Suara hentakan drum menggema dengan keras di rumah Viny. Viny menoleh kala melewati ruang musik di rumahnya di mana sang adik terkecil dengan giat berlatih bersama sahabatnya. Senyum Viny merekah melihat keseriusan Gracia walau sesekali ia terlihat cemberut karena Lidya yang mengajarinya dengan cukup keras. Bukti ia tegas walau Gracia adalah adik sahabatnya.
"Gak gitu, Gre. Harusnya itu begini." Ucap Lidya sambil memberi contoh.
Gracia menghentak-hentakkan kakinya. "Ih, susahhhh. Di game gak sesusah ituuu." Gracia mengkerecutkan bibirnya.
"Hadehh, beda Gracia alay adeknya si cungkringgg." Lidya mencubit gemas pipi Gracia. "Ayo kamu kan udah bisa yang sebelumnya. Yang ini bisa lah."
Gracia membanting tubuhnya ke sofa. "Gak mau pusing. Besok lagi aja."
"Gracia, ayo sekali lagi." Lidya pun menarik Gracia untuk melanjutkan latihan mereka.
Viny melanjutkan langkahnya menuju ruang kerja. Di hari Sabtu yang seharusnya menjadi hari libur, Viny sebagai Direktur perusahaannya tak bisa meliburkan diri. Ia masih harus memantau pekerjaan para karyawannya, mengecek berkas-berkasnya dan berkomunikasi dengan para client nya.
Viny melirik sekilas ke arah pintu saat terdengar suara kenop, Shani masuk membawakannya kue serta minuman favoritnya, coklat hangat.
"Makasih, Indira. Tapi Kakak lagi mau kopi."
Shani menggeleng. "Gak boleh. Nanti kamu gak bisa tidur. Inget maag kamu juga, Kak."
"Tapi-"
"Gak ada tapi-tapian. Aku gak mau Kakak begadang. Besok Kakak libur. Harus istirahat yang banyak. Bahkan seharusnya Kakak gak ngurusin kerjaan hari ini." Shani mengucapkan kalimat terakhirnya dengan sangat pelan. Walau begitu Viny dapat mendengarnya jelas.
Viny memegang kedua tangan Shani. "Maaf ya. Kakak harap kamu ngerti. Ini semua tanggung jawab Kakak. Amanah Ayah dan Bunda."
"Aku ngerti. Tapi Kakak juga harus jaga diri Kakak."
"Iya, Indira. Ingetin Kakak terus, ya."
Viny dan Shani sama-sama diam saat Viny meletakkan kedua tangan Shani di pipinya. Keduanya saling bertatapan dengan posisi Shani yang masih berdiri. Kehangatan begitu terasa. Begitu nyaman dan tenang walau jantung keduanya terus berpacu cepat.
Dan moment indah itu harus berakhir saat Lidya masuk ke dalam ruang kerja Viny dengan seenaknya.
"Ups, sorry."
Shani langsung melepaskan tangannya dan pamit melewati Lidya dengan wajahnya yang merah merona.
Decakan Viny pun terdengar saat Lidya mendekatinya sambil cengengesan dan menggaruk leher belakangnya yang tak gatal.
"Sorry, Boscil. Gue gak tau kalian lagi pacaran."
"Ya, ya. Alias siapa yang pacaran bencong!"
"Belom juga? Astaga maradona! Nunggu apaan lagi, sih?!"
"Diem lu! Mau ngapain kesini? Minta gaji?"
"Kagaa!! Nuduh aja lu! Eh, tapi kalau boleh kasbon sih kagak apa."
"Gak ada. Gak ada kasbon-kasbonan."
"Ck, pelit lu."
"Bodo." Viny membalikkan kursinya. "Gracia udah sejauh mana?"
"Lumayan, tapi masih perlu terus belajar. Masih jauh kalau di mau jadi drummer band. Dia mood-mood-an, sih."
"Kaya gak tau dia gimana aja. Tapi, thanks ya lo udah mau sabar ngajarin dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Twins Love Story
FanfictionKisah mengenai kehidupan si kembar tiga dengan sang Kakak angkatnya.