37' Nostalgia

1.9K 106 7
                                    

HAPPY NEW YEAR GAESS!!!!

Sori buat kalian yang udah nunggu lamaa:(((

Maafin penulis yaaaaaaa, akhir-akhir ini lagi sibuk dan jarang buka wattpad juga.

Dimaafin nggak?

Kalo nggak juga nggak papa kok.

HAPPY READING YA!

[.]

Rencananya sejak awal adalah; Adit ingin mengajak Rara menyaksikan pemandangan kota Bandung beserta dengan hamparan bintang yang menghiasi langit. Dan satu-satunya tempat terbaik yaitu di Puncak Bintang yang terletak di desa Cimenyan. Namun sebelum itu, ia akan mengajak gadis itu untuk makan malam terlebih dahulu di Warung Daweung atau yang biasa disebut Kafe Moko.

"Kamu nggak bawa jaket?" tanya Adit, setibanya mereka di parkiran dekat Kafe Moko.

Rara menggeleng. "Aku lupa, jaketku ada di mobil."

Adit lantas meraih sesuatu di kursi belakang dengan tangannya. Sebuah paper bag yang kemudian ia ulurkan kepada Rara. "Untung aku bawa jaket cadangan, buat jaga-jaga kalau kamu lupa."

Gadis itu menatap paper bag cukup lama, sebelum kemudian mengambilnya dari tangan Adit. "Terima kasih."

Sudut bibir Adit terangkat. "Jangan terharu gitu, dong," godanya, lalu terkekeh pelan.

Rara memutar bola matanya. "Nggak jadi terharu, deh. Udah yuk, turun." Ia membuka pintu mobil dan langsung disambut dengan udara dingin yang menusuk.

Dengan cepat, tangannya bergerak mengambil jaket di dalam tas plastik. Jaket yang ternyata sewarna dengan jas Adit. Ia memutar bola matanya sekali lagi, walaupun hatinya menghangat akan kepedulian Adit terhadap dirinya.

Baru saja Rara ingin memakaikan jaket itu pada tubuhnya, Adit sudah lebih dulu merampas jaket itu daripadanya, menerbitkan kerutan pada dahi Rara.

"Kenapa?"

Adit menyunggingkan senyuman manisnya. "Aku aja yang pakein." Tanpa menunggu balasan dari Rara, laki-laki itu sudah memakaikan jaket itu ke badan Rara dengan jarak yang terbilang sangat dekat. Cukup membuat Rara menahan napas sejenak. Sementara jantungnya sudah menggebu-gebu dan segera mendesak ingin keluar.

Rara bahkan masih lupa bernapas ketika Adit sudah selesai menarik resletingnya hingga tertutup rapat.

"Udah." ucap Adit dan tersenyum.

"Bisa nggak usah senyum?" Rara tiba-tiba bertanya diluar kesadarannya. Senyum yang menghiasi wajah Adit kontan memudar. "Gue benci senyum lo."

Kerutan di dahi Adit semakin bertambah, apalagi ketika Rara menggunakan kata gue kepadanya. "Jadi aku nggak boleh senyum?"

"Nggak. Dan jangan pakein gue jaket lagi. Gue bukan anak kecil lagi dan gue juga punya tangan. Ngerti?"

"Tapi masalahnya kamu masih sama menggemaskan kayak dulu."

Rara tidak bergeming setelah itu. Seketika ia teringat perkataan Adit di depan rumahnya ketika mereka masih SMA.

Duh, jadi nostalgia, 'kan.

"Tapi gue udah nggak sama kayak dulu, Dit," tegas Rara, kemudian berjalan lebih dulu ke warungnya.

"Eh, tungguin dong! Kok ninggalin, sih?" Adit berlari kecil, mensejajarkan langkahnya dengan Rara. "Kan kita datengnya sama-sama, harus jalannya sama-sama juga, dong."

"Bodo amat."

"Sinian, dong." Adit menarik Rara untuk lebih mendekat dengannya. "Jangan jauh-jauh. Entar kalau kesandung sesuatu, aku nggak bisa ngegapai kamu."

Sleeping Rara [On Editing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang