Jiyong benar-benar dibutakan oleh Lisa dan setiap sensasi yang diberikannya. Ada kalanya ia merasa bersalah karena menduakan Jennie, tapi meski berkali-kali ia mencoba untuk menjauh dari Lisa seperti permintaan Jennie, pada akhirnya hampir disetiap malam Jiyong tetap kembali pada gadis pirang itu. Sama seperti siang-siangnya yang lain, Jiyong akan makan siang bersama Jennie, sementara Lisa akan makan siang bersama teman-temannya di sudut kantin itu. Awalnya Jiyong menikmatinya, ia menikmati keberengsekannya, ia menikmati dua gadisnya, namun lama kelamaan ia merasakan sebuah jarum menusuk dadanya dan ada semakin banyak juga jarum yang menusuk dadanya setiap kali ia melihat Lisa tertawa bersama teman-temannya di sudut kantin. Jiyong ingin berada disana, ia ingin makan bersama mereka dan ikut tertawa bersama mereka, tapi ada sesuatu yang membuatnya tidak bisa melakukan itu, entah itu Jennie ataupun dirinya sendiri yang tidak siap melepaskan topengnya—topeng anak baiknya.
"Oppa..." seru Jennie yang mulai risih dengan sikap Jiyong
"Hm? Apa?"
"Oppa mendengarkanku?"
"Tentu saja, tentu aku mendengarkanmu,"
"Kenapa oppa terlihat murung beberapa hari ini? Apa kau ada masalah?"
"Hm... tidak, aku baik baik saja,"
"Sungguh? Anak anak penjahat itu tidak memberimu masalah kan? Ku dengar kemarin oppa masuk ruang kepala sekolah,"
"Ah... aku keruang kepala sekolah hanya untuk mengembalikan sesuatu,"
"Hm... ah iya, oppa tau anak kelas 10 yang sekarang bergaul dengan anak penjahat itu? Siapa ya namanya, aku lupa, yang jelas katanya sekarang dia menggerai rambut panjangnya-"
"Lalu kenapa?" sela Jiyong, ia tau siapa yang dibicarakan Jennie, ia tau dengan jelas siapa anak 10 yang kini menggerai rambutnya itu.
"Tsk... rambut semua siswi harus rapih oppa, dan kalau dia tidak mengikat rambutnya, rambutnya itu terlihat sangat acak acakan-"
"Ah aku lupa, aku harus keruang OSIS untuk menandatangani sebuah berkas, maaf Jen, aku duluan," ucap Jiyong dan buru-buru berdiri dari tempat itu, berjalan keluar dari kantin dan naik keatap sekolah itu—satu satunya tempat yang tidak pernah tersentuh oleh siapapun sebelum Lisa dan teman-temannya mulai sering ke tempat itu, dan membuatnya jadi tempat yang nyaman untuk bersantai.
Jiyong berbaring diatas sebuah matras yang dipinjam Mino dari gudang gedung olahraga—tanpa izin tentunya. Ia kembali duduk begitu teringat ia harus masuk kelas jam 2 nanti, ia melepas almamater, rompi dan kemejanya, memastikan agar pakaiannya itu tidak kusut dan mengirimi Lisa pesan sebelum ia mulai kembali berbaring diatas matras itu.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Brak!
Jiyong membuka matanya begitu mendengar suara pintu dibuka dengan kasar. Lisa melangkah mendekatinya setelah membanting pintu agar hingga tertutup, dengan wajah cemberutnya yang sebenarnya cukup menggemaskan ia duduk di matras, disebelah Jiyong yang juga duduk
"Kenapa memintaku kesini?" tanya Lisa ketus
"Mana yang lainnya?"
"Tentu saja masih makan di kantin,"
"Lalu? Makananmu sudah habis?"
"Mana bisa aku makan buru-buru,"
"Jadi, kau langsung kesini tanpa menghabiskan makananmu? Dan kau menyalahkanku?"
"Siapa lagi yang bisa di salahkan?"
"Haha... arraseo, aku minta maaf, hm... nanti sore ku belikan kimbab segitiga?"
"Es krim,"
"Eh? Es krim?"
"Hm... kemarin malam, Rose dan yang lainnya pergi makan es krim, mereka bilang rasanya enak dan aku mau mencobanya,"
"Baiklah... es krim, nanti sore setelah kelasku selesai," Jiyong menarik Lisa untuk berbaring disebelahnya, gerakan tiba-tiba Jiyong membuat roknya yang sudah sangat pendek itu tersingkap, namun baik Lisa maupun Jiyong mengabaikannya. Lisa membalas pelukan Jiyong dan Jiyong mulai mengelus rambut halus gadis itu.
"Pelukanmu yang terbaik Lice, aku sangat menyukainya," bisik Jiyong
"Memang ada gadis lain yang kau peluk selain aku?"
"Tidak ehehe..."
"Cobalah memeluk Rose, Mino oppa lebih suka memeluk Rose, katanya parfume Rose lebih sexy dan menggoda dibanding parfumeku,"
"Parfume Rose beraroma mawar, sexy dan parfumemu beraroma cherry, seperti anak kecil,"
"Huh?? Darimana oppa tau parfumeku dan Rose??"
"Bukan sekali atau dua kali aku masuk kamarmu Lice, kalau kau menaruh parfumemu di tempat sampah baru aku tidak bisa melihatnya,"
"Oh... hehe... parfumemu aroma pinus, Bobby aroma coklat dan Mino aroma kopi, lalu Suhyun aroma vanilla yang sangat lembut,"
"Mana yang paling kau suka?"
"Tentu saja Cherry, parfumeku sendiri,"
"Tsk... maksudku diatara coklat, pinus dan kopi, mana yang paling kau suka?"
"Oppa ingin aku bilang pinus kan?"
"Aku tidak ingin memaksamu tapi kau memang harus bilang pinus," mereka tertawa dalam posisi itu, berpelukan dengan satu tangan Jiyong dibelakang kepala gadis itu, menyelipkan jemarinya diantara rambut gadis itu.
"Oppa, tattoo di bahumu ini sangat indah, siapa yang membuatnya?" tanya lisa setelah mengecup singkat bahu Jiyong yang bertattoo angka angka romawi.
"Hm... haruskah aku memberitaumu?"
"Tentu saja, tattoo buatannya sangat bagus,"
"Hmm... dia gadis yang sebenarnya cantik, tapi dia pemarah dan suka memaksa,"
"Begitukah menurutmu?"
"Dia suka aroma cherry dan pinus, lalu suka kimbab segitiga... ah dan satu yang dia punya tapi tidak dimiliki orang lain,"
"Apa itu?"
"Pesonanya sangat kuat, sepertinya siapapun yang bicara dengannya akan terus mengingatnya, jadi aku sedikit takut kalau dia sedang bicara dengan pria lain,"
"Oppa baru saja bilang oppa tidak ingin aku bicara dengan pria lain?" tanya Lisa dengan wajah polosnya, membuat jantung Jiyong berdebar-debar
"Kurasa begitu?"
"Guruku seorang pria, aku tidak boleh bicara dengannya?"
"Kurasa kau bukan tipe yang akan masuk ruang guru dan menemui gurumu, bukankah kau hanya tidur dikelas?"
"Hehehe... cepat sekali oppa mengenalku sampai tau tentang itu," lisa mengeratkan pelukannya, menghirup aroma pinus dari dada telanjang Jiyong membuat Jiyong melakukan hal yang sama—menghirup aroma Cherry sebanyak-banyaknya seakan ia tidak akan menemukan aroma itu lagi.