Stella menatap nanar dokter yang menjelaskan tindakan yang diinginkan. Ia tidak ingin membunuh Abangnya, ia hanya tidak ingin melihatnya tersiksa. Jika mereka melepaskan semua alat-alat itu, maka yang pertama akan dirasakan Axel adalah kesakitan karena telah kehilangan penunjang hidupnya.
Axel akan kesulitan bernapas, tubuhnya bisa bereaksi kesakitan ketika dokter melepaskan segalanya. Maka dari itu, Stella menolak melakukan itu. Ia ingin Axel pergi dengan tenang tanpa adanya rasa sakit di akhir hidupnya. Stella memilih tindakan euthanasia karena ia sudah mencari tahu mengenai hal ini sebelumnya. Ia sudah mengira bahwa hari ini akan datang.
Euthanasia adalah tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya. Tindakan ini di larang di Indonesia, karena tindakan ini sama saja dengan membunuh pasisen secara sadar. Namun, menyabut alat-alat juga sama saja membunuh pasien. Maka dari itu, Stella yang memintanya karena dokter tidak akan menyarankan tindakan ini. Papa juga setuju dan menandatangani surat persetujuan untuk tindakan ini.
Inilah pilihan yang kami ambil. Merelakan Axel dan membuatnya pergi dengan tenang tanpa harus menyiksanya. Ia yakin kalau Axel juga menerima apa yang kami lakukan. Bukan hanya itu, ia juga tidak akan melihat Axel tersiksa dan Papa yang pulang tengah malam karena harus mencari uang lebih untuk biaya rumah sakit.
"Kita akan melakukan suntik mati dengan obatan yang bisa menghentikan fungsi organ pasien secara perlahan dan tidak sakit. Kita akan memberikannya siang nanti, sekitar pukul dua."
Bahu Stella melorot ketika mengingat kata-kata dokter. Walau ia yang meminta hal ini dan sudah merelakan, tetap saja ada sebagian dirinya yang tidak menerima mengenai hal ini. Ia masih ingin bersama Axel. Masih ingin bercanda bersamanya dan bertemu dengannya setiap hari. Namun apa boleh buat, ia harus merelakan dan menerima.
Sesuatu yang dingin tiba-tiba menyentuh kulitnya, "Jangan melamun sendirian, entar ada apa-apa."
Stella menghela napas ketika ia mengenali suaranya, "Lo rajin banget kesini, nggak pernah mau absen kayaknya."
"Gue udah ngumpul sama keluarga kok," Karena minuman yang Atlan berikan tidak juga di ambil, ia membuka minuman itu dan membuat Stella mengenggam minuman itu, "gue kesini mau tahu keadaan Abang lo."
Terpaksa Stella menerima minuman itu, "Dia baik." Akan lebih baik lagi setelah tindakan itu, tambah Stella di dalam hatinya.
Senyuman Atlan langsung terukir, "Wah! Bagus deh kalau gitu, kapan dia keluar dari ruang ICU?"
"Jam satu nanti, dia juga udah boleh pulang." Tatapan Stella kosong ketika mengatakannya.
Iya pulang. Pulang ke tempatnya. Pulang menemuinya. Pulang ke rumah awalnya. Pulang selamanya.
"Seriusan?" Atlan terlihat senang mendengarnya.
Tangan Stella entah kenapa bergerak mengenggam tangan Atlan. Matanya beralih menatap kedua mata Atlan, perlahan air mata menetes dari mata lelah Stella. "Pulang ke tempat dia, ke tempat awal kita sebelum ada di dunia ini."
Deg.
Atlan baru menyadari sesuatu, ia salah memberikan ekspresi. Tangannya terulur mengambil minuman yang ia berikan sebelumnya, lalu meletakkan di kursi yang mereka duduki. Ia membawa Stella ke dalam pelukannya, "Abang lo bakalan bahagia di sana. Dia bakalan selalu ada di samping lo. Dia akan selalu nemanin lo di mana pun."
"Siapa yang bakalan ngebelain gue lagi? Siapa yang bakalan nemanin gue saat Papa sibuk?" lirih Stella pelan.
Air mata Stella sekarang menetes lebih banyak dari sebelumnya. Bahkan ia menyadari kalau baju Atlan basah karenanya. Ia berusaha untuk tidak menangis, tapi tidak bisa. Ia ingin menangis, setidaknya untuk terakhir kalinya.
Kepala Stella yang berada di dadanya, membuat Atlan merasakan kalau Stella sekarang benar-benar terpukul, terdengar jelas dari suara tangis Stella. "Memang ngak akan ada yang bisa gantiin Abang lo, tapi teman-teman lo bakalan ada di samping lo dan nemanin lo selama ini. Kita bakalan ada buat lo."
Stella tidak menjawab, ia semakin menangis mendengar ucapan Atlan. Ia merindukan suara Abangnya. Ia ingin bercanda lagi, ia ingin bertengkar dan adu mulut dengan Bang Axel lagi. Ia ingin kembali memutar waktu.
"Dia pasti nggak suka ngelihat lo nangis gini," tangan Atlan mengelus punggung Stella, "dia bakalan nggak bisa pergi dengan tenang kalau lo aja belum rela."
Stella menghela napas. Ia mencoba mengendalikan dirinya, karena ucapan Atlan memang benar. "Gue udah rela, tapi belum bisa nerima. Gue juga kangen setiap momen berdua sama dia."
"Gue emang nggak ngerti perasan lo. Tapi, lo harus ngerelain dia." Atlan hanya bisa mengatakan hal itu, ia tidak berpikir kata-kata apapun lagi.
Benar kata orang, orang datang pasti akan pergi. Apa yang ada di dunia ini juga tidak ada yang abadi. Maka dari itu, kita sebagai manusia harus merelakan dan berdoa untuknya. Seiring waktu, akan tiba waktunya kita kembali kepadanya.
Perlahan Stella melepaskan pelukan mereka. Matanya yang masih basah melirik minuman yang diberikan Atlan sebelumnya. Dalam diam, ia mengambil minuman itu lalu meminumnya. Ia ingin menjernihkan pikiran dan perasaannya.
Beberapa jam lagi, semua penderitaan dia akan berakhir. Semua rasa sakitnya akan hilang. Dia tidak akan tersiksa lagi karena alat-alat itu. Maka dari itu, ia harus merelakan dia. Stella mencoba menenangkan diri dan mencoba menerimanya.
Stella tersenyum tipis di saat air matanya masih menetes, "Gue berusaha nerima semua yang sudah terjadi. Semua hal yang akan terjadi nanti adalah yang terbaik bagi dia."
Atlan berdiri, ia berpindah tempat dan berjongkok di depan Stella. Tangannya mengenggam tangan Stella, "Gue nggak mau janji sama lo, tapi gue bersedia gantiin Abang lo. Gue bakalan buat lo nggak ngerasain kesepian dan selalu ada buat lo. Gue bakalan jadi Abang buat lo, walau gue nggak akan bisa gantiin posisi dia. Seenggaknya, gue bisa menjadi sesuatu yang lain bagi lo. Yang jelas, gue akan berusaha ada dan menjadi spesial buat lo. Gue bakalan berdiri di samping lo dan ngebantu lo. Selama lo masih mau berhubungan dengan gue dan ada di jangakauan gue, gue bakalan ngebantu lo. Gue bakalan berusaha jadi orang pertama untuk lo, selain keluarga lo."
****
7 menit lagi menuju tanggal 2.
Oh ya, yuk baca cerpen "Dia yang Aku Tunggu" dan "Renunganku" hehehe1 Oktober 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
We're Not Twins, But We're?
Novela JuvenilApa jadinya, jika kalian bertemu dengan seseorang yang benar-benar sama dengan kalian? Atlan dan Stella adalah dua orang yang tidak sengaja saling bertemu di satu tempat. Mereka bertemu dengan keadaan dimana apa yang mereka pakai itu sama persis. Da...