Part 20

2.2K 300 2
                                    

Sudah dua minggu sejak acara jalan-jalan itu, Atlan tetap saja tidak mengetahui dengan jalas apa yang terjadi dengan Stella. Stella seakan-akan menutup rapat-rapat mulutnya agar tidak menceritakan semuanya. Seakan-akan Stella melupakan bahwa ia pernah menggigil dan kesulitan bernapas. Mau tidak mau, Atlan juga tidak bisa membahas tentang itu semua. Ia tidak mungkin memaksa Stella mengatakan segalanya, mungkin itu merupakan privasi bagi Stella.

Lio beberapa kali memukul meja dengan buku tulis yang sudah di gulungnya. Entah apa yang sebenarnya yang ia lakukan, ia juga bingung dan bosan. "Ini guru pada kemana sih?!"

"Mereka lagi rapat," Halim yang duduk di depan mereka memutar kursi untuk menghadap ke arah mereka, "tumben lo kebosanan nggak ada guru, biasanya udah senang dan pasti nggak akan ada lagi batang hidung lo di kelas."

Lio melirik ke arah Atlan yang entah pura-pura tidur atau benar-benar sudah tidur, "Gue lagi malas pergi sendirian, cewek yang gue incar pada ngindarin gue!"

"Akhirnya mereka sadar juga, kalau Lio itu buaya darat." Rian ikut-ikutan memutar kursinya.

Lio mendelik kesal, "Sialan lo!"

"Berisik banget sih kalian!" Atlan langsung menatap mereka tajam saat baru membuka mata.

Lio cemberut, "Gue bosan sih!"

"Lo kayaknya kumat lagi penyakit tidur di kelasnya." Halim mulai memberi aba-aba bahwa ia akan menceramahi Atlan mengenai topik tidur di kelas.

Atlan berdecak, dengan malas-malasan ia berdiri. Ia tidak ingin mendengar Halim berbicara panjang lebar tentang kewajiban siswa yang sebenarnya. "Gue mau ke kantin, pada mau ngikut nggak?"

Lio langsung berdiri, "Gue tentunya pasti ikut!"

"Gue juga," jawab Rian, yang membuat mereka bertiga langsung melihat ke arah Halim.

Halim mengelus lehernya, pura-pura kalau tenggorokannya terasa kering. "Karena gue haus, gue mau ikut. Walau sebenarnya ini mel....."

"Banyak ngomong lo!" potong Atlan cepat.

Lio tertawa cukup kuat, ketika melihat wajah terkejut Halim karena ucapannya di potong Atlan. "Makanya kalau mau ke kantin, ya ke kantin! Jangan banyak alasan dan sok benar deh!"

Atlan berlalu begitu saja meninggalkan kedua sahabatnya yang sedang ribut. Selalu saja seperti itu, meributkan sesuatu yang tidak penting. Membesarkan sesuatu dan menjadikan hal itu berlebihan, lama-lama Atlan bosan dengan hal itu.

"Teh tarik satu ya, Bu." Atlan memesan minuman tanpa menunggu ketiga sahabatnya sampai.

Hari ini benar-benar terlihat membosankan. Belum lagi, guru-guru yang biasanya mengoceh dan mengisi hari-hari saat di sekolah, tidak masuk karena harus merapatkan sesuatu hal yang Atlan tidak tahu. Dan yang sangat membosankan adalah ketiga cewek yang biasanya bersama mereka sibuk menonton drama korea, lalu mereka pergi entah kemana.

"Pacar gue kemana ya? Kok mereka nggak ada di kantin?" heran Rian.

Bahkan pacarnya saja tidak tahu kemana mereka. Apalagi Atlan yang hanya seorang teman mereka. Pastinya, mereka tidak akan memberi tahu atau sekedar permisi ke Atlan. Ada bagusnya juga ketiga perempuan itu pergi entah kemana, membuat rasa penasaran yang menghantuinya beberapa hari ini menghilang untuk beberapa saat.

Atlan hanya mengangkat kedua bahunya, sedikit peduli dan tidak peduli dengan keberadaan mereka. "Berapa Bu?"

"Lima ribu," jawab Ibu ini ramah.

Atlan mengeluarkan selembar uang lima ribu, lalu memberikannya dengan senyuman tipis, tanda ia menghormati Ibu ini. "Makasih ya, Bu."

"Ini ya, gue perhatiin, lo jadi pendiam beberapa hari ini." Lio langsung menghentikan langkah Atlan.

Atlan menghela napas, ia menggeser badan Lio yang menghalangi jalannya. "Perasaan lo aja kali." Baru saja ia ingin keluar dari area kantin, kakinya berhenti melangkah, "Kalian nggak ada mau beli minuman atau makanan?"

Mereka bertiga kompak menggeleng. Lio mengambil minuman yang di pegang Atlan dan meminumnya tanpa permisi terlebih dahulu. Begitu juga dua orang lainnya, meminum tanpa meminta atau sekedar permisi.

"Minuman teman emang yang paling enak," ucap Halim lega.

Atlan mendengus, "Emang lo nggak tahu apa, Lim? Kalau mau minta sesuatu itu seharusnya lo bilang dulu, mana nilai kesopanan lo?"

"Ketika Atlan menjadi Halim dan Halim menjadi Atlan, maka dunia tidak lah sama lagi." Rian sengaja melebih-lebihkan nada bicaranya.

Atlan yang medengar itu hanya pura-pura menguap, "Kenapa kalian suka banget lebay sih?!"

"Eh! Itu bukannya Stella?!" seru Lio.

Atlan memutar kedua bola matanya, "Jangan mengalihkan pembicaraan deh!"

Rian yang berada di samping Atlan, langsung mengarahkan kepala Atlan ke arah Stella yang sedang berlari ke arah mereka. "Kita nggak ngalihin pembicaraan, tapi itu memang Stella. Dan di mana yang lainnya? Cewek gue mana?! Kenapa dia sendirian?!"

Menghiraukan ucapan Rian, Atlan langsung mendekati Stella. Ia memegang kedua bahu Stella saat Stella menggeleng dan masih ingin terus melanjutkan perjalanannya. "Ini minum dulu, lo kayak di kejar setan aja."

Stella langsung menyambar minuman Atlan, "Gue emang lagi di kejar setan!"

"HA?!" Mereka berempat kompak terkejut.

Langkah derap kaki yang semakin terdengar di telinga Stella, membuat tubuhnya menegang. Respon yang di timbulkan tubuhnya terlihat sangat berlebihan, tapi memang ia sedang merasa takut. Ia tidak ingin terlihat lemah, membuat ia harus memikirkan hal lain dan mencari topik yang mungkin bisa membuatnya nyaman.

"Lo kenapa masih pakai jam yang sama dengan gue?" Stella mengumpat dalam hati karena memilih topik yang salah.

Atlan mengerutkan keningnya, ia bingung begitu juga ketiga temannya. Matanya melirik ke arah jam tangan yang memang belum di gantinya, "Gue belum ketemu jam gue yang lain, memangnya kenapa? Lo kemarin-kemarin juga nggak masalah."

"Masalah!" Stella harus berulang kali merutuki dirinya sendiri karena sudah mengucapkan sesuatu yang tidak terlalu penting, "gue nggak mau aja di bilang kembaran lo terus menerus!"

Satu alis Atlan terangkat, "Oh ya? Bisa kasih tahu gue alasannya kenapa?"

Dengan susah payah Stella menelan salivanya, "Karena gue nggak suka aja, soa...."

"Morning, Stella Allisa Vegar," tubuh Stella langsung terasa kaku mendengar suara yang sangat-sangat ia hindari dari tadi, "miss me, baby?"

Melihat perubahan ekspresi Stella, membuat otak Atlan mengatakan bahwa ada yang tidak beres dengan laki-laki ini. Pasti ada hubungannya dengan Stella yang terlihat ketakutan, membuat ia harus mencari cara untuk membebaskan Stella.
"Lo siapa ya? Dan sejak kapan lo berani-beraninya manggil pacar gue baby?"

Bukan hanya laki-laki yang berada di belakang Stella yang terkejut, ketiga sahabat Atlan juga ikut terkejut mendengar ucapan Atlan. Bahkan, Atlan yang mengucapkannya saja ikut terkejut, karena bisa-bisanya ia memilih kata-kata seperti itu. Sedangkan Stella yang masih ketakutan hanya bisa berharap, kalau ia bisa pergi dari tempat ini secepatnya.

****

6 Oktober 2017

We're Not Twins, But We're?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang