Setelah pemakaman, Stella langsung menjalankan beberapa hal untuk operasi sumsung tulang. Atlan tidak pernah pergi atau pun menghilang dari hadapan Stella, ia tetap berada di sekitar jangkauan Stella. Ia tidak ingin membuat Stella cemas dan gelisah karena kepergiannya. Atlan hanya ingin berada di samping Stella, memberikan perasaan semangat juga dorongan dan menjadi seseorang yang selalu ada untuk Stella juga menepati semua ucapannya ke Stella. Setelah semua persiapan selesai, Dokter langsung memutuskan untuk melakukan transplantasi sumsung tulang.
Perasaan khawatir menghantui Atlan. Ia tidak bisa tenang saat menunggu pengobatan Stella. Beberapa kali ia berdiri lalu duduk kembali. Tidak ada yang menunggu Stella sekarang selain dirinya karena Ibu Stella masih terbaring lemah dan Stella tidak mengizinkan Atlan untuk menghubungi teman-teman mereka. Membuat Atlan hanya duduk sendirian di depan ruang kemoterapi.
Pengobatan yang sedang Stella lalui itu, transplatasi sumsung tulang. Di mana transplantasi ini dilakukan dengan cara jarum dimasukkan melalui kulit donor hingga ke dalam tulang untuk mengambil sumsum tulangnya. Stella yang awalnya sudah melakukan kemoterapi intensif atau kemoretapi radiasi akan diberikan infus sumsum tulang melalui jalur intravena. Intinya seperti itu, Atlan tidak terlalu paham secara mendalam.
Atlan langsung berdiri ketika melihat Dokter yang menangani Stella keluar dari ruangan, "Gimana, Dok?"
"Kita sedang menunggu sel-sel baru dalam tubuh Stella apa bisa masuk ke dalam sumsum tulang dan sel darah merah yang normal. Kalau prosesnya membutuhkan waktu yang lama saya akan memberikan obat yang merangsang sumsung tulang untuk menghasilkan sel darah."
Atlan mengangguk paham, "Apa Stella harus di ruangan ini saja?"
"Tidak, kita akan memindahkannya ke ruangan HCU di mana kita bisa memantau Stella. Karena mungkin akan ada efek samping untuk pasien seperti mual, muntah, kehilangan nafsu makan dan bisa juga sel darah putih Stella tidak menerima sel induk baru Stella," jelas Dokter.
Penjelasan dari Dokter menambah rasa ke khawatiran Atlan, "Kalau misalnya tidak menerima, efek sampingnya bisa apa, Dok?"
Dokter tersenyum, ia menepuk pundak Atlan. "Bisa saja pendarahan di otak dan organ lainnya. Karena penurunan jumlah trombosit karena sumsum tulangnya tidak bekerja dengan baik dan sel darah putih yang menyerang sel barunya. Tapi kamu tidak perlu terlalu mencemaskan hal itu, kita akan berusaha sebaik mungkin untuk menghindari hal itu terjadi. Yang kamu harus cemaskan adalah Stellanya sendiri. Sekitar satu bulan Stella pasti akan sering kelelahan dan rambutnya akan lebih sering rontok dari biasanya. Di saat ini kamu harus berperan agar mental psikologisnya Stella tidak menurun. Karena sehat itu bukan hanya fisik saja tapi juga perasaannya."
Ini lah hal yang Atlan takutkan. Ia belum terlalu mengenal Stella walau mereka sudah berpacaran. Ia masih tidak tahu terlalu banyak mengenai apa yang Stella sukai, "Siap, Dok. Terima kasih sudah memberitahu saya."
Selama dua hari, Atlan hanya bisa melihat wajah Stella dari jauh. Ia bukan tidak boleh bertemu dengan Stella melainkan, ia takut tidak bisa menahan perasaan sedih ketika melihat Stella. Ia bukan seorang cowok yang bisa menahan dan menyembunyikan perasaan. Ia tidak bisa terlalu terlihat kuat di depan orang yang ia sayangi. Apalagi sekarang ini posisinya Stella sedang merasakan yang namanya proses kehidupan baru. Pastinya tidak mudah untuk dijalani Stella.
Atlan baru berani menemui Stella saat hari ketiga, ia merasa bersalah tidak menemui Stella dari awal. Ketika ia masuk ke ruangan Stella, Stella langsung melihatnya dengan senyuman yang sangat Atlan rindukan. Bukan hanya itu yang membuat Atlan merasa bersalah, wajah pucat Stella yang membuat hati Atlan sangat sakit.
"Hi."
Atlan berusaha tersenyum sesantai mungkin untuk membalas senyuman Stella. Suara Stella yang sangat pelan menambah perasaan perih di hatinya, "Hi juga, gimana keadaannya?"
"Lo bisa lihat sendiri," Stella menatap ke arah infusnya, "besok gue udah boleh ke kamar inap."
"Wah, lo ternyata kuat ya. Nggak akan nyesal gue sayang sama lo." Atlan mengelus tangan Stella yang di pasang infus.
Stella kembali mengukir senyum tipis, "Tapi gue penakut. Bahkan gue masih kebawa mimpi kejadian itu."
Tatapan Atlan melembut, "Ada gue, La. Dia nggak akan bisa ngapa-ngapain lo lagi."
"Gue harusnya percaya sama lo, ya, 'kan?" Stella menghela napasnya, "gue sebenarnya percaya kalau dia nggak akan ngapa-ngapain gue lagi. Tapi yang gue takutin itu bukan itu aja, gue takut dia ngambil lo dari gue. Gue nggak mau kejadian Bapak terulang lagi."
Tangan Atlan refleks mengelus puncak kepala Stella. Wajah mereka kini sangat dekat, sehingga membuat Atlan bisa berbicara pelan dan lembut. "Gue jauh lebih kuat dari dia, dia nggak akan bisa ngapa-ngapain gue. Percaya deh sama gue."
Stella mengangguk pelan, "Gue bakalan percaya sama lo."
"Walinya Stella?"
Atlan langsung menjauhkan badannya ketika perawat mendatangi mereka. "Saya bukan walinya Stella, tapi ada apa ya?"
Perawat itu terlihat menimbang sesuatu, sebelum akhirnya memutuskan. "Saya boleh bicara dengan anda sebentar?"
Kening Atlan mengerut, "Boleh." Sebelum mengikuti perawat yang sudah terlebih dahulu keluar dari ruangan Stella, ia menatap Stella terlebih dahulu. "Bentar ya, entar gue balik lagi."
Setelah mendapatkan jawaban berupa anggukan dan senyuman dari Stella, Atlan melangkah keluar dari ruangan ini. Ada sesuatu yang tidak beres ketika ia melihat perawat yang memanggilnya tadi terlihat menatapnya cemas, "Ada apa? Stella kenapa?"
"Nona Stella sudah di perbolehkan untuk pindah ke ruangan biasa hari ini," jawab perawat.
Kening Atlan semakin mengerut heran, kalau cuman itu tidak mungkin perawat ini membawanya kesini. "Lalu?"
"Papanya Stella meninggal beberapa menit yang lalu."
Kata-kata itu membuat pikiran Atlan berjalan sangat lambat, "Maksudnya?"
"Papa Stella sudah tiada pukul 15.40 tadi."
Jantung Atlan terasa hampir mau lepas dari tempatnya. Kakinya terasa lemas, ia seperti tidak bisa bertumpu hanya dengan kaki saja. Membuatnya harus bersender ke dinding dan mencoba berpikir jernih. "Jadi saya yang harus memberitahunya ke Stella?"
"Tadi saya yang ingin menyampaikannya, hanya saja saya takut kesehatannya menurun," Perawat melihat Atlan dengan raut wajah bersalah, "jika Stella ingin keluar rumah sakit besok, Dokter sudah memperbolehkannya. Hanya saja dia harus tetap kontrol seminggu sekali."
Atlan mengacak rambutnya frustasi, "Okey."
Atlan tidak langsung melangkah masuk ke dalam ruangan Stella, ia berdiam diri dulu beberapa menit untuk menyiapkan diri memberitahu Stella mengenai semuanya. Ketika menurutnya sudah lama keluar dari ruangan Stella, ia menguatkan diri untuk masuk ke dalam ruang Stella. Ia lagi-lagi di berikan senyuman manis Stella, membuatnya semakin terpukul untuk memberitahu Stella berita yang benar-benar tidak terduga ini.
"Tadi ada apa?" Stella menatap Atlan dengan tatapan yang membuat Atlan langsung rapuh.
Ia tidak boleh rapuh, "Lo udah boleh pulang besok tapi lo harus tetap kontrol seminggu sekali," tatapan Stella langsung berubah cerah mendengar hal itu, "La."
"Ya?" Nada bicara Stella berubah.
Atlan menarik Stella ke dalam pelukannya, "Papa lo meninggal."
****
28 Oktober 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
We're Not Twins, But We're?
Ficção AdolescenteApa jadinya, jika kalian bertemu dengan seseorang yang benar-benar sama dengan kalian? Atlan dan Stella adalah dua orang yang tidak sengaja saling bertemu di satu tempat. Mereka bertemu dengan keadaan dimana apa yang mereka pakai itu sama persis. Da...