Sesampainya di rumah, Alan sudah menunggunya di depan pintu. Caitlin menatapnya jengah sambil terus berjalan mengabaikan keberadaan kakaknya itu. Saat hendak melewati Alan, laki - laki itu menarik tangan Caitlin agar berhenti.
"Mau ngapain sih?" ketus Caitlin masih dengan tatapan jengahnya.
"Bantuin ngedekor buat acara gue besok."
"Gue capek pengen tidur"
"Gue enggak terima penolakan"
"Tapi, gue enggak mau. Gimana dong?"
"Harus pokoknya. Ikut gue!" Alan menarik paksa Caitlin.
"Dasar pemaksa!" cibir Caitlin kesal.
"I don't care" tandas Alan.
Alan membawa Caitlin menuju taman belakang yang akan menjadi tempat acara ultah Alan besok. Disana sudah ada Joshua dan teman - temannya yang ikut membantu.
"Apa yang harus gue buat? Mereka udah buat semuanya. Enggak ada lagi yang harus gue kerjain" ujar Caitlin saat melihat tempat itu sudah di hias sedemikian rupa.
"Ya udah, lo ambilin mereka minum aja sana" pinta Alan .
"Hm"
Selang beberapa menit, Caitlin kembali dengan membawa minuman dibantu Oleh Bi ira. Lalu, meletakan semuanya diatas meja. Setelah selesai, Caitlin berlalu meninggalkan tempat itu lalu menuju kamarnya.
Di kamar, Caitlin merebahkan tubuhnya di kasur king size miliknya. Namun, ia kembali merasakan sakit itu lagi dan kali ini terasa lebih menusuk. Darah itu mulai keluar lagi dari hidung mancung Caitlin tanpa henti. Dengan cepat Caitlin berlari menuju wastafel, lalu membersihkan darah di sekitar hidungnya tapi darahnya masih mengalir. Caitlin kembali ke kamar lalu meminum obat yang diberikan dokter dan kembali lagi menuju wastafel. Caitlin menengadahkan kepalanya agar darah dari hidungnya berhenti mengalir. Setelah beberapa saat, akhirnya apa yang dilakukan Caitlin membuahkan hasil, darahnya telah berhenti mengalir meskipun rasa sakitnya masih terasa.
Caitlin merebahkan tubuhnya kembali di tempat tidur sambil meremas - remas pinggangnya yang masih terasa sakit. Entah kenapa rasa sakit di tubuhnya tak kunjung hilang dan justru terasa semakin sakit dan menusuk.
Kini peluh membasahi wajah Caitlin yang masih berusaha menahan rasa sakitnya. Sekujur tubuhnya juga ikut basah karena peluh. Caitlin sedikit mengerang kesakitan, Caitlin tidak kuat dengan rasa sakitnya. Sesekali ia mengigit bibir bawahnya tanpa sadar dan cairan bening mengalir dari matanya.
"SAKIT!" jerit Caitlin tertahan yang justru terdengar seperti bisikan.
Dengan cepat Caitlin menyalakan TV yang ada di kamarnya dan menambah volume cukup tinggi agar tak ada yang mendengar suara erangan atau rintihannya.
Tok... Tok... Tok...
Terdengar suara ketukan pada pintu kamarnya, Caitlin terpaksa bangun dari tidurnya dan bangkit untuk membukakan pintu. Dengan susah payah, ia berusaha berdiri sambil menahan rasa sakit di tubuhnya.
"Mommy? Ada apa?" tanya Caitlin dengan suara serak yang sedikit gemetar.
"Sudah waktunya makan malam. Dan segera turun ada yang ingin Mommy dan Daddy bicarakan!" ucap Diana lalu meninggalkan Caitlin yang masih berdiri di depan pintu kamarnya.
Gimana ini? Bahkan rasa sakitnya sama sekali belum menghilang. Tapi, kalo aku enggak turun mereka pasti curiga.
Caitlin membersihkan peluh yang membasahi wajahnya dengan tissue, lalu pergi menuju meja makan seperti yang dikatakan Diana.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐒𝐔𝐑𝐕𝐈𝐕𝐄 (𝐄𝐍𝐃)
Teen Fiction#3 on remaja (041119) #1 on remaja (071119) #1 on cool (030220) Caitlin Emma Gibson. Gadis remaja cantik blasteran Amerika-Indo harus menerima kenyataan pahit sejak kejadian 11 tahun silam. Dia menutup dirinya kepada siapapun. Ditambah kebencian dar...