Part 16

2.5K 309 0
                                    

Tindakan itu baru saja dilakukan. Dengan tenang, napasnya terhenti secara perlahan. Detak jantung perlahan memelan hingga akhirnya tidak berdetak lagi. Setelah itu, semua alat yang ada di tubuh Axel dilepaskan tanpa menyiksakan apapun. Tidak ada tindakan apapun dari semua orang yang berada di ruangan ini, selama melihat perginya Axel dari dunia ini.

Perlahan, namun pasti, garis yang ada di monitor menjadi lurus di susul dengan bunyi nyaring yang terdengar cukup panjang dan mengerikan. Stella menutup mata, menarik napas dalam-dalam lalu menenangkan dirinya. Ia tidak ingin menangis lagi. Sudah cukup. Ia sudah merelakan dan menerima semua ini. Walau belum sepenuh hatinya.

Apa ada adik yang merelakan abangnya pergi dengan sepenuh hati?

Pastinya tidak ada, kalau ada berarti orang itu tidak memiliki hati dan perasaan. Orang itu pasti sungguh kejam dan orang itu bukan lah Stella. Perlahan kaki Stella melangkah mendekati kasur dan perawat yang sedang melepaskan alat-alat bantu yang digunakan Axel. Tangannya terulur mengenggam tangan Axel dan mengelus tangan itu.

Nyatanya, sekuat apa pun ia menahan air mata. Air mata ini tetap saja lolos dan membasahi pipinya, walau tidak terlalu banyak seperti sebelumnya. "Yang tenang di sana ya, Bang. Stella pasti selalu ingat Abang. Doa akan selalu Stella berikan untuk Abang dan Mama. Semoga Bang Axel bisa ketemu sama Mama ya, entar bilangin ke Stella gimana wajah cantik Mama dan bilangin ke Mama kalau Stella nggak akan nakal. Stella bakalan jaga Papa, bakalan bantu Papa. Abang di sana yang tenang aja ya sama Mama. Bahagia selalu sama Mama ya, biar Stella sama Papa juga bahagia. Jangan lupain kita ya, Bang."

Papa yang berada di belakang Stella, ia mengelus punggung Stella pelan. Tidak ada tangisan atau raut sedih yang terpancar dari wajah Papa Stella. Bukan karena tidak sedih atau merelakan begitu saja, Papa Stella bersikap seperti ini karena Papanya ingin terlihat tegar. Karena kalau ia dan Stella larut dalam kesedihan, lalu siapa yang akan mengurus semua ini?

Stella berbalik menghadap Papa, ia langsung memeluk Papa dan menangis dalam pelukan. "Pa, jangan tinggalin Stella ya. Jangan, Stella nggak mau sendirian. Nyusul Abang sama Mamanya barengan ya, Pa."

Senyuman tipis yang menyiratkan kesedihan terukir di wajah lelah Papa Stella. Ia mengelus puncak kepala anak perempuannya ini, "Jangan ngomong gitu, umur nggak ada yang tahu. Jadi, kamu sekarang harus sehat-sehat ya, kalau sakit kamu kambuh harus kasih tahu Papa segera ya. Jangan di diamkan, apalagi di sembunyikan dari Papa."

"Iya Pa, Stella janji." Suara Stella terdengar sangat kecil, ia bahkan tidak yakin kalau suaranya bisa di dengar Papa.

Papa melepaskan pelukannya. Ia memegang kedua bahu Stella, lalu menghapus air mata Stella. "Papa ngurusin berkas dan biaya rumah sakit dulu ya, habis itu kita antar Abang kamu ke tempat peristirahatan terakhinya."

Stella hanya bisa mengangguk pelan. Bahkan kakinya sekarang terasa tidak kuat untuk menampuh tubuhnya sendiri. Ia butuh seseorang untuk menopang tubuhnya. Ia butuh seseorang yang bisa menenangkan dirinya. Rasanya tidak akan ada seseorang untuknya yang bisa melakukan itu semua setelah Bang Axel pergi. Bahkan Papa akan sibuk mencari uang untuk kelanjutan hidup mereka berdua, Bapak dan Ibu yang berkeja di keluarga Stella.

Saat Stella keluar dari ruangan ICU, seseorang sudah berdiri di depan pintu dengan membawa sekaleng minuman kesukaannya. Orang itu langsung menghampiri Stella dan membantu Stella untuk duduk di salah satu tempat untuk menunggu. Mata orang ini seakan-akan bisa menenangkan perasaannya.

"Gue tahu semua yang lo alami di dalam itu pasti sesuatu yang sangat berat bagi lo," Atlan membuka minuman itu dan meletakkannya di tangan Stella, "maka dari itu, lo harus minum dulu ya. Lo harus tenang dan kuat buat pemakaman sore ini."

"Makasih, Tlan." Stella menuruti ucapan Atlan dengan meminum minuman ini sekali teguk.

Tanpa mengucapkan apa pun lagi, tangan Atlan terulur ke pundak Stella dan memijat pundak Stella pelan. Atlan tersenyum tipis ketika melihat tubuh Stella yang sedikit lambat meresponnya, "Udah, jangan protes. Gue tahu belakangan ini kecapekan karena di rumah sakit terus-terusan. Diam aja ya."

Stella menghela napas, tangannya menyentuh tangan Atlan yang ada di pundaknya. Matanya yang benar-benar menyiratkan kesedihan menatap ke arah Atlan, "Bisa antar gue pulang ke rumah?"

Atlan langsung berdiri saat Stella selesai mengatakannya, "Dengan senang hati. Kapan pun lo butuh gue, gue siap ada buat lo."

"Makasih," lirih Stella.

Stella tetap diam dan tidak mengatakan apa pun. Bahkan ia tidak menangis lagi, ia benar-benar hanya diam. Berbeda dengan hari biasanya, kali ini ia seakan-akan tidak kuat untuk berbicara. Bahkan saat melihat isi dalam mobil Atlan yang mempunyai banyak kesamaan dengan mobil kepunyaan Stella dan Bang Axel, Stella tetap diam. Ia juga baru menyadari tentang mobil ini setelah kepergian Axel. Mungkin, ia baru bisa membuka mata untuk hal lain, setelah apa yang ia pikirkan selama ini sudah tidak ada.

"Mobil lo mirip dengan mobil gue sama Bang Axel." Stella baru bisa bersuara ketika mereka berdua sampai di depan rumahnya, "kalau mau mampir, mampir aja. Gue nggak masalah lo masuk ke dalam rumah gue, nggak akan ada yang ngelarang lo di sini selagi lo nggak buat keributan kayak malam itu."

Dalam hati Atlan tersenyum ketika menyadari bahwa Stella masih mengingat tentang malam itu. Walau malam itu Stella berujung menangis karena merindukan Abangnya dan ia juga sebenarnya tidak pernah di larang untuk masuk ke dalam rumah. Tetap saja ucapan Stella membuat Atlan senang.

Hanya ucapan itu dan semuanya bisa membuat Atlan senang. Atlan tersenyum tipis melihat Stella yang melangkah menjauh darinya, lalu masuk ke dalam rumah dan tidak terlihat lagi. "Gue ngerasa apa yang gue ucapin waktu di rumah sakit itu bakalan bisa gue tepatin."

Tepukan pelan mendarat di pundak Atlan, Lio menyengir ketika mendapati muka kesal Atlan."Gue rasa, selama beberapa hari ini ada yang manfaatin keadaan buat PDKT."

"Benar-benar nggak punya hati nih anak! Orang lagi sakit Abangnya, malah lo PDKTin adiknya!" Rian berdecak tidak percaya.

"Sesungguhnya, jika lo ingin menolong dan membuat dia bahagia, itu semua harus didasarkan akan ketulusan, bukan karena maksud tertentu." Halim mulai mengoceh dan berpikir bahwa kata-katanya benar.

Fara menjitak kening keempat laki-laki yang ada di hadapannya satu persatu, "Bisa nggak kalian diam dan serius untuk hari ini?! Kalau kalian nggak bisa diam, lebih baik kalian pergi dari sini! Gue nggak mau dengar ucapan kalian yang nggak bermutu sama sekali!"

Bella menghela napas, "Seharusnya kalian bisa ngebedain tempat dan hari. Kalian harusnya tahu dan paham, kalau topik yang baru kalian ucapin itu nggak cocok untuk di obrolin sekarang. Kita kesini sebagai teman dan keluarga untuk dia, kita di sini untuk nguatin dan ngehibur dia, bukan ngebahas topik nggak jelas kalian."

Halim berdeham, "Iya ya, kita kesini sebagai seorang keluarga yang tidak sedarah alias sahabatnya. Sebagai seorang sahabat, kita harus membantu dan sekalu ada dalam senang mau pun duka."

***

Keep voment ya!

2 Oktober 2017

We're Not Twins, But We're?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang