Atlan baru saja membersihkan diri dan mengganti baju, ketika ia mendengar HP-nya yang berdering cukup kuat. Ia belum mengecek HP-nya sejak pulang dari rumah sakit, lebih tepatnya sejak ia berada di sekolah. HP merupakan benda yang sering Atlan lupakan. Tidak seperti Gia -adik Atlan- yang selalu membawa HP kemana pun, Atlan malah sering meninggalkan HPnya.
Mata Atlan melebar ketika melihat 8 kali panggilan tidak terjawab dari Stella. Ia segera membuka kotak masuk pesan, saat membaca pesan Stella, jantung Atlan berdetak cepat dan darahnya berdesir. Seketika itu, ia menyesal sering melupakan benda ini dan membiarkan benda ini tergeletak tanpa pernah di perhatikannya.
Tidak mau memperlambat waktu lagi, Atlan langsung keluar kamar dan berlari menuruni anak tangga. Ia bahkan belum menyentuh makan malam yang sudah disediakan Mama. Kaki Atlan berhenti melangkah saat otaknya sibuk menghitung waktu tercepat untuk sampai ke rumah sakit. Ia tidak akan bisa sampai secepat mungkin menggunakan mobil, kalau jalanan di sekitarnya macet.
Tangan Atlan langsung merogoh saku celananya, mengambil benda yang sering di lupakannya. Ia mencari sesuatu di google, rute tercepat untuk sampai ke rumah sakit di mana Stella di rawat.
Pakai motor. Ya.
Atlan langsung memfokuskan pandangannya untuk mencari kunci motor kepunyaan Papa. Ia meringis pelan ketika melihat kunci motor yang terletak begitu saja di atas lemari kecil di ruang tengah. Dalam hati, ia berdoa agar Papa tidak memarahinya karena memakai motor tanpa izin. SIM motornya saja belum selesai diurus, mau tidak mau Atlan juga harus berdoa agar tidak bertemu polisi di jalan nanti. Yang terpenting, ia sudah mencoba membuat SIM, hanya saja belum lulus alias selalu gagal dan pastinya, kali ini Atlan akan menggunakan helm.
Membuat SIM untuk motor itu lebih sulit, daripada SIM untuk mobil. Beneran deh.
Sepanjang perjalanan, pikiran Atlan terbagi-bagi. Antara Stella, polisi, Papa dan perutnya yang meronta untuk segera diisi. Benar-benar menyebalkan! Yang paling menyebalkan adalah perutnya ini yang tidak bisa bekerja sama.
Bisa tahan sebentar saja, tidak?
Ia pasti akan mengisi perutnya, setelah melihat Stella dan mendapatkan bahwa Stella tidak apa-apa.Sesuai perkiraan Atlan, ia sampai lebih cepat, bahkan jauh lebih cepat ketika mengendarai motor daripada mobil. Ia hanya memakirkan motor sekedarnya, asal terlihat rapi dan tidak menganggu orang lain. Setelah itu, Atlan langsung berlari menuju ruangan Stella. Saat Atlan sampai di depan ruang Stella, hal pertama yang ia lihat adalah laki-laki itu sedang berdiri di samping pintu kamar Stella sambil memainkan HPnya.
Atlan memelankan langkah kakinya, ia menatap lurus dan tajam ke arah laki-laki yang masih belum menyadari kehadirannya. Membuat Atlan harus berdeham. Laki-laki itu hanya melirik Atlan sekilas, lalu tersenyum miring, walau jari laki-laki ini masih sibuk bermain dengan HP yang berada di tangannya, Ali tetap sesekali melirik Atlan.
"Ada perlu apa lo datang kesini?" Atlan terpaksa membuka obrolan.
Perutnya yang terus-menerus memaksa Atlan untuk segera mengisinya. Membuat ia harus segera mengakhiri obrolan ini, obrolan yang baru saja di mulai. Ia hanya ingin memesan makanan lalu mengisi perutnya dengan makanan yang dipesannya. Melihat Ali tidak juga menggubris pertanyaannya, tangan Atlan dengan cepat mengambil HP dan memesan makanan melalui layanan pengantar makanan. Setidaknya, selagi ia menunggu makanan itu diantar, ia bisa mengobrol dengan laki-laki kurang kerjaan ini.
"Lo tuli atau bisu?" Atlan masih berbicara dengan nada yang biasa.
Ali tersenyum miring, ia memasukan HPnya ke dalam saku celana. "Udah gue bilang, cewek lo terlalu cantik untuk nggak gue ganggu."
"Kayaknya gue lupa bilang," Atlan berdiri tepat di depan Ali, hanya berjarak dua langkah, mungkin, "kalau sampai cewek gue kenapa-kenapa, lo selesai di tangan gue dan jangan pernah berharap kalau lo bisa bernapas dengan tenang lagi!"
Ali tertawa sinis, "Gertakan lo nggak mempan untuk gue, bocah!"
Satu alis Atlan terangkat, "Oh ya? Lo mau buktinya sekarang? Lo mau hidup lo nggak tenang dulu atau nggak bisa napas dengan tenang lagi? Lo pilih dan gue bakalan ngebuktiin ke lo."
Ali menguap, ia melihat Atlan dengan ekspresi meremehkan. Mana ada orang yang percaya dengan dia kalau wajahnya saja seperti itu. "Daripada lo mikirin gue, mendingan lo lihat pacar kesayangan lo yang sakit itu. Semoga dia bisa cepat sembuh ya, biar gue ganggunya mudah."
Atlan menggerutu pelan, ia tahu arti dari ekspresi laki-laki sialan ini. Ia selalu saja diremehkan, kenapa juga ia tidak terlahir dengan wajah Papa yang bisa membuat pesaing takut? Menyebalkan, "Muka gue emang nggak bisa meyakinkan lo. Lo ingat aja, sekali lagi lo ganggu cewek gue, lo bakalan ngilang dari negara ini dan nggak akan pernah di kenal siapa pun lagi!"
Ali tertawa, ia benar-benar perlu memberikan penghargaan kepada bocah yang ada di depannya. Dia seolah-olah mengatakan bisa menguasai negara ini, benar-benar ucapan yang tidak bisa dipercaya. Ali melangkah mendekati Atlan, ia tersenyum miring dan tangan kirinya menepuk pundak Atlan. "Kalau mau ngancam orang pakai ancaman yang nggak mustahil, jadi orang yang lo ancam itu bisa percaya. Jangan pakai ancaman yang lo aja nggak tahu gimana ngelakuinnya, lo harus lebih banyak belajar lagi ya, bocah."
Tarik napas, hembuskan. Ia harus menahan kesabarannya karena ia memang tidak terlalu pintar berkelahi tapi kalau masalah melenyapkan namanya dari negara ini, itu benar-benar mudah. Mungkin, ia harus melayangkan tinjuan dulu ke wajah angkuhnya itu. Setidaknya, Atlan masih bisa meninju orang walau tidak kuat.
Saat Atlan berpikir sudah cukup mengomeli keangkuhan laki-laki sialan itu, ia masuk ke dalam kamar Stella. Dari posisi Stella berbaring, ia tahu kalau Stella ketakutan. Senyum Atlan terukir ketika menangkap sorot mata Stella yang masih siaga, "Dia udah pergi, lo bisa tenang sekarang."
Stella menghembuskan napas lega, "Makasih ya dan maaf gue malah ngebuat lo balik kesini lagi."
"Sama sekali nggak masalah buat gue," Atlan duduk di samping tempat tidur Stella, "lo pinta gue tengah malam kesini juga nggak apa-apa."
Stella menatap Atlan dengan tatapan bersalah, "Lo pasti belum makan."
"Santai aja kali sama gue," Atlan terkekeh pelan melihat ekspresi Stella, tangannya bergerak menarik hidung Stella tanpa ia sadari, "itu makanan gue juga udah sampai."
Atlan tidak tahu, apa yang baru saja Atlan lakukan itu membuat rona merah di wajah Stella muncul. Melihat Atlan yang berjalan keluar kamar, Stella cepat-cepat mengusap wajahnya dan mencari cara agar Atlan tidak melihat wajahnya yang sudah memerah ini.
Kenapa jadi panas ya? Apa AC-nya mati?" Stella menggerutu pelan ketika menyadari jantungnya yang sudah berdetak lebih kuat dari biasanya. Ini pertama kalinya ia merasakan hal seperti ini.
"Lo udah makan?" tanya Atlan saat ia membuka bungkus makanannya.
"Udah kok." Stella tidak berbohong, ia tadi sudah makan makanan rumah sakit, walau sedikit.
"Gue tadi beliin lo salad," Atlan mengarahkan tangannya ke mulut Stella, "ayo di buka mulut lo. Gue tahu makanan rumah sakit pasti nggak enak."
Stella mengernyit, kenapa Atlan bisa mengetahui isi pikirannya? Dengan terpaksa Stella membuka mulut dan menerima suapan dari Atlan. Lagi-lagi ruangan ini menjadi panas, mungkin AC-nya memang sedang mati. Jantung ini juga mungkin sedang olahraga makanya berdetaknya kuat sekali. Mungkin, tubuh ini sedang tahap pengobatan dan memperbaiki beberapa sel untuk bekerja seperti semula. Ini benar-benar pikiran yang sembarangan dan tidak mempunyai sumber yang jelas.
"Udah, Tlan. Kenyang." Stella menatap ke arah lain, "Lo aja yang makan lagi, dari tadi gue lihat lo baru dikit makannya."
"Gue mah gampang," Mata Atlan melihat sekeliling ruangan,"Ibu lo mana? Kok gue nggak lihat dari tadi."
"Lagi ngambil baju di rumah," Stella mencari posisi enak untuk tidur, "bentar lagi juga sampai, lo pulangnya entaran ya, tunggu Ibu sampai."
Atlan mengangguk, "Papa lo nggak kesini?"
Perlahan mata Stella menutup, ia tiba-tiba mengantuk, mungkin efek dari obat-obatannya.
"Papa lagi banyak urusan, kalau dia di sini entar biaya rumah sakit nggak bisa di bayar.""Ka...." Atlan menutup kembali mulutnya, ketika melihat mata Stella yang sudah terpejam. Senyuman di wajah Atlan terukir begitu saja, wajah damai Stella membuat hatinya tenang.
****
Dua hari lupa update hehehe
14 Oktober 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
We're Not Twins, But We're?
Teen FictionApa jadinya, jika kalian bertemu dengan seseorang yang benar-benar sama dengan kalian? Atlan dan Stella adalah dua orang yang tidak sengaja saling bertemu di satu tempat. Mereka bertemu dengan keadaan dimana apa yang mereka pakai itu sama persis. Da...