Part 9

3.2K 395 2
                                    

Atlan membuang seluruh rasa gengsinya jauh-jauh, karena sekarang ia sudah berdiri di depan ruangan ICU, menunggu kedatangan Stella. Ia ingin bertanya lebih jauh -jika Stella memperbolehkan- mengenai kakak Stella dan alasan kepindahan Stella ke negara ini. Walau ia sudah mendengar mengenai alasan kepindahan Stella, yang katanya karena orang tua Stella kerja disini. Sebelumnya Atlan percaya mengenai.hal itu, namun sekarang tidak lagi. Ia hanya harus menunggu Stella disini dan menanyai semuanya, itu juga kalau Stella bersedia menjawab pertanyaan yang ia berikan.

Beberapa kali tangan Stella menyentuh keningnya sendiri. Ia dapat merasakan suhu tubuhnya naik, mungkin efek dari kelelahan. Napasnya terasa berat, membuat bagian dada terasa nyeri ketika bernapas. Mungkin ia harus beristirahat setelah ini. Walau tubuhnya terasa lemah, rasanya sangat sulit untuk beristirahat apalagi pikirannya terus berada di tempat ini.

Tubuh Stella menegang, matanya melebar ketika ia melihat seseorang yang sangat tidak asing berdiri di samping pintu ICU dengan menyender di dinding dan kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Rasanya Stella ingin pergi langsung dari tempat ini, kalau saja orang itu belum melihatnya. Sayangnya, refleks tubuh ini terlalu lama yang mengakibatkan orang itu sudah melihatnya terlebih dahulu.

Atlan tersenyum, kali ini ia memberikan senyuman tulusnya bukan senyuman terpaksa atau pun senyuman meledek seperti yang ia berikan biasanya. "Sore."

Stella berdeham, tenggorokannya tiba-tiba terasa kering ketika melihat Atlan yang ada di tempat ini. "Sore."

Sifat cuek dan terkejut Stella membuat rasa penasaran Atlan semakin menjadi-jadi, "Lo ngapain di tempat ini?"

"Bukan urusan lo ngapain gue disini." Mata Stella langsung mencari bahan untuk ditatap selain mata Atlan.

"Well, gue rasa lo belum bisa anggap gue sebagai teman lo." Atlan sengaja membuat nada bicaranya seakan-akan ia sakit mendengar jawaban Stella.

Stella merutuk dalam hati, ia tidak bermaksud seperti itu. Ucapan Atlan seakan-akan langsung mencapnya sebagai seorang pendendam. Walau kita berdua sering bertengkar, Stella tetap menganggap Atlan sebagai teman sekelas dan satu sekolahnya. Ia tidak sejahat itu, apalagi jika Atlan berpikir ia terlalu dendam karena adu mulut yang sering terjadi di antara kita. Ia tidak seburuk. Sekarang ini, ia hanya belum terbiasa dengan situasi seperti ini.

Kita berdua jarang sekali berbicara normal, tanpa adanya urat yang muncul di pembicaraan kita itu rasanya mustahil. Makanya itu, Stella merasa canggung dengan obrolan singkat yang di mulai Atlan. Ia hanya bingung harus bagaimana, di lain sisi ia tidak ingin menjawab jujur mengenai kejadian yang menimpanya belakangan ini. Apalagi menjelaskan kenapa ia bisa berada di tempat ini.

Atlan tiba-tiba terkekeh pelan, membuat Stella menoleh ke arahnya. "Nggak nyangka gue," Atlan menggelengkan kepalanya heran,"udah lama kita nggak ketemu, tetap aja kita bisa pakai baju yang samaan."

Mata Stella langsung melirik ke arah bajunya juga baju Atlan. Oh my god! Kenapa kita berdua selalu seperti ini? Apa kita memang hanya punya baju yang kembar?! Kalau kita berdua hanya punya selera yang sama, tidak mungkin kita bisa memakai baju yang samaan. Seakan-akan kita memakai baju pasangan dan hal ini membuat Stella kesal.

Stella mencoba mengalihkan topik pembicaraan dari baju mereka yang selalu sama. Ia tidak ingin emosinya naik saat berada di tempat ini. Untuk mengalihkan topik saja, ia perlu menarik napas dalam-dalam dan memikirkan awalnya.

"Lo sendiri ngapain disini?" tanya Stella, nada suaranya terdengar ia sebenarnya tidak ingin tahu mengenai hal ini.

Atlan sedikit terkejut mendengar pertanyaan Stella. Ia tidak menyangka bisa mendengar pertanyaan itu, "Gue emang suka ngunjungi ruangan ICU di setiap rumah sakit yang ada di sekitar kita."

Satu alis Stella terangkat, "Kurang kerjaan atau cuman alasan yang lo rangkai biar kedengaran masuk akal?"

Yang kedua, Atlan menyengir, "Gue nggak kurang kerjaan apalagi bohong. Gue emang suka ngunjungi ICU dan IGD buat lihat gimana kondisi kesehatan orang Indonesia, terus ada nggak di antara mereka yang nggak mampu biar bisa gue biayain pengobatannya."

Tatapan Stella masih menunjukkan bahwa ia tidak percaya dengan ucapan Atlan, "Kalau lo gitu, kenapa lo cuman berdiri disini? Kenapa lo masih disini?"

Atlan senang arah pembicaraan mereka mengarah kesini, "Seperti yang gue bilang tadi, gue ngelihat kondisi pasien dan saat itu gue ngelihat kalau ada keluarga lo yang di rawat disini. Jadi gue ingin memastikan, awalnya gue mau pulang kok."

Stella tidak ingin membahas tentang ini, "Gue rasa, bukan urusan lo untuk penasaran dengan keluarga gue yang disini."

Refleks tangan Atlan terulur ke pergelangan tanfan Stella. "Lo ngerasainnya gitu, tapi pikirian gue bilang kalau gue berhak sedikit aja tahu mengenai keluarga lo."

Ia tidak suka jika seseorang memaksanya. Stella berdecak kesal, "Gue nggak berhak buat ngasih tahu lo mengenai keluarga gue yang ada disini!"

"Kenapa?" Atlan benar-benar tidak tahu.

Mata Stella menajam menatap Atlan, "Karena lo cuman TEMAN SEKOLAH gue!"

Atlan tersenyum miring, "Jadi, gue harus jadi seseorang yang lebih dari teman sekolah biar lo bisa terbuka dan ngasih tahu gue siapa keluarga lo itu. Lo mau gue jadi apa? Pacar? Sahabat? Atau calon suami lo?"

Stella menyentak tangan Atlan yang ada di pergelangan tangannya. "Nggak semuanya!"

"Oh. Ya udah, gue juga paham kenapa lo nggal mau kasih tahu ke gue," ucap Atlan santai.

"Bagus kalau gitu." Stella sedikit tenang mendengarnya.

Atlan mendekatkan kepalanya ke telinga Stella, tanpa Stella sadari sehingga Stella tidak bisa menghindar. "Gue punya saran, kalau lo nggak bisa cerita ke gue, seenggaknya lo cerita ke teman lo. Jangan nyembunyiin beban lo dari kita semua, jangan pura-pura kuat demi biar kita nggak kasihan sama lo."

Deg.

Jantung Stella tiba-tiba seperti berhenti berdetak mendengar ucapan Atlan. Matanya menapa mata Atlan yang juga menatapnya. Ia sangat-sangat mengerti dengan ucapan Atlan, membuatnya tidak bisa mengatakan apapun. Ia bukan ingin menyembunyikan semuanya, apalagi pura-pura menjadi kuat. Hanya saja, ucapan Atlan yang terakhir benar.

Ia tidak ingin dikasihani oleh mereka semua.

****

Berusaha tepat janji wkwkwk

26 September 2017

We're Not Twins, But We're?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang