J A N G A N tanya berapa kecepatan mobil Jin. Seperti deja vu, mata memerah Jin menatap jalan yang ia lewati dengan kecepatan diatas rata-rata. Jin seperti orang gila. Mata memerah, buku kuku memutih, rahang mengeras, genggaman kuat bahkan hingga membuat urat-uratnya lebih terlihat jelas.
Lampu merah berada didepan mata, Jin meninju setir, "Bedebah! Kenapa kau harus merah, hah!?" Jin menyumpah panik.
Giginya menggertak, bahkan ketika mengangkat telfon nya yang berbunyi, "Halo?"
"Hyung. Kau dimana? Yoongi Hyung sudah pulang, lalu kau dimana?" Jin menoleh, melihat penelfon yang nama nya terpampang di layar ponsel tersebut.
Gguk Jeon
Adik bungsu nya, Jeon Jeongguk.
Jin terdiam, menancap gasnya lebih cepat lagi setelah lampu hijau muncul diurutan ketiga lampu.
"Hyung?" Jeongguk memanggil kembali setelah tak ada jawaban atas panggilannya. "Seokjin Hyung, kau disana?" sambung suara Jeongguk, memastikan keberadaan Seokjin.
Jin mengangguk, walau ia tahu Jeongguk tak akan melihat dirinya, namun, mulutnya bahkan kelu untuk bicara.
Jeongguk boleh lima tahun lebih muda darinya, manja padanya, bahkan dirawat oleh Jin bagai putra. Tapi, karena itu juga, Jeongguk mengenal Jin lebih jauh.
Jin mengambil ponselnya yang menempel di kaca pintu mobil lalu mengunci mobil nya di parkiran rumah sakit. Ia memilih segera berlari menuju ruang Unit Gawat Darurat.
Jin menoleh panik, bahkan panggilan Jeongguk dari ponselnya yang di mode pengeras suara tidak ditanggapi. Matanya tertuju pada kasir UGD membawa dirinya pada salah seorang perawat disana, "N... No... Ada... Ada Nona Bae Joohyun disini?" tanya Jin dengan suara terengah dan matanya yang bergerak panik. Perawat tersebut terlihat menatap Jin dengan tatapan prihatin.
"Nona Bae sedang dioperasi. Mohon tunggu sebentar, Tuan." perawat itu berucap pelan.
Runtuh.
Dunia Jin. Runtuh.
Jin yang selalu sopan pada orang-orang. Berucap "Terimakasih", "Permisi", dan lainnya. Kini hanya berjalan kosong menuju pintu yang menembus menuju gedung rumah sakit.
Kakinya melemas, membiarkan tubuh tinggi itu limbung kepojokan. Tubuhnya terseret kebawah ditembok karena kakinya tak lagi bisa menahan beban tubuhnya.
Panggilan Jeongguk masih tersambung, membuat kemungkinan besar, Jeongguk mendengarnya walau sedikit.
"Seokjin Hyung! Kau baik-baik saja?" suara Jeongguk terdengar makin khawatir. Jin mengangkat ponselnya, "Kook..." bibirnya bergetar, bahkan walau hanya untuk memanggil sang adik.
"Aku tak baik-baik saja." Jin berucap lemas. Membiarkan dirinya terlihat gila hanya dengan pakaian rumah pendek tanpa mantel.
"Tolong aku, Kook..." suara Jin bergetar.
Jeongguk yang berada di dorm benar-benar panik dibuatnya. Dirinya tetap menyambungkan hubungan telfon mereka dan melihat lokasi Jin dari pelacak ponselnya.
Rumah Sakit Ye Hwa?
Pria bermarga Jeon itu segera mengambil mantel dan dompetnya mengambil taksi menuju Rumah Sakit Ye Hwa, "Kebutlah. Tolong. Aku akan membayarmu dua kali lipat." tutur Jeongguk dipuncak rasa paniknya.
Bukan hal aneh. Jin tak pernah berkata disaat sia punya masalah. Jin hanya akan mendengar, dan berbicara tentang saran dan kritik. Kata 'aku baik baik saja' seolah sudah menjadi drama harian Jeongguk. Bahkan ketika Jin ditinggal seorang diri di dorm, ia masih berkata baik-baik saja.
Karena itulah, Jeongguk menjadi. Merasa ingin melindungi, atau setidaknya berada di sisi sang kakak ketika sang kakak berada diposisi buruk.
Taksinya sampai setelah 27 menit karena jarak dorm yang jauh. Membuatnya harus membayar dua kali lipat. Tapi itu sama sekali bukan masalahnya.
"Hyung! Kau dimana sekarang?"
"Pintu gedung menuju UGD..." suara Jin semakin lemah
Dengan ponsel masih menempel ditelinganya, Jeongguk berlari seperti kesetanan, bahkan menjadi tontonan beberapa perawat.
Kakinya berhenti mendadak melihat sosok Jin di sudut. Mata Jin kosong, jelas sangat dia menangis tanpa suara, atau bahkan, ia memang tak sadar bahwa ia tengah menangis.
Hati Jeongguk terasa perih melihatnya. Jin, Seokjin sosok yang selalu ia lihat tersenyum, ia dengan tertawa, ia rasa hangat. Kini berbalik.
Jeongguk menghela nafasnya berat dan mematikan ponselnya. Jeongguk mendekat pada Jin yang terduduk di sudut tembok.
"Hyung..." Jeongguk memanggil, dengan tangannya yang masih mendekap Seokjin dalam pelukannya. Tubuh Jin seolah mati rasa, tangan Jeongguk yang berada dipunggungnya bahkan tak ditanggapi.
Jeongguk membantu Jin berdiri. Beberapa minggu tak bertemu membuat Jeongguk sadar, Jin tak sesehat dulu.
Kantung matanya sangat gelap, tubuhnya mengurus sampai ia bisa menyentuh tulang Jin saat memeluk pinggang Jin, membantunya berdiri. Pipinya tirus, menunjukkan jelas rahang tajamnya.
Jeongguk memilih untuk membawa Jin ke kafetaria. Membiarkan pundaknya menopang Jin.
Jin tak berkutik. Hanya menurut saja. Tenaganya terkuras dan otaknya kosong. Bersyukur saja kafetaria berada tak jauh, membuat Jin ataupun Jeongguk tak perlu mengeluarkan tenaga ekstra berlebihan.
Segelas americano dan cokelat panas dibeli Jeongguk. Jelas saja cokelat panas untuk Jin. Ia tak segila itu membiarkan orang yang kurang istirahat meminum kopi.
Jin yang perlahan mulai mengumpulkan dirinya meminum setengah cokelat itu tanpa mempedulikan panasnya. Ia sadar, disaat tadi, Jeongguk khawatir karena tameng pertahanannya runtuh.
Kepalanya sakit, tapi jelas ia tak boleh menunjukkannya pada Jeongguk ia akan jadi beban nantinya.
Namun, tubuhnya tak bisa diajak kompromi. Jin mulai limbung, sampai akhirnya semua menggelap, dan suara jeritan Jeongguk lah yang terakhir didengarnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sense
Fanfiction"Kau tahu Jin? Keindahan tak hanya bisa diketahui melalui indra pengelihatan. Namun juga indra lainnya." ㅡBae Joohyun, Irene. Bagi Kim Seokjin, semua hal yang dirasa indranya juga adalah hal biasa baginya. Sampai, kalimat sang saudara tak sedarah Ir...