Hamburg, Jerman.
Delapan bulan kemudian...
Di sebuah ruangan bernuansa coklat (tan) terbaring seorang gadis dengan wajah pucat, kantung mata menghitam, dan tubuh yang terlihat lebih kurus dibanding sebelumnya serta di salah satu tangannya terpasang selang infus.
Gadis itu tengah menahan rasa sakit akibat suntikkan MTX ke sumsum tulang yang ia terima pertama kali. Tanpa sadar air matanya mengalir membasahi pipinya. Ia meringis saat merasakan jarum suntik menembus kulitnya. Rasanya lebih sakit dibanding suntikan yang ia rasakan setiap harinya selama beberapa bulan ini. Caitlin meringkuk di bawah selimut sesaat dokter selesai menyuntiknya, rasanya sakit, sangat sakit. Caitlin menekan perutnya kuat saat rasa mual itu kembali dirasakan. Caitlin pun memuntahkan isi perutnya ke wadah yang sudah disiapkan oleh perawat. Caitlin tak kuat jika harus seperti ini terus - menerus, namun ia tahu ini semua demi kesehatannya kelak.
Sudah delapan bulan Caitlin menjalani pengobatan, dan saat ini ia sudah masuk tahap ketiga Kemoterapi, yaitu Maintenance Therapy dimana ia akan menerima suntikan MTX setiap 3 bulan sekali selama beberapa bulan ke depan. Hari ini untuk pertama kalinya Caitlin merasakan betapa sakitnya saat suntikan itu menembus kulit sampai ke sumsum tulangnya.
Disaat Caitlin merasakan sakitnya kembali terkadang ia berpikir untuk menyerah karena rasa sakit luar biasa yang ia rasakan selama delapan bulan terakhir. Tak hanya itu, Caitlin juga harus merelakan rambut indahnya rontok secara perlahan hingga tak tersisa. Ditambah lagi efek samping dari Kemoterapi yang juga menyiksa dirinya. Tetapi, Caitlin menepis semua pikiran bodoh itu. Ia sudah melepaskan semua miliknya hanya untuk mendapatkan kesehatannya kembali. Caitlin sudah terlanjur melangkah jauh, dan tidak mungkin baginya untuk mundur. Semua rasa sakit yang ia rasakan mengajarkan padanya satu hal.
Kita butuh belajar sakit untuk mengenal sehat, belajar gagal untuk mengenal sukses, belajar jatuh untuk mengenal bangkit.
Entahlah Caitlin mendapatkan kata - kata itu darimana, tetapi yang pasti ia membenarkan kata - kata itu. Karena di dunia ini tidak ada yang benar - benar sempurna seperti yang banyak orang bayangkan termasuk dirinya.
🌿🌿🌿
Di lain tempat, seorang gadis yang tengah sibuk memilih - milih model gaun yang akan dikenakannya saat acara pertunangannya nanti. Wajah gadis sangat ceria, dia sangat menantikan hari itu. Hari dimana ia akan mengikat laki - laki yang ia cintai sejak kecil dengan sebuah hubungan. Awalnya, ia memang terpaksa melakukan ini, tetapi perasaan itu kembali ia rasakan saat gadis itu mengetahui tentang laki - laki itu. Laki - laki itu adalah sahabat kakaknya sejak kecil dan mereka sering bermain bersama. Sampai suatu kejadian yang memisahkan mereka. Sejak kecil laki - laki itu memang tidak dekat dengan dirinya, karena mereka berbeda sekolah. Itulah sebabnya, laki - laki itu tidak menyadari dirinya yang merupakan kembaran dari sahabatnya. Mungkin laki - laki itu tidak hanya menganggap kakak dari gadis itu sebagai sahabat melainkan cinta pertamanya. Hanya saja dia belum bisa mengungkap perasaannya itu. Walaupun begitu, gadis itu justru mensyukuri permintaan kakaknya untuk menggantikan posisinya. Karena dengan begitu, gadis itu tidak perlu susah payah merebut laki - laki yang ia cintai dari sang kakak.
"Kamu pilih yang mana, Cait?" tanya Nadia pada calon menantunya.
"Yang ini saja, ma" jawabnya sambil menunjuk sebuah gaun selutut berwarna maroon. Nadia hanya mengangguk setuju dengan pilihan sang calon menantu.
Di Cafe Trifix, ada empat orang laki - laki dan tiga orang perempuan sedang berkumpul. Mereka terlihat sangat serius saat membahas sesuatu. Bahkan makanan dan minuman yang mereka pesan belum tersentuh sedikit pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐒𝐔𝐑𝐕𝐈𝐕𝐄 (𝐄𝐍𝐃)
Teen Fiction#3 on remaja (041119) #1 on remaja (071119) #1 on cool (030220) Caitlin Emma Gibson. Gadis remaja cantik blasteran Amerika-Indo harus menerima kenyataan pahit sejak kejadian 11 tahun silam. Dia menutup dirinya kepada siapapun. Ditambah kebencian dar...