Sekitar pukul enam kurang, Atlan sudah berada tepat di depan rumah Stella. Ia sengaja tidak memberitahu Stella terlebih dahulu, kalau ia menjemputnya. Ia ingin membuat suprise untuk Stella, karena ia sudah berada di depan rumah, bahkan mungkin sebelum Stella selesai siap-siapnya.
Awalnya, ia berencana seperti itu. Makanya, ia tidak membawa adiknya dan menyuruh Gia untuk pergi sendiri dengan taksi atau pergi dengan kedua orang tuanya. Nyatanya, ekspektasi memang tidak pernah sesuai dengan realita. Atlan yang sudah menunggu dari pagi, masih saja belum melihat Stella keluar dari rumah padahal ini sudah pukul delapan. Membuat ia harus meminta tolong untuk dibuatkan surat, bahwa hari ini ia tidak bisa masuk sekolah.
"Benar banget firasat gue nyuruh gia nggak ikut tadi, kalau ikut, udah deh dia ngomel mulu di sini."
Sekitar pukul sembilan, Stella baru keluar dari rumahnya. Dengan pakaian santai, kaos lengan panjang dan celana panjang. Stella masuk ke dalam mobil, tanpa memperhatikan mobil Atlan yang sudah terpakir tepat di depan rumah. Atlan bisa sedikit bernapas lega dan bersyukur, karena Stella tidak menyadari kehadirannya. Kalau Stella menyadari, mungkin ia sudah di usir dan di larang untuk mengikuti Stella.
Tanpa sepengetahuan Stella, Atlan mengikuti mobil Stella yang melaju entah kemana, yang jelas bukan ke sekolah. Mereka sama sekali tidak melewati jalan yang bisa membawa mereka ke sekolah. Tidak mungkin juga Stella baru masuk sekarang, kalau dia memang baru mau ke sekolah sekarang dan dengan pakaian seperti itu, maka Atlan bertepuk tangan paling kuat dari pada yang lainnya, bahkan ia akan memberikan hadian untuk Stella. Kalau memang Stella ke sekolah.
Nyatanya, mobil Stella berhenti tepat di depan pemakanan umum. Ternyata memang benar, ia memiliki rasa kepekaan yang sangat rendah, karena Atlan baru saja sadar bahwa mereka sebenarnya sedang menuju ke pemakaman Abangnya Stella. Tidak mau ketinggalan Stella, Atlan langsung memakirkan mobil Stella dan berlari untuk menyusul Stella yang sudah terlebih dahulu masuk ke pemakaman umum.
Atlan tetap tidak memperlihatkan dirinya, ia tetap bersembunyi di balik pohon rindang yang ada di dekat Stella. Tidak berapa lama ia sampai di pohon itu, Ibu dan Bapak Stella datang mendekati Stella. Teryata Stella tidak sendirian kesini. Memang tingkat kepekaannya berada di bawah rata-rata, jelas lah tidak sendirian, tadi Ibunya juga masuk ke dalam mobil! Atlan merutuki kebodohan dirinya.
"Bang Axel, apa kabar?" Stella mengelus nisannya, lalu beralih ke kuburan di samping Abangnya, "Mama apa kabar di sana? Udah ketemu sama Bang Axel ya? Stella kangen kalian berdua nih."
Stella menghela napas, ia menatap Ibu dan Bapak secara bergantian. Meminta izin untuk berada di tempat ini sendirian, tanpa mereka berdua. Ia ingin mencurahkan isi hatinya, ia ingin merasakan kehadiran mereka.
"Boleh ya, Pak, Bu?"Ibu mengangguk, "Kita tunggu di mobil ya."
Setelah melihat mereka menjauh, Stella kembali menatap ke kedua kuburan secara bergantian. Tangannya mengelus nisan Mama, lalu nisan Abangnya. "Ma, Stella pengen ngerasain kasih sayang Mama. Stella iri sama mereka yang masih punya Mama dan bisa curhat tentang segala isi hatinya ke Mama, tapi Stella nggak bisa, karena Mama sudah tenang di sana, nggak mungkin Stella cerita semuanya terus Mama jawab."
Lalu, pandangan Stella beralih ke nisan Abangnya. "Bang Axel, cowok yang waktu Stella itu balik lagi ke kehidupan Stella. Stella takut. Stella udah cerita ke Papa, tapi Papa nggak bisa berbuat apa-apa, soalnya buktinya nggak kuat dan cuman Bang Axel yang tahu semuanya. Stella takut Bang, dulu Bang Axel selalu di samping Stella, ngelindungi Stella, terus sekarang siapa yang ngelindungi Stella lagi, kalau Papa sibuk nyari uang buat Stella? Bang, Stella nggak tahu harus gimana. Stella ngerasa dihantui lagi sama bayangan waktu itu. Stella takut...."
Stella memejamkan matanya rapat-rapat. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya. Ia menggeleng kuat, ia tidak ingin menangis untuk kali ini. Ia ingin kuat, ia tidak boleh menangsi di depan mereka!
Stella kembali membuka matanya, ia tersenyum tipis. "Ma, Bang Axel, bentar lagi tanggal di mana Stella bakalan ngerasain sakit yang luar biasa. Biasanya, Bang Axel bakalan nemanin Stella di rumah, terus Bang Axel cerita panjang lebar, main gitar, ngajakin Stella main game, terus kita nyanyi sama-sama. Terus, Papa datang bawa makanan kesukaan Stella, kadang Bang Axel iri, terus besoknya Papa ngebawa makanan kesukaan kita. Karena Stella yang lagu sakit, jadinya Stella ngambek sama Bang Axel.
Walau gitu, Bang Axel tetap aja nggak mau ngalah. Kalau udah Papa bawain makanan kesukaan Bang Axel, pasti Bang Axel nggak mau ngasih ke Stella. Jadi, Stella harus ngerebut makanannya, terus makan diam-diam tanpa sepengetahuan Bang Axel. Sudah itu, Papa pasti marahin kita karena kelihatan rakus, sama berantakin kamar Stella. Papa nggak suka ngelihat kotoran makanan di mana-mana, lalu Ibu pasti bakalan ngebelain Stella, Bapak juga bakalan ngebelain Stella dan ngingatin Papa kalau Stella lagi sakit."
Stella menghela napas, ia menghapus air mata yang sudha mengalir di wajah, ternyata ia tidak bisa di menahan air mata ini. "Kalau Stella sakit, pasti Bang Axel selalu titip absen. Terus, kalau Stella mau sesuatu yang nggak bisa Papa kabulin, pasti Bang Axel cari kerja sampingan buat nabung untuk Stella. Entah itu nyanyi di kafe atau ngantarin makanan, pasti Bang Axel lakuin. Bang Axel nggak pernah malu, asal itu semua bisa menghasilkan uang dengan cara yang baik. Terus, setiap malam, kalau nggak ada Papa dan Ibu, Stella kedinginan dan mimpi buruk, pasti Bang Axel yang nemanin.
Walau Bang Axel pura-pura geli dan nggak mau tidur sama Stella. Jadinya, Bang Axel duduk di pinggir tempat tidur sambil lihatin Stella, nyanyi untuk Stella. Ah, pernah juga Bang Axel bacain cerita untuk Stella. Bang Axel juga sering ceritain Mama, walau Bang Axel juga nggak banyak ingat tentang Mama. Umur Bang Axel waktu itu lima tahun, katanya dia senang banget bisa punya adik dan dia nggak pernah nyalahin Stella atas kepergian Mama. Stella benaran kangen sama momen itu, seandainya Stella bisa kayak gitu lagi sama Bang Axel."
Stella tersenyum tipis, ia kembali mengelus kedua nisan yang ada di kanan dan kirinya. "Doain ya Bang, dia nggak bakalan bersikap aneh-aneh lagi. Ma, jaga Bang Axel di sana ya. Stella jadi pengen sama kalian, tapi kasihan Papa di sini sendirian. Jadi, kalian harus bahagia di sana, biar kita berdua juga bahagia di sini."
Atlan yang dari tadi bersembunyi di belakang pohon baru saja menyadari sesuatu. Bahwa Stella yang terlihat kuat, nyatanya benar-benar lemah di dalamnya. Memiliki masa lalu yang sepertinya buruk dan tidak pernah merasakan kasih sayang seorang Mama.
Terkadang, apa yang kita lihat kuat belum tentu kuat. Apa yang kita lihat lemah belum tentu lemah. Seseorang lebih sering menyembunyikan kelemahannya dengan senyuman atau bisa dengan kegalakan yang di milikinya.
****
8 Oktober 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
We're Not Twins, But We're?
Roman pour AdolescentsApa jadinya, jika kalian bertemu dengan seseorang yang benar-benar sama dengan kalian? Atlan dan Stella adalah dua orang yang tidak sengaja saling bertemu di satu tempat. Mereka bertemu dengan keadaan dimana apa yang mereka pakai itu sama persis. Da...