Tap tap tap tap.
Langkah kaki menyisir koridor pesantren.
Gadis berbalut gamis berwarna abu abu terlihat begitu terburu buru. Mengangkat sedikit gamisnya agar tidak menghalangi langkah panjangnya.
Langkahnya terhenti ketika ada seseorang yang memanggilnya.
"Artha".
Gadis itu menoleh. Menjatuhkan kain gamisnya hingga sedikit menyentuh lantai.
"Iya". Bicaranya kikuk. Sedikit ada perasaan canggung menyelimuti setelah perbincangan malam itu.
"Hendak kemana. Terburu buru sekali?".
"Pergi kemasjid. Sudah ditunggu ustadzah rumi dan vika untuk setor hafalan".
"Ada waktu sebentar untuk bicara?" Lelaki bertubuh jakung itu menawarkan sebuah penawaran yang membuat artha, sigadis bergamis abu abu itu menelan ludahnya kasar. Dalam hati ingin sekali dia menerima penawaran itu. Namun disisi lain dia sedang ditunggu.
"Lain waktu mungkin bisa. Maaf atthar saya sedang buru buru" keputusan artha final. Lantas pergi meninggalkan lelaki itu.
Lelaki itu hanya menatap diam punggung gadis yang selama ini mendiami hatinya.***
"Assalammuallaikum. Maaf saya terlambat ustadzah". Ucap artha. Kemudian duduk. Menyejajarkan dengan teman teman santriwatinya.
"Waalaikumsalam". Jawabn serentak terdengar menggema dimasid.
"Semua sudah selesai ar. Sekarang tinggal kamu" ustadzah rumi menjelaskan.
Artha langsung menyetor hafalannya.
Lancar. Tanpa kesalahan yang fatal. Hanya beberapa mahroj huruf yang salah.Setelah menyetor hafalannya artha langsung keluar dari masjid. Entahlah matanya sungguh kantuk. Mungkin karena efek begadang semalam.
"Ar tungguin dong" vika berteriak. Mencoba mensejajarkan langkahnya dengan artha.
"Aku ngantuk banget vik. Serius. Cepetan dikit ya".BRAK..
Buku buku yang sedari tadi berada ditangan artha tiba tiba melayang. Mendarat tak beraturan.
Artha memejamkan matanya. Tubuhnya hampir jatuh sempurna. Namun tak terasa sakit. Seperti ada yabg menahannya. Hingga dia membuka matanya.
Kaget. Terpaku sampai beberapa detik. Vika hanya melongo. Tak berkutik. Menyaksikan pemandangan langka didepannya.
Sepersekian detiknya suara bergetar. Memecahkan lamunan artha.
"Apa yang kalian lakukan". Teriakan itu. Kemarahan yang tak tertutupi lagi.
Artha langsung menjauh. Begitu juga seseorang yang tadi menahan tubuhnya sehingga tidak menyentuh tanah.***
Kini artha tengah terduduk di ruang tamu pesantren (ndalem)
Bersama pemimpin dan pemilik pondok yang tak lain adalah abi atthar.
Vika telah kembali kekamar. Dia tidak diperkenankan ikit campur masalah ini.
"Perbuatan kalian itu melanggar aturan pondok. Mempermalukan". Suaranya tegas. Membuat artha bergidik ngeri.
"Maaf bi. Tapi itu semua hanya salah paham. Tidak sesuai dengan apa yang abi pikirkan" atthar menyela. Mecoba membela diri.
"Tapi itu disaksikan oleh puluhan santri, tidak ada rasa malu dalam hati kalian". Kalimatnya menohok hati. Membuat artha membisu tak ingin mengelak. Mendengarkan apa yang dikatakan abi atthar. Hingga nanti dia diberi waktu untuk bicara.
"Itu semua hanya kecelakaan bi. Itu semua tidak benar" atthar kembali mengelak. Takheran dia selalu mengelak. Karena memang itu hanyalah kecelakaan. Artha juga tidak berharap jatuh dalam pelukan atthar seperti tadi.
"Abi tidak mau tahu. Sekarang mintalah artha kepada abinya.".
Kalimat itu membuat artha melongo sempurna.
Meminta. Apa itu artinya mengkhitbah.
Bagaimana mungkin.
KAMU SEDANG MEMBACA
RINDU ALLAH
SpiritualAkulah pendosa. Lalu pantaskah manusia pendosa ini merindukan tuhan? Disaat aku masih terus melakukan kesalahan kesalahan itu. Pantaskah aku menyandang gelar sebagai hamba. Setelah banyak dosa yang kuperbuat selama ini. Aku selalu berpikir. Dapatk...