whl

414 38 14
                                    


love me right.

***

Kamis, 4 Januari adalah hari di mana kondisi kesehatan Audrey semakin turun. Suhu tubuhnya mulai panas, dan wajahnya memucat.

Namun, semua itu bisa dia samarkan melalui riasan wajah yang dikenakannya berkat bantuan Fiona, sahabatnya, satu-satunya orang yang tahu kondisi kesehatannya yang sebenarnya.

Dengan sweter rajut yang membalut tubuhnya yang lemah dan panas, siang itu Audrey menemani ibunya untuk kontrol ke rumah sakit yang terletak sangat jauh dengan rumahnya, mengingat kediaman gadis itu terletak di pinggiran kota.

Pasien yang memadati rumah sakit membuat urusan Maria baru selesai pukul 17.00. Hal itu membuat Audrey semakin lemas tanpa ada kata yang diutarakannya.

"Eh, Drey, itu bukannya pendonor dana PERSADA, ya?" tanya Maria, ketika mereka hampir mencapai lobi untuk keluar dari gedung besar itu.

Audrey, dengan keringat dingin yang membasahi tubuhnya, berkata serak, "Hm, mana?"

"Itu. Omanya Max. Ibu.... siapa? Harjani?"

Audrey membalikkan tubuhnya, untuk mendapati Harjani yang duduk di ruang tunggu untuk mengambil obat, dan tidak jauh dari sana, satu-satunya cucu laki-lakinya duduk, menunduk, menatap sesuatu di ponselnya—cowok itu selalu berhasil menghasilkan uang dengan memanfaatkan kondisi apapun dengan baik.

Ketika Audrey membalikkan tubuhnya, pandangan Max naik dan mengarah kepadanya tanpa gadis itu ketahui, dan cowok itu tidak melepaskan tatapannya dari sana.

"Hadeh, ujan ga berenti-berenti. Kita terobos aja apa, Drey?" tanya Maria pada putrinya.

Pandangan gadis itu mengabur. Buru-buru, Audrey mencari tempat duduk yang bisa dijadikan sandaran bagi kepalanya sekaligus.

Maria, yang masih menatap hujan yang turun di depannya, tidak sadar apa yang terjadi pada putrinya yang duduk di belakangnya. Jadi wanita itu tetap berceloteh.

"Kalo kita pulang kelamaan, langganan mama keburu pulang."

"Hm?"

"Eh, ngomong-ngomong, mama jadi penasaran deh nanti anak Fio laki apa gadis."

"Dia mau kasih nama Andrea," ujar Audrey sambil menunduk dan memijat keningnya.

Mendengar itu, Maria mengernyit, tanpa ada kecurigaan sedikitpun putrinya sedang lemah tubuh di belakang sana. "Lah, bukannya baru dua bulan? Kok bisa tau?"

"Nggak tau." Audrey menghela nafas sepanjang-panjangnya untuk menambah suplai oksigen ke otaknya, demi membuat tubuhnya menjadi sedikit lebih kuat. "Maksudnya aku nggak tau kenapa Fio bisa tau."

"Kalo lahirnya cowok, gimana tuh?" Maria menggeleng tak paham. "Masa cowok namanya Andrea?"

"Andrea Hirata?"

Satu nama itu berhasil membungkam mulut wanita satu anak itu. "Bener juga, kamu," ujarnya, sebelum terdiam dan menatap sekitar. "Hm... ujannya lama juga, ya."

Kalimat itu tidak dihiraukan Audrey yang mengangkat muka pucatnya kala merasakan seseorang berjongkok di hadapannya.

"Kamu sakit."

Dua kata yang Max lontarkan itu membuat Audrey kembali menundukkan kepalanya. Kekuatannya saat itu sedang tidak dialokasikan untuk beradu argumen dengan remaja yang sedang membencinya di hadapannya itu.

Setelah elusan lembut di puncak kepala yang diberikan cowok itu, Audrey memejamkan matanya cukup lama sampai mendengar teriakan ibunya yang menggegerkan hampir satu ruangan besar itu.

ephemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang