Part 14

2.6K 332 0
                                    

Hanya ada bunyi mesin yang memonitor detak jantung, nadi, tekanan darah dan temperatur bentuk pulsa jantung secara menerus. Tidak ada bunyi yang lain. Ruangan ini seakan-akan ruangan tersunyi di rumah sakit. Ruangan yang jarang sekali terjamah dengan orang-orang yang ingin mengobrol atau hanya ingin mengumpul. Bahkan untuk masuk ke ruang ini saja butuh beberapa tahap dan tidak semua orang bisa masuk.

Mata Stella menatap ventilator, alat yang membantu pernapasan Bang Axel atau lebih tepatnya, alat yang menggantikan paru-parunya. Lalu ada infusion pump dan syringe pump yang digunakan untuk memberikan obat juga cairan untuk tubuh. Yang terakhir mesin haemodialis untuk pegganti organ ginjal. Terlalu banyak mesin yang membantu organ-organ Axel. Bahkan, jika salah satu mesin itu dicabut maka semuanya akan berakhir. Sekarang tubuh Axel sangat membutuhkan mesin-mesin itu, karena semua organ dalam tubuhnya sudah tidak berfungsi lagi.

Tangan Stella terulur mengenggam tangan Axel, ia menghela napas. "Gue udah disuruh sama perawat di sini buat keluar dari ruang ini, Bang. Tapi, gue masih mau di sini, jadi gimana?"

Lagi-lagi Stella menghela napas, ia menunduk hingga keningnya menyentuh tangan Axel. Ia menutup matanya rapat-rapat karena ingin menahan tangis. Sejujurnya, dari tadi hati ini sudah menangis terus menerus tanpa henti. Dada ini terasa sangat sakit dan bertambah sakit ketika melihat semua alat-alat yang ada diruangan ini.

Bangkit, ia harus bangkit dan tidak boleh menjadi seperti ini terus menerus. Ia tidak boleh diam dan terus-menerus menangis. Ia harus merelakan dan mencoba menerima semua. Ia harus menerima kenyataan pahit yang mungkin akan didengarnya sebentar lagi. Kepala Stella terangkat, ia kembali mengelus tangan Abangnya, "Gue keluar dulu ya, entar yang jagain Abang itu Papa. Besok seharian Stella bakalan jagain Bang Axel. Gue nggak akan pergi kemana pun."

Setelah mengatakan itu, dengan berat hati Stella melangkah keluar. Ia menemui keluarganya berkumpul. Disana sudah ada Papa yang duduk dengan kepala tertunduk. Terlihat sekali kalau dia sedang rapuh, lelah, lemah dan frustasi.

Tanpa mengatakan apapun, Stella langsung memeluk Papa dari samping. "Berita buruk, kah?"

Papa mengangguk lemah, ia meremas tangan Stella. Mencoba menguatkan dirinya dan juga Stella, "Kita harus ngelepasin Axel."

Rasanya air mata ini sudah mau habis, "Kenapa? Karena uang? Kalau karena itu, Stella mau kok cari kerja."

Lagi-lagi Papa menggeleng lemah, "Karena tubuh Axel nggak akan bisa bertahan tanpa alat-alat itu semua. Kalau pun Abang kamu bangun, dia tetap harus di tunjang sama alat-alat. Semua organnya sudah rusak dan semakin lama bakalan buruk juga buat Axel. Dia juga sudah terkena komplikasi yang cukup buruk selama koma."

Bahu Stella melorot mendengar ucapan Papa, ia ingin sekali lari menemui Abangnya. Ia ingin memeluk dan menanyakan bahwa semua ini pasti bohong. "Jadi Papa berniat ngelapasin semua alatnya?"

Untuk kesekian kalinya Papa mengangguk, "Ini pilihan terbaik untuk Axel."

"Nggak! Ini pilihan buruk! Kalau kita ngelepasin semua alat-alatnya, tubuh Bang Axel bakalan menderita. Bang Axel bakalan sakit! Stella nggak mau Bang Axel ngerasain sakit di akhir hidupnya!" ucap Stella.

Pelan, Papa melepaskan pelukan Stella. Ia menatap mata anaknya dan mengelus rambut Stella, "Kalau gitu, Stella maunya gimana? Kalau kita biarin dia dengan keadaan gitu, dia juga bakalan tersiksa."

"Kita lakukan euthanasia."

Di tempat lain, Atlan sedang berdiri mematung melihat kedua orang tua dan adiknya yang sedang mengobrol di taman belakang. Suasana obrolan itu terlihat tenang dan tidak terlalu ribut, sehingga membuat Atlan selalu percaya bahwa mereka tidak sedang mengobrol, melainkan hanya mengumpul dengan pikiran yang berbeda-beda.

Walau begitu, kaki Atlan tetap melangkah mendekati mereka. Ia berusaha tersenyum dan seperti yanh ia perkirakan, ketika melangkah mendekati mereka, pikiran Atlan juga tidak berada di sini. Pikirannya melayang jauh ke sana. Ke tempat dimana Stella berada. Ia memikirkan bagaimana keadaan Stella sekarang.

Cepat-cepat Atlan memfokuskan pikirannya ketika ia sudah sampai di tempat mereka semua berkumpul, "Malam semua!"

"Tumben banget disini, nggak malmingan?" Gia tersenyum meledek, "oh ya lupa, lo jomblo jadi ya nggak malmingan."

Atlan mendorong kening Gia menggunakan jarinya, "Jomblo jangan ngomong jomblo!"

"Ada apa?" Papa mengambil alih obrolan sebelum terjadi keributan seperti biasanya.

Kening Atlan mengerut, "Apanya yang ada apa, Pa? Atlan kesini nggak ada apa-apanya kok, cuman mau ikut ngumpul aja."

"Soalnya dia nggak punya cewek, Pa. Jadi nggak ada yang di ajak jalan!" Gia kembali meledek Atlan.

Mata Atlan langsung menajam menatap Gia, "Sekali lagi lo ngomong gitu, gue nggak akan mau nemanin lo kemana-mana lagi!"

"Lah? Lo 'kan memang jomblo, kok marah sih?" Gia malah tersenyum, "kalau lo nggak mau nemenin gue lagi, gue bisa pergi sama teman-teman gue kok."

"Udahan sih, kenapa ribut mulu? Sakit nih telinga Mama ngelihat kalian ribut. Kayak nggak ada kerjaan lain aja selain ribut!" omel Mama.

Atlan mencoba tidak membalas ucapan Mama. Ia mencoba bersikap patuh kepada orang tua, "Tadi kalian lagi bahas apa? Atlan mau dengar, jadi lanjutin aja."

"Ini Gia mau pindah sekolah keluar negeri," jawab Mama.

Mata Atlan melebar, "Nggak boleh!"

"Bang Atlan kenapa sih? Kenapa juga nggak boleh?! Mama sama Papa aja boleh-boleh aja kok!" heran Gia.

"Pokoknya nggak boleh! Nggak perlu pakai alasan yang jelas untuk ngelarang lo." Atlan tetap pada pendiriannya.

Betul kata Stella, mungkin suasana yang sekarang kita alami sedikit menganggu dan tidak mengenakan. Tapi suasana itu akan menjadi indah dan menyenangkan nanti, ketika kita mengingat semuanya kembali. Maka suasana itu akan menjadi suatu hal yang sangat dirindukan.

Semuanya akan menjadi precious moments.

Melodi yang awalnya tidak indah pun bisa menjadi indah ketika kita mendengarnya berulang kali.

****

Selamat datang bulan oktober!!

1 Oktober 2017

We're Not Twins, But We're?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang