Atlan tidak bisa hanya diam dan duduk manis saat menunggu pemeriksaan Stella keluar. Ia yang melihat Stella pingsan saja langsung panik luar biasa. Melihat dokter dari macam-macam spesialis langsung mengerubungi Stella, ketika ia menjelaskan apa yang terjadi,membuat ia benar-benar panik lebih dari sebelumnya. Untuk sekedar menenangkan diri saja rasanya sudah tidak bisa lagi, bahkan ia tadi sampai lupa menghubungi orang tua Stella.
"Keluarga Stella?"
"Saya, Pak." Papa Stella datang tepat waktu.
"Anak Bapak punya penyakit keturunan?" tanya dokter.
Papa Stella mengangguk, "Dia punya penyakit anemia sel sabit."
Atlan mengernyit karena ia tidak mengetahui jenis penyakit apa itu. Ia benar-benar menyesal sering tidur di pelajaran biologi, memangnya selama ini ia belajar biologi? Kalau pun belajar, apa pelajaran tentang penyakit ini pernah disinggung? Entah lah.
Dokter ini menepuk bahu Papa Stella, "Bapak lupa kalau minggu-minggu ini anak Bapak diperkirakan akan mengalami sickle cell crisis?"
Apa lagi itu?! batin Atlan frustasi, bisa tidak mereka berbicara dengan bahasa saja? Atau mereka membicarakan itu sambil menjelaskan apa maksudnya. Kalau begitu, pasti bisa membuat Atlan mengerti. Kalau begini 'kan tidak bisa membuat ia paham! Mereka seperti sedang menegurnya agar selalu memerhatikan guru, supaya hal seperti ini bisa diketahuinya.
"Saya sepertinya terlalu fokus dengan pekerjaan sampai melupakan tentang ini." Papa Stella terlihat merasa sangat bersalah.
Dokter tersenyum, "Anak Bapak tidak apa-apa, walau kalau tadi telat mungkin bisa mengalami stroke muda."
Papa Stella menghela napas, "Dia sudah bangun?"
Dokter mengangguk, "Kita akan pindahkan dia keruangan biasa. Mungkin Stella butuh istirahat beberapa hari di rumah sakit sampai masa kritisnya lewat."
Kritis? Sebenarnya, apa inti sesungguhnya dari obrolan mereka berdua? Atlan benar-benar frustasi mendengar obrolan mereka. Tadi katanya Stella sudah sadar, lalu kenapa sekarang malah kritis? Mana yang benar? Apa Dokter ini mempunyai sifat labil saat menyampaikan diagnosanya? Tidak mungkin!
Memangnya dia dokter gadungan apa?
Mungkin Dokter ini tidak labil, hanya saja dirinya yang tidak mengerti maksud obrolan mereka. Papa Stella saja terlihat sangat paham dan mengerti dengan ucapan Dokter. Mungkin, ia harus belajar atau mencari di google mengenai penyakit ini. Ia harus mencarinya kalau tidak ingin kebingungan sendiri, Atlan bertekad dalam hati, ia berdoa untuk tidak melupakan nama penyakitnya.
Takut melupakan nama penyakit Stella, Atlan langsung mencari tempat trategis agar tidak di ganggu orang lain. Selagi Stella dipindahkam ke ruangan biasa dan Papa Stella yang mengurus administrasi, maka ini lah waktu yang tepat untuk mencari. Jari-jari Atlan dengan cepat mengetikan nama penyakit keturunan yang diderita Stella.
Anemia sel sabit adalah kondisi anemia di mana terdapat ketidak normalan bentuk sel darah merah, dari yang semestinya bulat dan fleksibel, menjadi berbentuk sabit dan keras. Penyumbatan pada pembuluh darah dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah sehingga penderita anemia sel sabit dapat merasakan nyeri yang tidak tertahankan. Masa ketika nyeri ini kambuh disebut sebagai sickle cell crisis. Diperkirakan penderita anemia sel sabit bisa mengalami kondisi ini sampai 14 kali dalam setahun, dengan durasi nyeri sekitar 5-7 hari.
Atlan mengernyit membaca beberapa baris kalimat yang menurutnya terlalu sulit. Walau terlihat sulit, Atlan dapat sedikit mengerti maksud dari seluruh kalimat itu. Ia tidak perlu membacanya sampai selesai karena ia tidak ingin memecahkan kepalanya. Informasi mengenai Stella sudah cukup, maka ia harus menemui Stella di ruangannya.
Sebelum masuk ke dalam ruangan, Atlan mengetuk pintu terlebih dahulu. Setelah dipersilahkan masuk, baru ia membuka pintu dan melangkah masuk menemui Stella. Tidak di sangka, ia langsung di sambut sangat hangat oleh Papa Stella.
"Terima kasih sekali, berkat kamu Stella tidak terkena komplikasi yang serius." Papa Stella langsung menyalami Atlan.
Atlan yang mendapat perlakuan seperti itu langsung salah tingkah. Ini pertama kalinya ia bertemu dengan Papa Stella, "Iya Om, sama-sama. Sebagai teman Stella, saya harus menolong Stella. Saya juga nggak mau Stella kenapa-kenapa."
Papa Stella menepuk bahu Atlan pelan, "Silahkan kalau mau mengobrol dengan Stella. Saya tinggal dulu."
Atlan hanya bisa mengangguk, ia tidak mungkin bersikap aneh-aneh di sini. Walau Papa Stella sudah pergi, masih ada Bibi atau Ibu Stella yang berada di tempat ini. Jadi, Atlan hanya menghampiri Stella dengan niat untuk pamit.
"Gue pulang dulu ya. Makan yang banyak, terus jaga kesehatan lo. Kalau ada apa-apa hubungi gue aja." Atlan tersenyum tipis melihat wajah pucat Stella.
"Makasih ya, Tlan," lirih Stella pelan.
Atlan mengangguk, lalu ia melihat ke arah Bibi Stella. "Saya permisi pulang dulu ya, Bu."
Setelah berpamitan dengan Bibi, Atlan langsung keluar dari ruang ini menyisakan Stella dan Bibi. Membuat Stella mendesah pelan, ia benci rumah sakit. Alasannya? Ia benci karena rumah sakit memiliki bau yang sangat khas dan bau obat tercium di mana pun. Ia juga tidak bisa melakukan apa pun setiap berada di rumah sakit. Yang hanya bisa ia lakukan hanya lah tidur-tiduran tidak berdaya.
Bunyi pintu yang di buka membuat Stella kembali membuka matanya. Ia kira suster atau dokter, ternyata cowok itu yang masuk ke dalam ruangan ini. Membuat Stella kesulitan bernapas, tangannya langsung meraba kasur, mencari sesuatu yang sangat ia butuhkan.
"Sore Bu. Kenalin saya Ali, teman sekolah Stella," ucap Ali ramah.
Saat Ali masih terfokus dengan Bibi, ia mengetikan sebuah pesan ke seseorang, bukan ke Papa melainkan ke Atlan. Entah kenapa nalurinya berkata bahwa ia harus memberitahu keberadaan laki-laki ini ke Atlan.
Ali meletakkan satu keranjang buah di samping tempat tidur, "Ini untuk lo, semoga lo cepat sembuh ya. Gue nggak bisa lama-lama di sini."
Stella sedikit bisa bernapas lega, walau begitu ia tetap membisu. Saat ia melihat Ali keluar dari kamar, tangan Stella masih saja mengenggam erat HP-nya. Ia masih takut. Sangat takut karena tidak mungkin laki-laki itu langsung pulang begitu saja. Mana ekspresinya tadi terlihat sangat mengerikan.
"Ibu cari makanan dulu ya. Takut maag Ibu kambuh. Stella nggak apa-apa 'kan di tinggal?" Ibu terlihat hati-hati saat mengucapkannya.
Stella takut, tapi ia tak enak hati membiarkan Bibinya tidak makan. "Iya Bu, nggak apa-apa."
Ketika melihat Bibi yang melangkah keluar, Stella kembali mengirim pesan ke Atlan. Apalagi ia melihat bayangan seseorang di depan pintu ruangannya.
Tlan, gue takut. Ada dia di sini.
****
11 Oktober 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
We're Not Twins, But We're?
Teen FictionApa jadinya, jika kalian bertemu dengan seseorang yang benar-benar sama dengan kalian? Atlan dan Stella adalah dua orang yang tidak sengaja saling bertemu di satu tempat. Mereka bertemu dengan keadaan dimana apa yang mereka pakai itu sama persis. Da...
