Part 13

2.7K 361 2
                                    

Atlan menelan salivanya dengan susah payah ketika ia mengingat hari itu. Waktu itu Stella terlihat biasa saja, mungkinkah setelah Stella pulang ke rumah? Ia dapat membayangkan rasa terpukul Stella kalau memang itu yang terjadi.

Tangan Atlan terulur untuk mengelus punggung Stella, "Gue boleh tahu kenapa?" Atlan merutuki dirinya sendiri ketika mendengar apa yang ia tanya, "kalau lo nggak bisa cerita nggak apa-apa, jangan dipaksa."

"Waktu gue pulang dari mall, gue minta dia buat jemput gue," Stella menarik napas dalam-dalam, ia semakin membenamkan kepalanya di lipatan kaki, "terus waktu dia udah mau sampai, dia kecelakaan."

Suara Stella mengecil ketika mengucapkan kata terakhir, membuat Atlan semakin merasa bersalah. "Gue yakin Abang lo baik-baik aja, entar lagi dia bakalan bangun dari komanya."

Stella hanya diam, ia tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Ia juga ingin memercayai ucapan Atlan, bahkan sampai beberapa detik yang lalu ia masih mempercayai hal itu. Tapi, entah kenapa pikirannya tiba-tiba berubah. Pendapat seperti itu tiba-tiba disangkal otaknya dan mengatakan hal lain.

Perlahan mata Stella menutup, suara isak tangis perlahan melemah hingga tidak terdengar lagi. Ia tidak tidur, melainkan ia menangis dalam diam. Ia hanya ingjn menangis tanpa satu orang pun mengetahuinya. Ia ingin mencoba mengendalikan perasaannya. Untuk sesaat ia akan bersedih mengenai semua hal ini, beberapa menit kemudian ia akan tersenyum atau berteriak dan menjadi Stella seperti biasanya.

Kepala Stella perlahan terangkat, "Gue jadi ingat sesuatu."

Atlan yang melihat perubahan mood Stella yang terlalu cepat cukup terkejut. Ia bahkan tidak dapat menerka kenapa Stella bisa berhenti menangis secepat ini. "Ingat apa?"

"Kan baju kita sering sama tuh, gue jadi kepikiran kalau misalnya baju tidur lo juga ada yang gambar minnie mouse." Stella tersenyum menampakkan gigi putihnya.

Bukannya marah atau berdebat seperti biasanya, Atlan malah mengacak rambut Stella. Ia gemas dengan sikap Stella yang seperti ini, "Di rumah gue ada yang gitu."

Stella melongo, ia tidak bisa berkata apa-apa lagi mendengar ucapan Atlan. Menelan saliva saja rasanya susah sekali, "Seriusan?"

Kali ini Atlan menarik hidung mancung Stella, "Seriusan, tapi bukan punya gue. Itu punya adik gue."

"Gue kira punya lo." Stella cemberut.

"Memangnya kenapa kalau punya gue?"

"Gue bisa ngeledekin lo," Stella menghela napas, ia melirik jam tangannya, "lo pulang sana, gue mau pergi. Ini gue bukan ngusir ya, cuman nggak mungkin aja lo disini sendirian dan orang rumanya nggak ada. Entar lo dikira maling lagi."

Satu alis Atlan terangkat, "Lo kemana malam-malam gini? Sendirian lagi."

"Gue nggak sendirian kok, ada sopir Papa yang nemanin gue." Stella beralasan.

"Gue antar," Tatapan Stella langsung berubah mendengar ucapan Atlan, "gue tahu sopir lo itu udah lama kerja sama lo, tapi ini malam dan lo pergi-pergian cuman berdua aja, itu nggak baik."

Mata Stella menyipit mendengar ucapan Atlan, "Terus kalau sama lo jadinya baik, gitu?"

Atlan mengusap wajahnya kasar, ia salah memilih kalimat. "Nggak baik juga, tapi seenggaknya gue nggak pernah niat ngelakuin hal aneh. Dan satu hal lagi, lo bisa ngelawan gue."

Stella tersenyum tipis. Ia menepuk kedua pundak Atlan, "Gue tahu lo takut gue kenapa-kenapa. Makasih banget karena udah perhatian sama gue. Lo nggak perlu antar gue, ini udah malam, gue nggak apa-apa. Gue juga nggak pergi sama sopir berduaan aja. Ada Ibu, istrinya Bapak yang nemanin gue. Gue juga udah anggap mereka sebagai ortu kedua. Jadi, sekarang lo bisa pulang tanpa cemas tentang gue."

Atlan menatap lurus ke dalam manik mata Stella. Ia memegang pergelangan tangan Stella, ketika Stella kembali melangkah masuk ke dalam rumah. "Boleh gue tahu lo mau kemana?"

"Gue kangen Abang gue. Gue mau di samping dia selalu. Dia butuh gue. Dia pasti ngeharapin kehadiran gue, karena dia pasti ngerri kalau Papa lagi banting tulang buat biaya rumah sakit yang benar-benar udah nggak kecil lagi dan Mama yan....." Stella tersenyum tipis, berusaha menguatkan hatinya, "Bang Axel pasti tahu kalau Mama selalu ada buat kita, tapi dia nggak bisa hadir secara nyata. Jadi, Bang Axel perlu gue di samping dia selalu. Gue harus selalu ada dan hadir untuk dia."

Perlahan Atlan melepaskan genggamannya, "Gue boleh nemanin lo di rumah sakit?"

Bukannya marah atau mengomel, Stella malah masih memperlihatkan senyum tipisnya. "Gue bingung, kenapa lo selalu aja ngehabisin waktu sendirian? Ngehabisin waktu di luar rumah, ngehabisin waktu untuk orang yang mungkin saja nggak akan pernah bisa selalu sama lo. Seharusnya lo itu ngehabisin waktu sama keluarga lo. Sama kedua orang tua dan adik lo. Gue nggak tahu seberapa sibuknya ortu lo kalau hari kerja, tapi pasti hari ini ortu lo nggak kerja dan sekarang ini adalah waktu berharga buat lo kumpul sama mereka, bukannya lo malah mau ikut sama gue."

Deg.

Hati Atlan berdebar cepat saat mendengar setiap kata yang diucapkan Stella. Bukan karena ia terpesona akan kecantikan Stella atau ucapannya. Jantungnya seperti ini karena ia ingat mengenai kesalahan yang sudah diperbuatnya. Kesalahan yang bisa membuat Mama menjadi sulit untuk tidur dan Papa yang sampai berulang kali memijat keningnya. Itu semua karena tingkah laku Atlan selama ini.

"Lo masih mau ikut?" Stella mencoba bertanya lagi, siapa tahu pikiran Atlan berubah, "gue nggak ngelarang lo ke rumah sakit, karena itu bukan rumah sakit gue. Gue juga nggak berhak. Tapi, lo harus tahu satu hal."

Stella maju satu langkah, mendekati Atlan, lebih tepatnya berdiri tepat di depan Atlan. Mata Stella menatap lurus ke dalam mata Atlan.

"Gue pengen punya orang tua lengkap dan bisa ngumpul setiap hari libur. Benaran pengen. Gue mau banget ngumpul lagi kayak dulu, ada Papa, Bang Axel, Bapak, Ibu. Gue mau banget ngelihat Bang Axel yang ngeledekin gue karena nggak ngerti negara ini. Gue mau dikerjain dia, terus Papa ngebela gue dan Ibu yang langsung ceramahin Bang Axel, lalu Bapak ngebela Bang Axel. Gue mau banget, sayangnya hari itu seakan sangat jauh dan nggak bisa gue jadiin kenyataan. Mungkin hari itu cuman bisa jadi kenangan."

Entah kenapa hati Atlan tiba-tiba remuk. Ia menghargai kedua orang tuanya, ia menyayangi keluarganya. Ia tidak pernah menghindar, hanya saja ia terkadang bosan dengan suasana rumah yang sunyi dan berisik. Ia mau rumah yang tentram, ini keinginannya dulu sebelum mendengar ucapan Stella. Setelah mendengar ucapan Stella, Atlan malah sangar merindukan suasana rumah yang dipenuhi dengan teriakan Mama dan Gia. Ia juga merada sangat bersalah karena selama ini sudah membuat kedua orang tuanya pusing melihat kelakuannya, apalagi ia yang jarang pulang.

"Keluarga adalah rumah lo. Mungkin lo pikir rumah lo adalah perempuan yang lo cintai atau istri lo kelak. Lo salah kalau menganggap seperti itu. Lo tahu kenapa? Karena keluarga nggak akan bisa jadi mantan, sedangkan istri bisa jadi mantan. Keluarga lo yang akan selalu ada di samping lo dan membela lo walau lo salah. Mereka lah orang yang paling menyayangi lo, walau mereka selalu marah. Nggak akan ada orang yang sepercaya, mempunyai cinta yang sangat besar kecuali keluarga lo, terutama kedua orang tua dan saudara kandung lo. Orang lain, mau pun istri lo kelak, mereka masih bisa menyakiti lo dan cinta mereka masih bisa hilang. Tapi nggak untuk kedua orang tua lo, dia yang paling benci ketika lo disakiti. Jadi, hargai waktu dan segalanya selagi lo masih diberi kesempatan dan waktu."

****

Jadi, aku ketemu cowok manis+tampan++ lah. Nah ya terus aku perhatiin selama seminggu. Eh ternyata dia itu nakal, tapi dia baik dengan sekitarnya. Bahkan dia nolongin bapak-bapak buta😭 seseorang yang nakal juga masih punya kebaikan yang luar biasa kok

30 September 2017


We're Not Twins, But We're?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang