Atlan merasakan sebuah kebahagiaan yang sudah lama tidak ia rasakan. Melihat Stella yang tidak berhenti tersenyum, mampu membuat ia ikut tersenyum. Rasanya memang selalu begitu. Hatinya pasti akan hangat, jantung akan berdetak lebih cepat dari biasa dan senyuman di wajahnya pasti akan terukir.
Senyum Stella adalah senyumnya juga.
Bunyi HP mengalihkan pandangan Atlan dari wajah ceria Stella. Ia memutuskan keluar dari kamar rawat inap untuk mengangkat panggilan dari Mama. Ia sedikit kesal dengan panggilan tiba-tiba ini karena panggilan ini membuat ia tidak bisa menatap Stella untuk sementara waktu.
"Ada apa, Ma?"
"Pelakunya udah di tangkap. Kamu harus ke kantor polisi sama Stella."
Badan Atlan yang semulanya terlihat lemas menjadi tegap karena mendengar pelakunya sudah di tangkap. "Atlan ke sana sekarang."
"Sama Stella! Ada yang mau Mama omongin sama dia!"
Atlan berdecak mendengar nada bicara Mama yang memaksa, "Iya sama Stella."
Setelah mengakhiri panggilan singkat antara dirinya dan Mama. Atlan kembali masuk ke dalam ruang inap dan perlahan mendekati dua orang yang sedang mengobrol dengan senyum yang tidak pernah tak terukir di wajah mereka. Rasanya tidak enak hati menganggu mereka berdua.
"La." Stella menoleh menatap Atlan dengan tatapan tanyanya. "Pelakunya sudah di tangkap, kita harus ke kantor polisi sekarang."
Wajah ceria Stella langsung berganti dengan wajah takut mendengar hal itu, "Harus kah?"
Melihat wajah takut Stella, Atlan berjongkok di depannya. Mengenggam tangan Stella dan tersenyum untuk meyakinkan Stella. "Ada gue. Di sana juga ada polisi, lo nggak akan kenapa-kenapa. Waktu di sana, gue akan selalu di samping lo."
"Stella." Kali ini perhatian Stella beralih ke Bibi. "Kamu harus kuat dan berani. Tunjukin ke dia kalau dia salah selama ini, dia salah mengusik kebahagiaan kamu. Hukum dia sesuai dengan apa yang dia lakuin ke kita."
Stella menghela napas berat, "Ayo, Tlan."
Selama perjalanan menuju kantor polisi, Stella tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menatap ke arah luar bahkan ketika mereka sampai, Stella tetap menutup rapat mulutnya. Sewaktu ia bertemu dengan Ali, pelaku utama, Stella tetap menutup mulut dan menatap Ali dengan tatapan marahnya.
"Kita akan memindahkan pelaku secepatnya agar proses dan tindakan hukum berjalan secepat mungkin. Dia pasti akan mendapat hukuman yang berat."
Stella hanya mengangguk mendengar penjelasn itu. Ia merasa tidak perlu mengatakan apa pun. Karena apa yang akan keluar dari mulutnya mungkin hanya sumpah serapah atau kata-kata kasar. Jika ia membuka mulut maka, ia tidak akan bisa menahan diri apalagi bayangan wajah Papa dan Bapak masih sangat jelas di otaknya.
"Stella."
Panggilan lembut dari Mama Atlan membuat Stella membuka mulut untuk pertama kalinya sejak datang ke sini, "Iya, Tante?"
Satu bulir air mata menetes dari mata indah Mama Atlan menyusul bulir-bulir air mata lainnya sehingga membasahi pipi Mama Atlan. "Maafin keluarga Tante, kalau saja kalian tidak lahir di tempat dan tanggal yang sama mungkin keluarga kamu nggak akan ngalami semua hal ini."
Kening Stella mengerut, "Maksud Tante? Kenapa Tante merasa bersalah?"
Atlan yang melihat Mamanya yang terus-terusan menangis terpaksa mengambil alih obrolan mereka. "Karena motif keluarga Ali sebenarnya adalah balas dendam ke Papa gue. Dia nggak sadar dan tahu kalau lo sebenarnya bukan anak dari Papa gue. Dia pikir lo itu anak ortu gue yang di sembunyikan."
Deg. Jantung Stella berdetak cepat mendengar fakta baru yang ia dengar. Namun, ia tidak bisa marah akan hal itu. Ini bukan salah keluarga Atlan. Tidak ada yang sadar kalau motif awal dari segala kejadian ini adalah balas dendam. Ia juga tidak menyadarinya dan keliruan ini juga bukan karena kemauan keluarga Atlan. Keliruan ini murni terjadi karena keluarga Ali.
Pikiran itu membuat Stella berjalan mendekati Mama Atlan. Ia memeluk Mama Atlan erat. Ah, ia sampai berpikir kalau Mama Atlan adalah Mamanya. "Nggak apa-apa, Tan. Semua ini takdir dan ini bukan salah keluarga Tante. Stella nggak mempermasalahin ini jadi Tante nggak boleh nangis lagi ya. Rasanya sakit ngelihat Tante nangis."
Mama perlahan menghentikan tangisannya, "Makasih banyak, Stella. Kamu anak yang baik."
Setelah acara tangis-tangisan itu, Atlan mengajak Stella berjalan-jalan di sekitar taman yang ada di komplek rumahnya, sekedar untuk menghirup udara segar di malam hari. Melihat taman yang di hiasi lampu-lampu berawarna-warni dan menikmati indahnya malam juga tenangnya malam ini.
"Selanjutnya lo bakalan gimana?" Atlan membuka obrolan.
Stella tersenyum tipis, "Gue bakalan pakai sisa uang tabungan Papa yang ada di negara ini buat pengobatan Bibi. Terus juga gue udah pasang iklas tentang penjualan rumah gue."
Kepala Atlan langsung menoleh mendengar kata menjual rumah, "Lo mau tinggal di mana? Lo bilang lo nggak mau lama-lama tinggal sama gue."
Stella membalas tatapan Atlan. Dengan tenang ia membalas ucapan Atlan, "Memang iya, gue nggak mau lama-lama tinggal sama lo karena gue nggak tahu gimana caranya ngebayar kebaikan keluarga lo. Maka dari itu, kalau misalnya rumah gue ke jual lebih cepat, gue bakalan cari kontrakan murah untuk gue tinggali sendirian soalnya Bibi bakalan pulang ke keluarganya yang ada di Surabaya."
Tatapan Atlan seperti mengatakan ia tidak setuju dengan keputusan Stella, "Jadi lo mau tinggal sendirian?"
"Cuman beberapa bulan, Tlan." Stella mengalihkan tatapannya ke arah lain, tidak sanggup menatap Atlan.
"Maksud lo apa?" Firasat Atlan mengatakan kalau hal ini bukan lah hal yang bagus.
"Gue bakalan balik ke Amerika lagi setelah semester ini berakhir yang tandanya tinggal beberapa bulan lagi."
"Balik? Berarti lo nggak akan ke Indonesia lagi?"
Stella menghela napasnya. Ia menguatkan diri untuk menatap ke mata Atlan, "Iya, gue nggak akan balik lagi ke Indonesia. Gue nggak bisa tinggal di sini lagi, Tlan. Kalau gue maksa buat tinggal di sini, gue nggak akan tahu gimana kehidupan gue. Keluarga Papa gue juga udah nelepon gue dan bilang bahwa mereka mau biayain gue sampai tamat kuliah dengan syarat gue balik ke Amerika lagi."
Rasanya seperti di jatuhkan dari ketinggian yang sangat tinggi setelah di buat terbang. Itu lah yang Atlan rasakan kali ini. Namun, ia tidak mau bersikap egois. Ini keputusan Stella dan ini adalah jalan terbaik Stella.
Atlan tersenyum lebar, ia mengenggam tangan Stella dan kepalanya bersender di bahu Stella. "Lo tahu sebuah kata-kata yang mengatakan, kalau kita jodoh maka apa pun yang menghalangi perjalanan termasuk jauhnya tempat kita, kita tetap akan di temukan kembali dan tetap berjodoh."
"Gue tahu." Stella berusaha untuk tersenyum juga walau hatinya perih mengetahui mereka akan berpisah.
"Lo tetap pacar gue walau lo pindah negara." Atlan mengangkat kepalanya, ia menangkup wajah Stella. Mengelus wajah Stella pelan, "Walau kita mungkin akan ada saatnya kita lelah karena hubungan jarak jauh ini dan memutuskan untuk sendiri-sendiri terlebih dahulu karena bosan, itu nggak apa-apa. Yang terpenting hati dan pikirin lo tetap mengatakan satu hal, pada akhirnya lo milik gue dan gue milik lo."
"Tlan." Air mata perlahan menetes membasahi wajah Stella.
Atlan menghapus air mata itu perlahan dan membawa Stella ke dalam pelukannya, "Lo milik gue, selamanya."
****
2 November 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
We're Not Twins, But We're?
Подростковая литератураApa jadinya, jika kalian bertemu dengan seseorang yang benar-benar sama dengan kalian? Atlan dan Stella adalah dua orang yang tidak sengaja saling bertemu di satu tempat. Mereka bertemu dengan keadaan dimana apa yang mereka pakai itu sama persis. Da...
