Part 31

1.7K 257 6
                                        

Stella dan Ibu masih terdiam dengan posisi yang sama, belum bergerak sama sekali. Nyawa mereka seakan-akan juga hilang ketika mendengar bunyi tembakan itu. Stella sampai harus beberapa kali berkedip dan bisa sepenuhnya sadar saat mendengar bunyi tembakan yang sama untuk kesekian kalinya lagi.

Stella langsung mengambil HP-nya yang tadi terjatuh. Masih memanggil Atlan ternyata, "Gue takut, lo di mana?"

"Lima menit lagi gue sampai."

"Gue harus ngapain sekarang? Gue nggak tahu apa yang terjadi di bawah, gue....."

"Lo ambil sesuatu yang bisa ngelindungi diri lo. Lo lihat keluar jendela, kalau nggak ada orang dan aman, lo turun lewat sana. Kalau misalnya nggak aman, lo buat pertahanan keamanan di kamar lo. Lo pindahin lemarinya atau apa yang ada di sana ke depan pintu."

Dengan sisa tenaga yang tinggal seberapa, Stella berdiri dan berjalan ke arah jendela. Ia bergidik ngeri ketika melihat beberapa orang yang menjaga rumahnya dan di seberang rumah terlihat ada beberapa warga yang di todong pistol dan senjata tajam. Matanya masih dapat melihat dengan jelas kejadian itu. Ia langsung menutup jendelanya rapat-rapat.

"Di bawah nggak aman." Stella melangkah ke arah Ibu, mencoba menyadarkan wanita tua yang jauh lebih rentan dari pada dirinya.

"Lo harus buat kamar lo jadi aman, seaman mungkin."

Mata Stella melirik ke arah lemari yang berada tidak jauh dari tempatnya, "Jangan matiin sambungan teleponnya, please."

Stella meletakkan HP-nya begitu saja di lantai. Ia berjalan ke arah lemari, keningnya mengerut ketika mengingat betapa beratnya lemari ini. Mungkin saja, ia tidak akan bisa menggeser lemari ini. "Bu bantu Stella."

Ibu langsung berdiri ketika Stella memanggil. Terlihat tubuhnya masih lemas, bahkan suara Ibu sangat lirih. "Kita nggak akan bisa geser lemarinya."

Bahu Stella melorot, ia lemas seketika itu. "Tapi kita harus berjuang Bu, kita nggak mungkin cuman diam di sini tanpa ngelakuin apa-apa. Kita kayak nunggu maut datang dan pasrah gitu aja."

Ibu tersenyum, ia mengangguk setuju. "Ibu bakalan ngelindungi kamu. Ayo kita sama-sama geser lemarinya."

Belum selesai mereka menggeser lemari sampai menutupi seluruh pintu, bunyi tembakan terdengar disusul dengan tembakan yang menembus pintu kamar Stella. Membuat Stella langsung terdiam beberapa detik sebelum menyadari sesuatu. Ia langsung menggeser HP-nya yang tergeletak di lantai ke bawah tempat tidur menggunakan kaki. Ia tidak ingin sambungan telepon mereka terputus. Setidaknya, Stella tahu bahwa ada orang yang sedang bersamanya di sana.

Ibu langsung menarik tangan Stella. Ia membuat Stella berada di belakangnya, "Diam di sini saja."

Lemari yang sudah setengah di geser itu mendadak ambruk beberapa menit setelah bunyi dua tembakan itu. Orang-orang menyeramkan langsung masuk ke dalam kamar Stella. Satu orang dari beberapa orang itu membuat jantung Stella berdetak lebih cepat dari biasanya, ia membisu seketika melihat orang itu.

Tangan Stella mencengkram lengan Ibu kuat, "Bu, itu Ali yang waktu itu."

Bukan hanya Stella yang menjadi kaku, Ibu yang mendengar penuturan Stella juga ikut terdiam begitu saja ketika beberapa orang itu mengarahkan semua senjata ke arah mereka.

Stella ingin menjadi seseorang yang berani seperti kata Atlan, maka dari itu ia tidak boleh hanya diam seperti ini. "Kalian boleh ambil semua barang yang kalian mau, setelah itu kalian harus pergi dari sini!"

Ali tersenyum miring, "Berarti gue boleh ngambil lo dan ngebawa lo dari sini? 'Kan barang yang gue mau itu lo!"

"Diam kamu!" Ibu sudah kembali sadar dari ketakutannya, "jangan sekali-kali kamu berharap bisa menyentuh dia!"

Mata Ali melirik salah satu orang, menyuruh orang itu untuk menyingkirkan Ibu. Membuat Stella semakin mencengkram lengan Ibu kuat begitu juga sebaliknya. Namun, memang aturan dunia kalau laki-laki itu lebih kuat dari pada perempuan. Apalagi dalam keadaan seperti ini, badan mereka berdua sudah sangat lemah. Membuat mereka berdua berhasil dipisahkan.

Ali mendekati Stella, membuat Stella melangkah mundur. Ali yang melihat hal itu tersenyum miring, "Lo membuat hidup keluarga gue berantakan dan gue bisa membuat hidup lo jauh lebih berantakan lagi!"

Ali mengangkat tangan dan mengangguk pada saat itu juga bunyi tembakan terdengar. Membuat Stella menutup mulut ketika melihat Ibu yang di tembak pada bagian sekitar perut, setelah itu Ibu di seret keluar dari kamar. Semua orang pergi dari kamar kecuali Ali, membuat tubuh Stella kaku. Memori masa kecilnya kembali pada saat itu.

"Sekarang waktunya gue nikmati tubuh lo!" Ali mengakhirinya dengan senyum miring.

"Jangan harap!! Gue nggak mau sama lo!!" Stella sengaja berteriak karena ia ingin Atlan mendengarnya.

Ali menyentuh wajah Stella dari atas hingga berhenti di tangan Stella. Stella dengan susah payah melepaskan sentuhan itu namun, satu tangannya sudah di genggam Ali. Lalu, kedua tangannya langsung di ikat Ali. "Pacar lo nggak akan bisa nyelamatin lo dan dia nggak akan jadi orang pertama yang nyobain tubuh lo."

"Tolong!!! Gue nggak mau sama lo!!" Stella masih berusaha menendang-nendang Ali.

Usahanya gagal karena Ali langsung mengikat kakinya dan mendorong tubuhnya ke atas tempat tidur.

"Berengsek lo! Lepasin gue!! Gue nggak mau sama lo!!"

Atlan yang mendengar teriakan Stella dari sambungan telepon langsung mempercepat kecepatan mobilnya. Ketika ia sampai di depan komplek Stella, mobilnya di halang beberapa polisi dan ia dapat melihat pemadam kebakaran di sana.

"Saya mau masuk, jangan larang saya!" teriak Atlan dari dalam mobilnya.

Polisi yang berada di depan komplek Stella tidak juga membolehkan Atlan dan beberapa orang yang bersamanya masuk. Membuat Atlan turun dari mobil dengan ekspresi marah, "Saya ingin masuk! Jangan buat saya pakai cara kasar!"

"Maaf Pak, orang luar tidak boleh masuk untuk sementara waktu. Serahkan semuanya ke polisi dan petugas di sini," ucap polisi yang menghalangi Atlan dengan sopan.

"Serahkan ke kalian? Mau sampai kapan kalian diam di sini, sedangkan orang yang di dalam komplek sudah menderita?! Apa kalian bisa bertanggung jawab penuh atas semua yang terjadi di dalam?!" Amarah Atlan terpacing.

"Ini sudah menjadi protokol keselamatan buat anda dan semuanya! Tolong anda tenang!" Polisinya juga ikut terpancing emosi.

"Sialan," Atlan tidak menanggapi ucapan itu, ia langsung masuk ke dalam mobil dan bersiap-siap memacu mesin mobilnya. Ketika menurutnya situasi sudah mendukung, Atlan langsung menjalankan mobilnya dengan kecepatan penuh dan tidak memedulikan beberapa orang yang menghalanginya. Ia seakan-akan berada di arena balapan.

Atlan memberhentikan mobilnya tepat di depan rumah Stella. Ia melirik ke arah pistol yang di ambilnya dari dalam mobil Papa. Ini bukan pistol ilegal, ini pistol legal dan sudah ada izinya. Ia juga bisa menggunakannya karena ia ikut dalam olahraga menembak. Ia hanya takut untuk masuk karena belum siap untuk melihat apa yang sudah terjadi di dalam. Namun, ia harus masuk dan menyelamatkan Stella, menerima apapun yang di lihatnya nanti.

Atlan tidak sendiri, ia masuk ke dalam rumah ditemani beberapa orang kenalan orang tuanya. Tidak mungkin ia masuk ke dalam rumah Stella sendiri dan menjadi seseorang pahlawan. Ia akan kalah sebelum bisa menyelamatkan Stella.

Mata Atlan melebar ketika melihat tubuh Papa dan Bapak Stella. Papa Stella yang masih sadar langsung menunjuk ke arah kamar Stella, membuat Atlan dan beberapa orang langsung berlari ke arah kamar Stella.

"Gue nggak mau!! Pergi dari sini!!"

Atlan langsung mengarahkan mata pistolnya ke arah Ali, "Lepasin dia!"

****

23 Oktober 2017

We're Not Twins, But We're?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang