shckn

367 43 4
                                    


bestfriends have got your back.

***

Di ruang tunggu sebuah rumah sakit, berkumpullah Audrey, Max, dan beberapa teman mereka yang beberapa waktu lalu mengantarkan Fiona ke sana.

Fiona, gadis itu dengan cerobohnya tertabrak oleh sebuah mobil yang membuatnya terluka di daerah kepalanya.

Untungnya, di dekat kafe itu ada sebuah rumah sakit yang, walaupun tidak terlalu bagus, tapi masih bisa diandalkan.

Ketika akhirnya penantian mereka berujuang saat dokter itu keluar dari ruang tempat gadis itu diperiksa, dalam kurang dari lima detik, pria itu sudah jadi pusat perhatian para penunggu kabar.

"Bukan luka parah, kalian tenang saja," ujarnya dalam nada dan ekspresi yang tenang-tenang saja, "ibu dan janin selamat."

"JANIN?!"

Melihat semua pasang mata melotot ke arahnya, dokter itu tertawa kecil. "Tepat seperti perkiraan saya. Saya pun terkejut, mengingat pasien masih mengenakan seragam SMA."

Harris mengajukan pertanyaannya, "Udah bisa pulang kapan, Dok?"

"Secepat kalian selesai berproses atas kabar tadi, mungkin?" Dokter itu tersenyum ramah. "Saya tinggal dulu."

Tujuh orang itu kembali duduk di tempat mereka masing-masing.

Audrey terdiam tanpa ekspresi.

Max duduk menumpukan sikutnya di kedua dengkulnya sambil berusaha mencerna kabar buruk itu.

Sisanya menatap satu sama lain dengan tingkat kekacauan yang sama.

"Gue..." Ronald bangkit berdiri. "Gue cabut. Daripada entar reaksi gue salah, mending gue cabut." Cowok itu menghela napas berat. "Gue duluan."

"Gue juga."

"Gue juga."

"Gue juga."

Dua yang lain mengikuti.

Tersisa Audrey dan Max yang masih saja sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.

Sampai pintu ruangan yang sama terbuka untuk yang kedua kalinya, dan memunculkan Fiona Princessa Darmawan—dengan perban yang tertempel di kepalanya dan seragam yang terdapat bercak darah—yang sudah bercucuran air mata.

"Drey...."

Audrey bangkit dari tempat duduknya, lalu memeluk sahabatnya itu. "Gue di sini, Fi."

Tangisan itu pecah, menyisakan ruang bagi isakan yang memenuhi waktu untuk beberapa saat.

"Orang tua gue benci sama gue, Drey..."

Audrey memejamkan matanya, mengelus punggung Fiona dengan gerakan konstan.

"Mereka nggak mau dengerin gue lagi.... Gue nggak punya siapa-siapa lagi."

Hingga wanita itu membalas pelukannya, dan menyandarkan dagunya di pundak kirinya.

"Gue..." Suaranya melemah ketika mengatakan, "Gue cuma punya lo. Maafin gue..."

Audrey tersenyum kecil. "Forgiven, Fi."

***

Pukul 16.00, Fiona sudah berada di apartemen tempatnya tinggal.

Wanita itu masih saja menangis karena pria satu itu tidak bisa dihubungi di saat-saat tergenting seperti ini. Pria itu seakan hilang ditelan bumi, semua akses untuk menghubunginya tidak bisa diandalkan, meninggalkan Fiona berjuang seorang diri.

Tangisannya berubah menjadi jeritan.

"Drey, gimanaaa!! Gue takut!!"

Dia terlihat begitu menderita untuk seseorang yang sedang mengandung.

Jadi, Max maju untuk memeluk tubuh itu, dan mengutarakan kalimat penenang.

"Ada gue sama Audrey. Lo tenang aja. Kalo lo stress, bayinya juga stress," ujarnya, terdengar terbiasa menghadapi wanita hamil berkat Ayana yang mengandung adiknya beberapa bulan lalu, "tenang, ya, Fi. Gue sama Audrey nggak akan ninggalin lo."

Audrey mengangguk, mengiyakan.

Fiona masih terisak, namun tidak sehebat tadi.

"Gue nyesel, Drey.... Gue nggak mau hamil.... Gue benci anak ini!!!"

"Fi," Audrey berlutut di hadapan temannya yang terduduk dengan baju yang basah oleh keringat dan air mata. "Jangan sekali-sekali lo berpikir untuk bunuh anak itu. Kita rawat anak itu bareng-bareng. Lo nggak sendiri."

Fiona menunduk, masih dalam dekapan hangat Max, dia menangis.

"Maafin gue, maafin gue, maafin gue...."

Audrey tersenyum, mengelus punggung sahabatnya.

"We're your best friends. We've got your back. Anytime, anywhere."

Max tersenyum dan mengangguk.

Wanita itu mengangkat kepalanya dan menatap kedua sahabatnya.

"Jangan tinggalin gue, ya. Gue mohon. Gue...." Satu isakan lolos lagi. "Gue bener-bener cuma punya lo berdua.... Maafin gue...."

"Iya, Fi, lo udah dimaafin," Max angkat bicara dalam kelembutan hatinya, "sekarang lo istirahat, lo butuh istirahat."

Saat itu, ponsel Audrey berdering nyaring, membuat gadis itu melipir ke balkon untuk menjawab telepon yang masuk itu.

"Kenapa, Ry?"

Di ujung sana, suara Ryan terdengar cemas dan khawatit, "Lo jemput gue di lobi apartemen Fio. Gue harus ketemu Fio sekarang."

Audrey terdiam sejenak. "G-gue takut Fio—"

"Drey, gue jamin, kehadiran gue nggak akan memperkeruh keadaan. Gue di sana buat dia, bukan buat nge-judge dia. Ke bawah, lima menit lagi."

Secepat telepon terputus, secepat itu pula Audrey bergegas menjemput temannya di lobi.

Di ruang utama, Max dan Fiona mengernyit mendapati gadis itu terlihat terburu-buru.

"Fi, kuncinya gue bawa, ya," ujar Audrey, lalu mengenakan sandal Fio yang menganggur di depan pintu.

"Lo mau ke mana?" tanya Max.

"Jemput Ryan."

Mendengar itu, mata Fiona membulat. Wanita itu lalu bertanya dengan suara yang sedikit bergetar, "R-Ryan tau kalo gue..."

Audrey tersenyum. "Dia tau, and congratulations, you've got someone who would die for you."

***
To God be the glory,
nvst.
28.12.17

ephemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang