-Segitu bencinya kah lo sama gue?, sampai - sampai lo ngelakuin hal yang paling gue benci di hadapan gue untuk pertama kalinya.-
°°°°°
Caitlin mempersilakan David duduk di sofa yang ada di sudut kamarnya. Keheningan diantara mereka terjadi beberapa saat sebelum Caitlin memulai pembicaraannya.
"E...Vid, sorry soal yang tadi." ucap Caitlin merasa bersalah. Ia juga tak tahu kenapa emosinya menjadi tak terkendali.
"Hm" gumam David.
***
Di Kamarnya, Alan sedang terduduk menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Kata - kata Caitlin masih berputar memenuhi pikirannya.
"Cait kangen kak Viona... Cait kangen kak Willy... Cait kangen Gio... Cait kangen semuanya... Hidup Cait berubah kak... berubah, sejak kak Viona pergi. Cait kesepian kak."
Alan memejamkan mata sekedar mengulang kejadian barusan dimana, adik kecil yang pernah sangat ia sayangi menangis sesunggukan karena keegoisan orang - orang di sekitarnya, termasuk dirinya. Ia merasa tak berguna karena tidak tahu harus berbuat apa dan harus bagaimana.
Terlintas pula di benaknya tentang kejadian 11 tahun lalu, yang membuat dirinya dan keluarga belum bisa memaafkan kejadian itu sepenuhnya.
Alan membuang napasnya kasar, mencoba menenangkan pikirannya. Tanpa Alan sadari, Diana sudah mengetuk pintu kamarnya berkali - kali sambil memanggil namanya. Tapi, tak ada respon dari Alan sehingga Diana mau tak mau langsung masuk dan menghampiri putra sulungnya yang sedang termenung.
"Alan?" panggil Diana menepuk pelan bahu Alan. Alan mengalihkan pandangannya ke Diana dan menaikan alis matanya. Diana yang seolah mengerti pun langsung menjawab.
"Apa yang lagi kamu pikirin? Sampai - sampai Mommy panggil dan ketuk pintu kamar kamu berkali - kali kamu enggak dengar. Ada apa?".
"Enggak ada, Alan lagi enggak mikirin apa - apa kok, mom" Alan berbohong karena ia tidak mau Diana menjadi sedih jika ia menceritakan apa yang ada di pikirannya saat ini.
"Kalo kamu ada masalah cerita sama mommy, siapa tahu mommy bisa bantu" tawar Diana. Alan hanya menggangguk sebagai respon.
"Mom, apa Alan boleh tanya sesuatu?" ucap Alan dengan hati - hati.
"Tentu saja, apa yang ingin kamu tanyakan?"
Alan bangkit dari duduknya memegang kedua bahu Diana dan mengarahkannya untuk duduk di kursi yang sebelumya ia duduki. Alan menghela napas panjang sebelum mengajukan pertanyaan yang mungkin saja bisa membuat Diana bersedih bahkan meneteskan air mata. Alan memegang kedua tangan Mommy-nya dan mengatakan. "Mom... Sampai kapan... Sampai kapan kita harus menutupi semuanya dari Caitlin?". Perkataan Alan mampu membuat Diana membisu dan hanya menatap Alan dengan tatapan sendu. "Bukankah Caitlin berhak tahu tentang semuanya." ucapnya dengan mata terpejam. "Alan cuma enggak mau Caitlin tahu lebih dulu sebelum kita sempat menjelaskannya. Alan juga enggak mau Caitlin benci sama kita" lanjutnya tapi Diana masih menutup rapat mulutnya dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
"Mom?" panggil Alan dengan suara yang mulai serak. Dalam diamnya, Diana membenarkan perkataan putra sulungnya dalam hati. Diana tak mampu bersuara hanya sekedar menjawab Alan. Suaranya terasa tertahan di tenggorokan. Matanya pun mulai berkaca - kaca.
Tak ingin berlama - lama dalam keadaannya saat ini, Diana bangkit dari duduknya dan membalikkan tubuhnya. "Sudah waktunya makan malam. Mommy tunggu kamu di bawah" ucap Diana seolah mengalihkan pembicaraan antara dirinya dan putra sulungnya, Diana lalu bergegas meninggalkan Alan yang masih menatap punggungnya yang menghilang di balik pintu kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐒𝐔𝐑𝐕𝐈𝐕𝐄 (𝐄𝐍𝐃)
Teen Fiction#3 on remaja (041119) #1 on remaja (071119) #1 on cool (030220) Caitlin Emma Gibson. Gadis remaja cantik blasteran Amerika-Indo harus menerima kenyataan pahit sejak kejadian 11 tahun silam. Dia menutup dirinya kepada siapapun. Ditambah kebencian dar...