Seminggu telah berlalu dari hari duka itu. Stella sudah kembali ke sekolah, walau dengan mata yang masih sembap, wajah yang terlihat kelelahan dan pucat. Stella juga masih terlihat rapuh dan menjadi orang yang paling pendiam di kelas. Setiap orang yang memberikan semangat dan ucapan duka, Stella hanya tersenyum tipis untuk membalas ucapan itu.
Satu kelas memahami kondisi Stella, sangat memahami. Makanya mereka tidak masalah, jika Stella hanya menjawab mereka dengan senyuman. Mereka juga sama-sama berusaha membut Stella kembali seperti biasanya. Tugas kelompok yang Stella lupakan saat di rumah sakit sudah selesai, ketika Stella kembali sekolah. Teman-teman sekelas yang sangat-sangat mempunyai sifat yang baik bersedia mengerjakan bagian Stella dan membiarkan nama Stella tetap di tulis, walau Stella tidak mengerjakannya.
Saat di kantin, ketika Fara dan Bella juga yang lainnya memesan makanan. Stella hanya diam dan mengeluarkan bekal makanan yang ia bawa dan meminum minuman yang sudah hampir habis. Stella terlihat seperti seseorang tidak bernyawa tapi hidup. Tubuhnya berada di sini, tapi pikirannya entah berada di mana.
Atlan meletakkan satu kaleng minuman kesukaan Stella dan satu botol air putih di samping botol mimum Stella. "Gue takut lo kehausan, minuman yang lo bawa paling tinggal satu teguk lagi, terus habis."
Stella tersenyum tipis dan untuk pertama kalinya ia bersuara saat di sekolah. "Makasih, Tlan."
Atlan menghela napas, matanya melirik ke bekal Stella. Mata Atlan melebar ketika mengetahui isi bekal itu, "Lo cuman makan salad aja?! Lo mau sakit?!""
Stella menggeleng, "Gue makan ini justru biar gue nggak sakit."
Atlan ingin bertanya lebih lanjut, tapi teman-temannya sudah kembali. Mereka langsung memenuhi meja mereka dan sedikit ribut. Membuat Atlan berdecak kesal, ia tidak mungkin bertanya mengenai hal itu sekarang. Saat berdua saja belum tentu Stella akan menceritakannya, apalagi ramai-ramai seperti ini.
"Lo makan salad lagi, Stell." Bella baru menyadari bawaan bekal Stella.
Ekspresi Fara langsung berubah ketika melihat bawaan Stella. Fara terlihat cemas, "Lo sakit lagi, Stell? Udah minum obatnya? Lo bawa obatnya, 'kan? Memang sekarang ya waktunya?!"
Stella menggeleng pelan. Ia masih saja bisa mengukir senyumnya, "Gue cuman mau mencegah. Belakangan ini gue ngerasa nggak enak badan."
"Kalau ada apa-apa, kasih tahu kami ya. Jangan diam aja, gue jadi ngerasa ngelihat Stella yang baru. Stella yang pertama kali gue kenal kemana?" ucap Bella
Lio yang tidak tahu apa-apa memukul piringnya beberapa kali, hingga menimbulkan bunyi berisik dan membuat seluruh penghuni kantin melihat ke arah meja mereka. "Apa hanya gue yang nggak tahu tentang masalah ini? Atau semua cowok yang ada di meja ini emang nggak tahu apa-apa?"
Rian menggangguk, menyetujui ucapan Lio, begitu juga Halim. Membuat mereka bertiga melihat ke arah Atlan secara serentak, yang di lihat hanya menaikkan sebelah alis dan dengan santai melanjutkan acara makannya.
"Lo nggak tahu atau tahu tapi pura-pura nggak tahu?" Rian menatap curiga Atlan.
Atlan menghembuskan napasnya pelan, "Gue nggak tahu dan gue nggak pura-pura tahu atau nyembunyiin semuanya. Kalau kalian penasara, jangan lihat ke gue tapi ke orangnya langsung atau ke pacar kalian masing-masing."
"Gue nggak punya pacar, jadinya gimana dong?" Lio membentuk wajah sedih yang di buat-buat, membuat seisi meja ini tertawa begitu juga dengan Stella walau pelan.
Atlan menangkap dan merekam tawa Stella. Ia tahu mengapa Stella hanya diam saja, bukan hanya karena penyakit yang tidak di ketahui Atlan, juga karena Stella butuh sesuatu untuk menghiburnya yang kesepian dan Stella butuh penyegaran untuk tubuhnya.
"Eh? Stella juga ikutan ketawa!" Ternyata Halim juga menangkap momen itu.
Satu alis Stella terangkat, "Memangnya gue nggak boleh ketawa?"
"Sangat-sangat boleh!! Malah itu bagus, gue harap lo malah ketawa dan jadi heboh kayak biasanya lagi!" seru Fara
Rian langsung menarik tangan Atlan dan memperlihatkan jam tangan Atlan, lalu tangannya yang satu lagi mengambil HP Atlan. "Lihat nih Stell, HP sama jam tangan kalian sama!!"
Stella sadar dan sangat tahu kalau mereka memang sengaja memancing jiwa lamanya untuk keluar. Maka dati itu, untuk menyenangkan mereka berdua. Stella menajam tatapannya saat melihat Atlan, "Lo ngikutin gue lagi ya? Kenapa jam tangan sama case HP kita bisa sama?!"
Semua orang yang ada di meja ini langsung tersenyum ketika melihat respon Stella yang sangat positif. Tidak semuanya, karena Atlan malah melongo heran dan kebingungan sendiri.
Mata Atlan beberapa kali mengdip, "Lo tadi bilang apa?"
Stella menunjuk dua benda yang di tunjukkan Rian sebelumnya, "Kenapa lo bisa punya dua benda ini? Dan kenapa lo bisa punya hal yang sama dengan gue? Lo ngikutin gue ya?"
"Ha?!" Atlan masih tidak mengerti dengan ucapan Stella, "gue beneran nggak ngikutin lo, tadi gue pakai jam tangan ini karena gue nemunya ini. Terus case HP, gue emang belum ganti case-nya."
Stella tersenyum tipis mendengar penjelasan Atlan. "Lo kayak orang yang bersalah aja."
"Emang dia bersalah, bersalah karena udah ngambil hati gue," canda Lio, ia mengakhiri ucapannya dengan wajah yang di buat-buat sedih.
Atlan memutar kedua bola matanya, "Gue lagi nggak konsen nih, sebenarnya kalian lagi ngomongin apa?"
"Ngomongin, gimana caranya ngebuat Stella balik lagi kayak dulu," jawab Bella
Kening Atlan mengerut, kini matanya melirik ke arah kaleng minuman yang belum di sentuh Stella. Tangannya terulur membukakan minuman itu, seperti biasa, ia meletakkan minuman itu di genggaman tangan Stella. "Di minum, bukan di lihatin aja."
Rian menyadari ada sesuatu yang aneh. Ia berdeham, "Kalian berdua ada hubungan sesuatu dan sejenisnya ya?"
"Jangan nyembunyiin hubungan kalian dari kita lah!" Halim ikut berkomentar.
Sedangkan Lio langsung mengubah ekspresinya menjadi pura-pura sedih, "Jadi, tinggal gue yang masih sendiri nih?"
Dengan sendok yang ada di depan Atlan, tangan Atlan sangat cekatan memukul satu-persatu kepala mereka. "Berisik! Jangan ngomong yang aneh-aneh, kalau nggak ada bukti!"
Mereka bertiga kompak menunjuk ke kaleng minuman Stella, begitu juga Bella dan Fara yang langsung menatap Stella untuk meminta penjelasan tentang semua ini.
Stella berdecak, ia tidak suka disudutkan seperti ini. "Gue sama Atlan cuman teman. Dia gini karena dia yang ada di rumah sakit waktu itu, katanya dia mau gantiin Abang gue."
Atlan meringis mendengar jawaban Stella. Stella salah tangkap maksudnya waktu itu, apa ia yang salah bicara ya? "Tuh dengerin!"
Mereka masih menatap keduanya tidak percaya, sampai Halim berdeham pelan. "Kayaknya, ada yang mau Atlan bicarain sama Stella, jadi mendingan kita pergi dari sini."
Atlan yang sedang minum tersedak ketika mendengar ucapan Halim. Apa yang mau ia bicarakan dengan Stella? Ia rasa tidak ada.
"Mau ngomong apa, Tlan?" tanya Stella setelah mereka pergi dari meja ini.
Atlan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "Hari Sabtu nanti, lo mau pergi sama gue nggak?"
Stella memutar-mutar kaleng minumannya. Ia tersenyum lebih lebar dari sebelumnya, "Boleh."
Terukir lah senyuman lebar Atlan mendengar jawaban Stella, "Gue jemput jam 8 ya, di rumah lo."
****
3 Oktober 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
We're Not Twins, But We're?
Fiksi RemajaApa jadinya, jika kalian bertemu dengan seseorang yang benar-benar sama dengan kalian? Atlan dan Stella adalah dua orang yang tidak sengaja saling bertemu di satu tempat. Mereka bertemu dengan keadaan dimana apa yang mereka pakai itu sama persis. Da...