Part 12

2.7K 342 1
                                        

Stella menatap lurus ke arah HP-nya, ia hanya menatap, lebih tepatnya memelototi layar HP-nya. Karena semua ucapan Atlan itu memang benar-benar terbukti. Setiap satu jam sekali Bu Rania mengiriminya perkembangan mengenai keadaan keluarganya di rumah sakit.

Rumah sakit itu tempat yang paling Stella benci. Ia sebenarnya paling malas menginjakkan kaki kesana. Namun, apa boleh buat, kakak satu-satunya sedang berbaring lemah di salah satu ruangan yang paling di hindari, ruangan ICU. Stella hanya punya Papa dan Axel, abang kandungnya.

Ia tidak pernah bertemu Mama, karena Mama meninggal ketika melahirkannya. Ia hanya bisa melihat wajah Mama di foto-foto yang ada. Inilah yang membuat Stella menjadi perempuan kuat dan tegar. Ia tidak pernah mencicipi kasih sayang seorang ibu. Ia ingin mengetahu bagaimana rasanya memiliki seorang Mama, ingin sekali. Hanya saja keinginannya tidak pernah tercapai, sampai sekarang.

Stella menghela napas, "Gue harus tidur. Besok sebelum sekolah harus lihat Bang Axel dulu, nggak boleh nggak!"

Baru saja ia memejamkan mata, HP-nya sudah berbunyi lagi. Bukan dari Bu Rania, melainkan dari orang yang meminta Bu Rania melakukan semua tugasnya, yaitu Atlan. Menganggu acara mau tidurnya saja!

Coba lo ke teras kamar lo

Sebenarnya, ia bisa saja mengabaikan pesan Atlan. Kalau besok Atlan menanyai mengenai hal ini, tinggal jawab saja kalau ia ketiduran. Tapi...hati Stella penasaran dengan tujuan Atlan menyuruhnya keluar kamar.

"Nggak akan ada masalah juga kalau gue nurutin ucapan Atlan."

Walau seperti itu, Stella tetap melangkah dengan sangat perlahan, ia sengaja memperlambat langkahnya agar tidak terlalu terlihat kalau ia penasaran. Biar Atlan mengira kalau kehadirannya itu biasa saja, tidak membangkitkan rasa apapun, apalagi rasa semangat.

Mata Stella melirik sekitarnya ketika ia tidak melihat apapun, apalagi melihat batang hidung Atlan. Dimana laki-laki itu? Apa Atlan sengaja mengerjainya? Ah! Ini sungguh tidak menyenangkan! Ini malah sangat-sangat menyebalkan! Ia menunda waktu tidur hanya untuk melihat sesuatu yang tidak istimewa. Memangnya Atlan istimewa?

Nggak tau deh!

Stella cemberut, "Lain kali gue nggak akan mau percaya sama lo lagi! Awas aja lo, Tlan!"

"Kenapa dengan gue?!"

Teriakan itu berasal dari suara yang sangat ia hapal pemiliknya. Siapa lagi kalau bukan Atlan. Sekarang, Atlan berdiri di depan pagar rumah Stella yang tidak tinggi. Pagar rumah yang membuat rumah ini semakin sempit, karena luas tanah di rumah ini memang benar-benar sangat kecil.

Atlan menunjuk ke arah atas, "Lihat ke atas!!!"

Teriakan Atlan mampu di dengar oleh telinga Stella. Namun, Stella tetap melihat ke arah Atlan dengan pandangan tanya. Membuat Atlan berdecak, bukan karena kesal melainkan ia gemas melihat Stella.

Lagi, Atlan menunjuk ke arah atas. Kali ini senyumnya terukir, "Lo lihat ke atas!"

Masih dengan wajah polos yang tidak mengerti apapun, kali ini Stella mengikuti arahan Atlan untuk melihat ke arah atas. Tidak ada apa-apa saat ia melihat ke atas. Ia hanya melihat gelapnya malam yang tidak diterangi bintang-bintang. Bahkan bulan saja tidak terlihat.

Bunyi letusan kembang api membuat Stella melangkah mundur. Ia benar-benar terkejut dengan bunyi tiba-tiba itu. Ia sedikit tidak menyukai bunyi bising, apalagi bunyi memekakan seperti ini. Hanya saja, ia ingin menghargai usaha Atlan. Maka dari itu, Stella kembali melangkah mendekati teras dan menikmati indahnya kembang api itu. Mencoba tersenyum dalam ketidaksukaanya mendengar bunyi petasan.

Ketika Atlan selesai menyalakan kembang apinya, tanpa diminta Atlan terlebih dahulu, Stella menemui Atlan. Bukan untuk mengucapkan terima kasih sebenarnya, ia ingin mengatakan kalau ia tidak menyukai semua ini dan jangan pernah mengulangnya. Memangnya Atlan akan mengulang semua ini lagi?

"Makasih ya lo udah datang malam-malam gini ke rumah gue," Stella tersenyum tipis ketika melihat Atlan yang tersenyum lebar, "lain kali kalau malam-malam kesini jangan bunyiin kembang api gitu."

Kening Atlan mengerut, "Memangnya kenapa?"

"Kasihan tetangga, ganggu mereka lagi tidur." Stella beralasan.

Atlan tertawa pelan mendengar jawaban Stella. "Astaga Stella, gue kira apaan."

"Gue benar, 'kan? Kasihan mereka!" Stella cemberut.

"Kalau ini jam sepuluh ke atas, ya gue pantas lo marahin. Lah ini baru jam tujuh lewat, belum ada yang tidur," melihat Stella yang kembali ingin memberi alasan, membuat Atlan kembali menambahkan ucapannya, "gue juga tadi udah izin sama satpam perumahan lo."

"Tahu ah! Pokoknya jangan lagi!" Stella semakin cemberut.

Melihat itu, membuat rasa penasaran yang sudah hilang kembali muncul. Kali ini Atlan bisa menahan rasa itu, jadi ia tidak bertanya langsung, tidak seperti biasanya. Ia malah tersenyum dan menyodorkan satu kaleng minuman kesukaan Stella.

"Gue bujuk pakai ini ya?" Atlan sengaja membuat ekspresi lucu, "ayolah, jangan ngambek lagi. Gue nggak punya uang lagi buat beli yang lain, terus gue juga malas keluar lagi. Jangan ngambek ya?"

Dengan terpaksa Stella menerima minuman itu, "Jangan ngulangin lagi ya!"

"Memangnya kenapa? Lo nggak suka?" Atlan mencoba bersikap santai seperti biasa, ia harus bisa menahan rasa penasarannya.

Stella menghela napas, ia menatap kaleng minuman dan mengusap-ngusap kaleng itu. "Gue benci bunyi berisik kayak tadi."

Pelan, sangat pelan Stella mengatakannya. Walau begitu, perkataan Stella masih mampu Atlan dengar. Kalau seperti ini tandanya ada sesuatu hal dan Stella tidak mungkin mau menceritakannya sekarang. Apalagi mereka belum terlalu dekat untuk membagi cerita masa lalu.

Atlan berdeham, "Lo nggak mau ngajak gue duduk nih? Gue juga bawa minuman untuk gue sendiri, jadi gue cuman perlu duduk aja."

Ada perasaan hangat ketika melihat Atlan yang tidak mau mengusik dan tidak penasaran lagi dengan semuanya. Membuat Stella tersenyum tipis, mungkin Atlan menyadari kalau itu semua merupakan rahasianya yang tidak bisa dikatakan ke sembarangan orang.

Stella menunjuk teras rumahnya, ia menunuk ke lantai teras bukan kursi, karena tidak ada kursi di teras rumahnya. "Lo nggak alergi duduk di lantai, 'kan?"

"Lebay banget, gue duduk di tanah juga nggak apa-apa. Kalau lo nyuruh gue duduk di lumpur juga.... guenya sedikit masalah sih," canda Atlan.

Stella mendengus mendengar ucapan Atlan. Ia mengalihkan pandangannya ke arah kaleng minuman yang sedang dipegangnya. Air matanya tiba-tiba mengalir ketika melihat kaleng itu. Ia menekuk lutut dan memeluk lutunya erat.

"Lo kenapa?" cemas Atlan ketika menyadari perubahan sikap Stella.

"Gue kangen Abang gue," lirih Stella.

"Abang lo? Emangnya Abang lo dimana? Amerika?" heran Atlan.

Stella menggeleng, "Rumah sakit."

Atlan tertegun mendengar jawaban Stella. Jadi, selama ini.... pantas Stella tidak mau pergi dari rumah sakit. "Sejak kapan, La?"

"Sejak waktu gue ketemu lo, sejak waktu itu dia di rumah sakit."

****

Jadi, kemarin ga update karena wifi di kostan mati dan aku udah ga punya paket dari sebulan yg lalu hehehehe

29 September 2017

We're Not Twins, But We're?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang