Gracia duduk termenung selama di perjalanan. Membuat Ve yang tengah menyetir sedikit heran. Pasalnya semua orang tahu, bahwa gadis yang bernama lengkap Shania Gracia itu merupakan gadis yang pecicilan dan tak pernah bisa diam. Namun kali ini, Gracia berubah 180 derajat.
Gadis itu hanya menunduk diam tak melakukan apapun. PSP kesayangannya hanya menganggur di pangkuannya. Ve tahu bahwa ada yang Gracia pikirkan dan juga utarakan padanya. Namun, ia memilih diam. Membiarkan agar Gracia yang terlebih dahulu membuka mulutnya.
"Tunggu bentar." Pamit Ve saat mereka tiba di butik. Gracia hanya mengangguk sebagai jawaban.
Ia kembali termenung saat Ve keluar dari mobilnya. Tangannya mengusap lembut kedua belah bibirnya yang dicium oleh Ve tadi pagi. Bila mengingatnya, membuat darah Gracia berdesir, jantungnya berdegup tak karuan dan tubuhnya memanas.
Padahal tadi, selama di rumah ia baik-baik saja. Namun saat berdua saja dengan Ve, rasanya semua berubah. Gracia menghela nafasnya, mencoba menenangkan dirinya, ia harus berani mengungkap isi hatinya jika tidak ingin seperti ini terus.
Tak lama, Ve kembali dengan sebuah map yang entah apa isinya. Setelah menaruh map nya di kursi belakang, Ve pun kembali duduk di samping Gracia dan menjalankan kembali mobilnya.
Keadaan masih bertahan sama seperti sebelumnya, hingga akhirnya Ve memutuskan mengalah. Ia tidak tega melihat raut wajah Gracia yang nampak terus-terusan berpikir untuk berbicara namun ragu.
Dengan hati-hati di usapnya lembut punggung tangan Gracia. Gracia langsung tersentak dan reflek menarik tangannya.
"Ma-maaf, Kak."
"Gak apa, kok." Balas Ve sambil tersenyum. "Ada yang kamu pikirin?"
Gracia menghela nafasnya. Malu-malu melirik pada gadis yang lebih tua darinya itu. Ve memiringkan kepalanya, menunggu penuturan yang akan keluar dari Gracia.
"I-ini soal ciuman tadi pagi.." Akhirnya kalimat itu terucap juga dari mulut Gracia.
"Hmm," Ve menghela nafasnya lalu menatap lurus ke depan. "Kak Ve udah duga kamu bakal tanya ini."
Gracia menggigit bibir bawahnya dan menarik tangan Ve. "Kak, tolong jawab aku sejujurnya. Apa perasaan kita sama?"
Ve menghembuskan nafasnya. Matanya terpejam. Wajah serta senyum bahagia Gracia langsung terpancar jelas di benaknya.
"Maaf," lirih Ve begitu pelan.
Ia membuka kedua matanya lalu menatap wajah penuh harap Gracia. Gadis itu menatapnya begitu dalam. Ve menggigit bibir bawahnya, ragu meyelimuti hatinya. Ia takut membuat mata indah itu terluka karena perkataan yang akan ia kemukakan berikutnya.
Tapi, jika Ve terus menahannya. Akan lebih buruk akibatnya nanti untuk hubungan keduanya dikemudian hari.
"Maaf apa Kak Ve?"
"Kak Ve gak bisa."
"Ma-maksud Kak Ve?"
"Kak Ve gak bisa kalau hubungan kita lebih dari ini. Maafin Kak Ve Gracia."
Tubuh Gracia menegang. Air mata siap menetes kapanpun dari kedua sudut matanya. Ia menepis pelan, kedua tangan Ve di bahunya dan mengalihkan wajahnya. Dan air matanya pun tumpah.
~
"Kak, kita mau ke mana? Kenapa gak ajak Nadse sama Gracia?" Tanya Shani.
Kini Shani dan Viny sedang berada di tengah perjalanan. Wajah Viny terlihat begitu bahagia. Berbeda dengan Shani yang terlihat sedikit khawatir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Twins Love Story
FanfictionKisah mengenai kehidupan si kembar tiga dengan sang Kakak angkatnya.