hrtn

690 75 3
                                    


i'm hurt.

i'm fucking hurt.

***

Hujan membuat Audrey terpaksa menunggu di depan sebuah toko yang sudah tutup. Padahal, dia baru saja meninggalkan sekolah 45 menit yang lalu, dan saat itu, langit tidak menunjukkan tanda-tanda akan turun hujan. Tapi, sekarang, hujan turun dengan tidak nyantainya.

Pukul 16.00, dan dia yakin, sesampainya di rumah, ibunya akan mengomelinya habis-habisan.

Dengan tangan gemetaran, dia mengambil ponselnya.

"Ah, sialan," rutuknya, melihat ponselnya mati total.

Tanpa sadar, gigi Audrey bergemelutuk. Gadis itu memasukkan lagi ponselnya ke dalam saku seragamnya, lalu memeluk dirinya sendiri.

Audrey menggigit bibirnya.

Sudah berlalu lima belas menit, dan hujan tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti menginjak-injak bumi.

Lama-kelamaan, bibir Audrey membiru. Dia bisa merasakan angin menusuk tulangnya. Dadanya mulai terasa sakit dan sesak karena tidak ada jaket yang menyelubunginya di sore hari berhujan lebat yang sangat dingin itu.

"Drey!"

Audrey mengernyit kala mendapati Tyler berada di depannya, di dalam sebuah mobil sedan berwarna hitam.

"Tyler?" Audrey tersenyum kecil. "Kok pulang lewat sini, lo?" tanyanya— masih sambil menggigil kedinginan— mengingat cowok itu seharusnya pulang lewat arah yang berlawanan.

Cowok itu keluar dari dalam mobilnya, berlari ke tempat Audrey berdiri. Tanpa menghiraukan pertanyaan Audrey, dia melepas jaketnya dan membuat tudung untuk kepala gadis itu.

Dengan lembut, Tyler memastikan Audrey duduk nyaman di kursi penumpang depan, sebelum cowok itu masuk dan duduk di kursi sopir.

"Gue tadi lagi beli titipan nyokap deket sini, terus gue ngeliat lo," jawab Tyler akan pertanyaan Audrey tadi.

Cowok itu mengambil jaketnya yang lain yang tersampir di sandaran jok sopir, lalu menyerahkannya kepada gadis di sebelahnya yang terlihat sangat kedinginan.

"Lo udah makan?" tanya Tyler.

Audrey menggeleng.

"Ya udah, kita cari makan dulu. Entar lo masuk angin."

Tyler baru saja akan menjalankan mobil ketika Audrey menahannya. "Anterin ke rumah gue aja, Ty. Mama gue lagi sakit. Di rumah juga udah ada makanan."

Tyler menatap Audrey skeptis. "Serius lo?"

Audrey tersenyum, mengangguk.

"Ya udah," kata cowok itu, lalu mulai melajukan mobil.

"By the way, thanks, ya, Ty," ujar Audrey, benar-benar tulus, "kalo gak ada lo, gue bakal nunggu ujan reda," dan Audrey tidak tahu berapa abad lagi dia harus menunggu sampai hujan itu reda.

"Anytime, Drey." Tyler tersenyum, sesekali membagi perhatiannya antara jalanan dan gadis di sebelahnya. "Lo udah lama, ya, di sana? Keliatannya menderita banget, lo."

"Mayan, sih. Setengah jaman," ujar Audrey.

"Serius, lo nggak mau makan? Dingin, loh."

"Bener. Gak masalah dingin gini mah, gue ada minyak," katanya, sambil mengoprek tasnya untuk mencari minyak angin yang selalu dibawanya. Namun yang pertama ditemukannya bukanlah minyak, melainkan sebuah buku asing milik Fiona bertuliskan catatan fisika.

"Yah....," desah Audrey.

"Kenapa, Drey?" tanya Tyler.

Audrey menunjukkan buku yang—untungnya—kering itu kepada cowok di sebelahnya. "Ini punya Fio..."

"Yah, jadi gimana? Mau dibalikin sekarang?"

"Gue, sih, takutnya ini bakal dia pake besok," ujar Audrey gelisah. "Lo turunin gue di sini aja deh, gue turun. Mau balikin ini."

"Gak usah, gue anterin aja," ujar Tyler langsung. "Rumahnya Fio di mana?"

***

Untung ada Max, sehingga Fio bisa sampai rumah tidak terlalu malam.

Walau mereka baru bisa pulang pukul 17.00, karena hujan baru mengecil saat itu.

Sekarang, pukul 19.30, keduanya ada di depan rumah Fio, setelah melewati kemacetan membosankan dan segala macam tetek-bengek perkotaan yang rumit.

"Thanks, ya, Max," ujar Fio, turun dari motor sport Max dengan bantuan pemiliknya yang sudah turun lebih dulu.

"Sama-sama, Fi," balas Max. "Nanti kalo bingung fisika lagi, tanya gue aja."

"Okay." Fiona tersenyum. "Sekali lagi, Thanks, ya, lo udah anter gue pulang."

Max mengangguk.

"Gue ke dalem dulu," ujar Fio, berbalik, dan berjalan ke dalam pelataran rumahnya.

Sepeninggal Fio, Max tetap berdiri di sana, memastikan gadis di hadapannya tadi masuk ke dalam rumahnya dengan sempurna sebelum nantinya cowok itu pulang.

Namun, sesuatu menghalangi langkah
Fio dan membuat gadis itu tersandung.

"Fi!"

Melihat Fio terjatuh, Max menghampiri gadis itu dan berjongkok demi mengecek kaki kanan Fio yang terluka.

"Fi."

Lalu, Audrey datang dengan badannya yang sudah kering berkat Tyler, yang lalu datang menyusul di belakangnya.

"Eh, Drey?" Max terlihat sedikit kaget mendapati pacarnya berada di sana. "Ngapain?"

Audrey menjulurkan tangannya untuk menyerahkan buku itu kepada sahabatnya. "Buku lo, Fi. Sori kebawa."

Beberapa saat, Fio menatap buku itu dan sahabatnya bergantian, lalu menariknya cepat. Gadis itu tersenyum. "Makasih, Drey."

Audrey mengangguk. "Kaki lo kenapa?" tanyanya, ikutan berjongkok di sebelah Max.

"Jatoh tadi, berdarah deh," jawab Fio, "tapi gak pa-pa, sih."

"Gak pa-pa apaan, kaki lo berdarahnya banyak gini," ujar Max terdengar khawatir, lalu mengalungkan lengan Fio di lehernya.

Audrey berdiri kaget.

Sejurus kemudian, Fio yang sama terkejutnya sudah berada dalam gendongan bridal Max. Dan seakan itu belum cukup mengagetkan bagi Audrey, Max berkata.

"Lo pulang sama Tyler ya, Drey. Gue bantuin Fio obatin ini dulu," ujar Max kepada gadisnya, lalu kepada temannya, "Ty, gue titip cewek gue, ya."

Tyler mengangguk.

Lalu, dua orang itu hilang di balik pintu sebuah rumah mewah di komplek perumahan eksklusif itu.

Audrey berbalik, menatap Tyler yang sudah lebih dulu menatapnya.

Tyler tersenyum miring.

"It hurts, doesn't it?"

Sebagai jawaban, Audrey tersenyum.

***

to God be the glory,
nvst.

12.10.17

ephemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang