Part 32

1.9K 257 5
                                        

Amarah Atlan berada di titik puncak ketika melihat Stella yang sudah di ikat di atas tempat tidur dan kancing baju Stella sudah terlepas semua. Ia ingin langsung menarik pelatuknya. Melihat Stella yang menangis dan tubuhnya yang gemetat, semakin menguatkan keinginan Atlan untuk menarik pelatuk dan menghajar laki-laki yang berada di atas tempat tidur ini.

Ali masih saja bisa tersenyum ketika banyak orang mengepungnya. Ia mengangkat tangan dan perlahan mundur. Atlan yang melihat itu langsung mendekati Stella, menyelimutinya lalu melepaskan semua ikatan. Melihat tubuh rapuh Stella, Atlan sejenak melupakan laki-laki yang sudah membuat Stella seperti ini. Ia lebih memilih untuk membuat Stella tenang dari pada menghajar Ali sekarang juga.

Stella langsung memeluk Atlan ketika ikatan tangannya terbuka. Ia terisak di dalam pelukan Atlan, "Gue takut."

"Udah ada gue di sini," Atlan mengelus punggung Stella, matanya melirik Ali yang sudah di kepung. Bukannya merasa cemas, Ali malah tertawa pelan. "Kancingin baju lo, La. Banyak cowok di sini."

Bunyi tembakan tiba-tiba berdatangan dari arah luar menembaki ruangan ini. Membuat Atlan semakin memeluk erat Stella dan menarik Stella ke lantai untuk berlindung. Pada saat itu, Ali berhasil lolos dengan meloncat dari jendela kamar Stella. Mendengar bunyi tembakan yang datang berkali-kali, membuat Stella mencengkram baju Atlan kuat-kuat.

"Kita harus keluar dari sini." Atlan benar-benar ingin menghajar laki-laki sialan itu dan membuatnya busuk ke penjara. Dia pikir, dia bisa kabur dan tidak tertangkap? Itu hanya pikiran Ali saja, sebaiknya dia membuang pikiran itu jauh-jauh.

Stella menggeleng kuat, "Gue takut."

"La," Atlan melepaskan pelukan mereka. Matanya menatap lurus dan tatapan itu terlihat sangat lembut. Ia tersenyum, "Lo harus ke rumah sakit. Lo mau ketemu Papa sama yang lainnya, 'kan? Kalau lo mau, lo harus keluar dari sini. Tenang, udah ada gue. Lo nggak perlu takut, gue bakalan ada di samping lo selalu. Lo aman sama gue."

Stella mengangguk lemah, "Jangan tinggalin gue."

"Pasti." Atlan membantu Stella untuk berdiri, ia melirik beberapa orang yang ikut bersamanya. Ia mengkode mereka untuk mengamankan komplek ini dan segera mencari Ali yang kabur.

Stella tidak banyak bicara, saat mereka sudah berada di luar rumah. Stella hanya mengikuti Atlan dan masuk begitu saja ke dalam mobil. Sepanjang perjalanan Stella hanya diam dan menatap ke arah luar jendela. Atlan memaklumi itu karena ia tahu kondisi Stella. Stella pasti sangat syok, terpukul dan terguncang karena kejadian tadi.

Hal itu membuat Atlan memegang kemudinya erat-erat, ia menahan emosinya dengan menyalurkan luapan amarah ke kemudi mobil. Ia tidak ingin menyalurkan ke kecepatan mereka melaju karena tidak mau menambah kecemasan Stella. Dari wajah Stella, jelas sekali perempuan itu sedang cemas, khawatir dan masih ketakutan. Rasa ingin membunuh dalam diri Atlan bertambah. Kalau saja membunuh orang seperti itu tidak salah di negara ini mungkin, Atlan akan mencarinya lalu membunuh dengan cara paling menyakitkan.

"Kita sudah sampai, La." Atlan melepaskan sabuk pengaman Stella. Tetap saja Stella tidak bergerak sedikit saja dari posisinya. Membuat Atlan turun lebih dahulu dan membukakan pintu Stella. "Ayo turun."

"Eh? Kita sudah sampai?" Stella kebingungan sendiri melihat sekelilingnya.

Atlan tersenyum maklum, "Ayo, lo pasti mau ketemu mereka."

Kakinya tiba-tiba terasa lemas, membuat ia harus memegangi lengan Atlan. Stella tidak tahu kenapa tubuhnya seperti ini, apa mungkin karena firasat buruknya?

Bau ciri khas rumah sakit sangat kentara saat mereka menginjakan kaki di UGD. Stella dapat bernapas lega saat melihat Papa dan Ibu yang terlihat baik-baik saja. Tunggu dulu, "Kenapa Bapak nggak ada di sini? Bapak baik-baik aja?"

"Stella." Atlan menarik Stella ke dalam pelukannya, "Kita doakan dia tenang di alam lain ya."

Stella mengernyit mendengar ucapan Atlan. Ia mencoba melepaskan pelukan Atlan, sayangnya tenaga Atlan terlalu kuat. "Maksud lo apa? Bapak meninggal? Nggak mungkin, Tlan. Nggak mungkin."

"Nggak ada yang nggak mungkin di dunia ini." Atlan mengelus punggung Stella yang sudah bergetar. Stella menangis, pasti. "Kita semua akan nyusul dia suatu saat nanti. Jadi nggak ada yang nggak mungkin. Semua orang yang datang ke kehidupan kita suatu saat akan pulang ke asalnya."

Atlan dapat merasakan perasaan sakit yang Stella rasakan. Bahkan ia ragu, jika setelah semua ini Stella akan kembali seperti semula. Mungkin juga Stella akan menyalahkan dirinya atas semua yang terjadi malam ini. Atlan segera menepis semua pikiran buruknya. Kalau memang pikiran buruk itu akan terjadi, ia harus mencegah semua itu. Jangan sampai ia tidak bisa melihat Stella ceria dan senyum manisnya itu.

"Stella."

Atlan melepaskan pelukan mereka ketika Papa Stella memanggil Stella. Stella yang masih meneteskan air mata menghampir Papanya dengan langkah lemah. Papanya hanya tersenyum tipis dan berusaha untuk menghapus air mata anaknya itu.

Papa Stella mengenggam tangan Stella, "Papa boleh bicara berdua dengan pacar kamu?"

Stella menggeleng cepat, "Stella masih mau di sini, Pa."

"Sebentar saja. Lima menit deh." Papa Stella belum berhenti mencoba.

Stella menghela napas, ia akhirnya mengangguk. "Jangan lama-lama ya, Pa."

Setelah Stella menghilang dari ruangan UGD, Papa Stella menyuruh Atlan mendekat menggunakan tangannya. Dia masih aaja tersenyum membuat Atlan keheranan.

"Saya boleh minta tolong sama kamu?" Papa Stella langsung ke inti pembicaraan dan tidak berbasa-basi terlebih dahulu.

Atlan -yang mendapat pertanyaan itu- mengangguk, "Tolong apa ya, Pak?"

"Tolong paksa Stella untuk operasi sumsung tulang agar penyakitnya hilang total," Papa Stella menghembus napas lega. "Tolong jagain dia, jangan buat dia nangis."

Atlan yang mendengar itu langsung hormat ke arah Papa, "Siap Pak! Saya akan melakukan semua ucapan anda."
"Temui dia. Temani dia ya," ucap Papa Stella.

Karena Papa Stella mengatakan sepertitu itu. Maka, "Kalau gitu saya cari Stella dulu. Saya tinggal dulu ya. Maaf."

Setelah mengatakan itu, Atlan langsung melangkah keluar dari ruangan UGD. Ia di buat terkejut karena saat keluar dari ruangan UGD, Stella langsung berdiri di depannya dan mengulurkan sebuah minuman yang biasanya mereka minum.

"Lo nggak perlu paksa atau rayu gue. Gue bakalan operasi sumsum tulang dengan keinginan sendirinya." Stella tersenyum tipis.

"Bagus kalau gitu. Gue senang banget ngedengar lo mau ngelakuin itu tanpa gue paksa," Atlan membuka minuman kalengnya dan menukarnya dengan minuman Stella yang belum tersentuh. "Semuanya bakalan berjalan lancar dan gue yakin, setelah ini lo beneran akan sembuh dan tentunya operasi lo akan sukses."

Mendengar perkataan Atlan entah kenapa bisa membuat pikirannya tenang. Ia merasakan kenyamanan hanya karena sebuah kata-kata."Makasih, Tlan. Makasih udah ada di samping gue."

"Nggak perlu makasih sama gue. Ini kewajiban gue buat selalu di samping lo."

****

Atlan mah😍😍

25 Oktober 2017

We're Not Twins, But We're?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang