lf

447 58 14
                                    


for those who nearly give up,

take my hand.

***

"Harus ada ijazah SMA?"

Audrey bertanya pada dirinya sendiri usai menyudahi telepon yang membuatnya berseru, "God, life sucks!"

Ini sudah hari ke-45 Audrey mencari pekerjaan, dan yang benar-benar membuatnya muak adalah satu kalimat harus ada ijazah SMA itu.

Untung saja, selama ini dia mempunyai pekerjaan sampingan sambil mencari pekerjaan baru, yaitu membantu ibunya.

Apa pun yang menimpanya hari itu, dia akan terus membantu ibunya. Untungnya, banyak pesanan katering berdatangan, sehingga Audrey bisa menabung sedikit demi sedikit untuk membayar uang sekolahnya. Dan untungnya, ada beberapa gadis yang mengikuti kursus menjahit yang dibuka Maria.

Selama sebulan lebih ini, yang memasak untuk katering adalah Audrey. Maria hanya mencicipi rasa dan memberi perintah untuk menambahkan ini itu. Kursus dan pesanan menjahit dipegang wanita itu tanpa bantuan anaknya, karena, ternyata putrinya itu menyebalkan dalam beberapa hal.

"Ma, harus ada ijazah SMA, katanya," adu Audrey sambil tiduran di ranjang ibunya yang selalu rapi.

"Iya, pasti. Nanti mama tanyain temen mama aja. Kamu gak usah cari di koran lagi," ujar Maria sambil menjahit. "Udah masak?"

Audrey mengangguk.

"Drey?" tanya ibu itu lagi, yang sedang tidak melihat ke arah putrinya.

"Udah dianter ke rumah mereka, malah."

"Jalan, ya?"

"Terbang."

"Ih, kamu ini. Ditanya serius malah ngguyon."

Audrey mengubah posisinya menjadi duduk tegak. "Iya, Mama. Jalan. Lagi lebaran gini, angkot pada mudik."

"Jauh?" tanya Maria, menatap anaknya kasihan.

"Udah biasa, Ma." Gadis itu tersenyum. "Pas tadi aku liat di jendela kafe, ada lowongan pekerjaan. Tapi gak dicantumin harus ada ijazah SMA. Nah, nanti pas udah selesai libur lebaran, aku rencananya mau ngelamar."

Maria mengernyit. "Kafe yang mana?"

"Kafe..." Audrey menggaruk kepalanya yang memang gatal. "Gak tau. Lupa namanya apa. Tapi, desainnya itu kayak bar gitu, lah. Tipe-tipe kafe anak jaman sekarang."

"Oh, yang di perempatan itu?"

"Nah iya."

Maria mengangguk. "Semoga kamu keterima, ya."

"Amin," harapnya sepenuh hati.

***

Satu bulan kemudian...

"Ini gimana?"

"Ck. Ini kan disamain penyebutnya jadi gini," ujar Max gemas akan kelemotan adiknya. "Makanya, kalo lagi pelajaran tuh jangan tidur."

Stephanie tidak menanggapi kalimat terakhir kakaknya, gadis itu memilih untuk meneliti apa yang sudah kakaknya kerjakan. "Trus, yang ini—"

"Berisik lo. Gue mau jemput Fio dulu," ujar Max, lalu bangkit dari ranjangnya.

"Kak, ntar gue gak lulus UN gimana?!" panik Stephanie.

"Bodo."

Gadis itu semakin panik melihat kakaknya mengenakan jaketnya yang menandakan bahwa dia benar-benar akan pergi.

"ISH DULU PAS SAMA KAK AUDREY LO GAK GINI!!"

"Gak sebahagia ini, maksud lo?" Max tersenyum miring.

"Najis anjir," ujar Stephanie lalu sibuk dengan PR-nya lagi.

Tidak lama kemudian, deru motor terdengar, dan itu artinya kakaknya benar-benar meninggalkannya.

Sialan.

Dengan kesal, gadis itu menelepon temannya yang akhir-akhir ini selalu menghubunginya.

"Mick, bisa ke rumah gue, gak?"

***

Audrey memasuki sebuah kafe dengan pakaian kasual yang dia miliki. Jins dan kemeja yang dia kenakan cukup untuk membuatnya nyaman saat itu.

Dengan semangat yang membakar dirinya, dia memasuki ruangan yang tadi ditunjukkan oleh seorang gadis, ruangan yang, di dalamnya, terdapat pria pemilik kafe itu.

"Selamat siang, Pak," ujar Audrey sopan kepada pria yang duduk di kursi kebesarannya itu.

"Siang." Pria itu terseyum sopan, lalu mempersilakan gadis di hadapannya duduk, "Silakan duduk."

"Saya mau melamar," ujar gadis itu setelah duduk nyaman di sebuah kursi di sana.

"Melamar saya?"

Audrey terkekeh, lalu menggaruk punggung tangannya yang tidak gatal. "Hehe, melamar pekerjaan, Pak."

Untuk beberapa detik, wajah pria itu berubah, lalu, dia mengangguk paham.

Pria berotot bernama Revan itu memindai Audrey dari atas sampai sebatas tubuh gadis itu yang tidak tertutupi oleh meja di hadapannya.

"Kamu ada—"

"Ijazah SMA?" tanya Audrey terdengar sangat muak. "Enggak, Pak."

Revan Santoso mendengus pelan namun masih terdengar oleh gadis di depannya. "Terakhir sekolah kelas berapa?"

"Sebelas."

"Sebelas itu dua SMA, ya?"

Audrey mengangguk.

"Ya sudah, besok mulai bekerja, ya."

Antara kaget dan senang sekarang tidak ada bedanya bagi Audrey. "Loh, gak ada wawancara atau deal mengenai gaji atau apa pun itu?"

Revan tersenyum menangkan. "Kamu tenang aja. Di sini, upah kamu melebihi UMR, kok. Asal kerja yang bener aja."

"Oh, gitu, ya?" Audrey mengangguk paham, lalu tersenyum cerah. "Terima kasih, ya, Pak."

"Sama-sama. Untuk seragamnya, cari di dapur, ada namanya Putri. Nah, tanya dia."

"Oh, oke."

Audrey bangkit dari kursinya, berterimakasih sekali lagi, menyalami Revan, lalu keluar dari ruangan pria itu untuk menemui Putri.

Dia tidak sabar untuk memberitahu ibunya tentang kabar baik ini.

***

27.10.17

ephemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang