui indra pengelihatan. Namun juga indra lainnya." ㅡBae Joohyun, Irene. Bagi Kim Seokjin, semua hal yang dirasa indranya juga adalah hal biasa baginya. Sampai, kalimat sang saudara tak sedarah Ir...