Part 24

2.1K 275 5
                                    

Sejak kejadian itu, Stella hanya berdiam diri di dalam kelas. Ia tidak mau menerima apapun pemberian dari orang yang tidak di kenalnya. Jika berada di dalam kelas, Stella pasti memaksa orang untuk menemaninya. Kalau yang tersisa hanya perempuan, maka Stella memaksa dua orang untuk menemaninya, berbeda jika ada laki-laki. Intinya, ia harus ditemani salah satu teman sekelasnya.

Beruntung sekali, teman sekelas Stella sangat memahami keadaannya dan tidak keberatan jika, ia memaksa mereka untuk menemaninya di kelas. Walau Stella lebih sering ditemani Atlan dan membuat Atlan tidak bisa tidur di kelas lagi. Atlan hanya bisa pasrah dan menepati ucapannya untuk selalu di samping Stella.

Halim yang mengetahui tentang itu, semakin bersamangat untuk mendukung Stella agar terus menerus menyuruh Atlan menemaninya.  Sekali-kali Atlan memang terkadang membeli sesuatu di kantin, membuat salah satu dari ketiga sahabatnya bergantian menemani Stella. Tidak ada yang keberatan, terkadang juga teman laki-laki sekelasnya yang di minta tolong untuk menemani Stella.

Atlan meletakkan minuman kaleng kesukaan Stella dan satu botol air putih sesuai pesanan Stella. "Lo nggak mau pesan yang lain?"

Stella menggeleng, "Ini aja udah cukup kok, tapi ya lo nggak harus bayarin pesanan gue terus-terusan! Sekali-kali terima gitu uang gue!"

"Lo setiap hari cuman makan salad, tubuh lo entar makin kurus!" Atlan mengalihkan pembicaraan.

Stella cemberut, "Kalau gitu, gue pesan gado-gado deh!"

"Makan di sana aja," Ekspresi wajah Stella langsung berubah, "lo di dalam kelas aja nggak bosan apa? Lagian ya, kalau lo ke kantin sama gue, dia nggak akan ngapa-ngapain lo, gue jamin."

"Iya deh iya," Stella membereskan kotak makannya, "sekali ini doang ya, lain kali gue nggak mau keluar kelas! Ini gue mau karena gue nggak mau lo bayarin makanan gue terus-terusan."

Atlan memutar kedua bola matanya, "Terserah apa kata lo, yang terpenting lo makan!"

Stella tersenyum lebar melihat Atlan yang kesal. Entah kenapa ia senang ketika melihat Atlan yang kesal dan khawatir dengannya. Atlan memang tidak pernah menunjukkan secara langsung kekhawatirannya, tapi sikap Atlan bisa terlihat sangat jelas di mata Stella bawah Atlan sedang khawatir. Ia merasa nyaman, tenang dan aman ketika berada di samping Atlan. Entahlah kenapa. Mungkin ini semua karena Atlan yang memang menepati janjinya dan tetap berada di sampingnya, meski pun Atlan terlihat bosan.

"Jangan gado-gado deh, makanan yang lain." Atlan menarik Stella ke tempat lain.

"Nggak mau! Gue maunya gado-gado!" Stella tetap mempertahankan keinginannya.

Atlan mengalah, ia kembali melangkah ke tempat ibu-ibu yang berjualan gado-gado. "Bu, pesan gado-gadonya satu, makan di sini,lontongnya yang banyak ya."

"Nggak usah banyak-banyak lontongnya, Bu. Sayurnya aja yang banyak, kacangnya dikit aja ya," ralat Stella.

Atlan langsung melirik Stella, ia memberikan tatapan paling tajamnya, namun itu tidak bisa merubah keinginan Stella. Stella malah menarik Atlan untuk duduk di salah satu tempat yang kosong. Dengan senyum manis yang masih terukir di wajah Stella, ia menatap wajah Atlan secara terang-terangan membuat Atlan salah tingkah.

Stella tertawa melihat sikap Atlan yang mendadak jadi diam, "Mukanya merak tuh, Tlan. Salah tinkah ya?"

Atlan mendelik tidak suka, "Lo itu, gue bilangin banyakin lontongnya, kenapa malah sayurnya sih?!"

"Masih aja ngebahas itu," Stella cemberut, "mau ngalihin pembicaraan ya?"

Atlan memutar kedua bola matanya, "Entar makanannya dihabisin, jangan nggak!"

Stella meletakkan tangannya lurus di depan alis, membentuk seperti seseorang yang hormat. Tidak sengaja kulit Stella tersentuh kulit keningnya. Membuat ia mengelus lehernya dan merasakan sesuatu yang aneh di tubuhnya.

Refleks Stella menarik tangan Atlan, membuat Atlan menyentuh keningnya. "Badan gue panas ya?"

Kening Atlan mengerut, "Lo sakit?"

"Kenapa gue nggak sadar ya?" Stella malah keheranan sendiri, ia melepakan tangan Atlan dan mencoba mengingat kapan badanya mulai bersuhu seperti ini.

"Lo sakit?" Atlan mengulangi pertanyaannya.

Stella mengangkat kedua bahunya, "Nggak tahu gue, gue nggak ngerasain ada yang nggak enak. Mungkin ini efek suhu ruangannya kali."

"Ja...."

"Yeee!! Gado-gadonya datang!!" Stella berseru, memotong ucapan Atlan.

Saat ingin menyuapkan gado-gado pertamanya, Stella menjatuhkan sendok yang ia gunakan karena lehernya terasa kaku dan ada rasa nyeri di sekitar pergelangan tangan. Stella terbatuk hebat karena merasakan sesuatu yang tiba-tiba, kepalanya tiba-tiba terasa berat. Dada Stella terasa seperti tertusuk sesuatu yant membuatnya susah bernapas.

"Ke...las," lirih, sangat pelan Stella mengatakannya.

Saat Stella baru saja berdiri, seluruh tulang dan persendiannya terasa sakit. Area perutnya juga terasa seperti ada yang menusuk dengan benda tajam. Membuat ia terjatuh, kalau saja Atlan tidak menangkapnya mungkin ia sudah terbaring di lantai.

Kening Atlan mengerut ketika melihat betis Stella, "Ini bengkak karena apa?"

Stella menggeleng lemah, ia tidak mampu bersuara lagi. Rasa sakit ini mengambil seluruh sisa tenaga yang ia miliki. Kepalanya yang berat semakin menyiksanya. Ia semakin pusing hingga pandangannya buram. Rasa sakit intens ini terjadi tanpa sebab dan tanda-tanda terlebih dahulu, berarti hari ini adalah hari itu. Kenapa ia bisa lupa?

"Kita harus ke rumah sakit. Lo bisa jalan?" Atlan benar-benar panik sampai tidak bisa berpikir apapun.

Stella lagi-lagi menggeleng tanpa suara. Ia benar-benar sedang menahan sakit dan berusaha untuk tetap sadar.

Atlan menarik napas dalam-dalam, lalu ia mengangkat Stella. Atlan dapat melihat dengan sangat jelas bagaimana Stella menahan rasa sakitnya.  Saat perjalanan menuju mobil, ia berpapan dengan Rian dan Bella yang langsung menghampiri mereka dengan heboh.

"Bell, ambil tas Stella." Atlan melirik ke arah Rian, "bantu gue, ambil kunci mobil gue terus bukain pintunya."

Stella tidak terlalu memedulikan apa yang sedang terjadi, ia hanya berusaha fokus agar tidak kehilangan kesadarannya. Ia dapat merasakan tubuhnya yang dimasukkan ke dalam mobil, lalu Atlan memasangkan sabuk pengaman untuknya. Setelah itu, ia dapat melihat mobil Atlan melaju cepat meninggalkan sekolahan. Setelah itu, sakit kepalanya semakin menjadi-jadi dan membuat semua pandangannya menggelap. Semuanya hitam seketika itu.

***

10 Oktober 2017

We're Not Twins, But We're?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang