when will all my problems end?***
Waktu berjalan dengan kelancangan yang nyata.
Dia terus berjalan maju tanpa mau tahu apa yang terjadi satu detik yang lalu, seakan masalah di satu detik itu akan terurai di detik berikutnya.
Hal itu membuat banyak manusia memilih kabur bersamanya, tanpa menoleh ke belakang, membuat semakin banyak masalah yang timbul. Bukan karena tidak diatasi, tapi karena alasan yang mendasarinya. Ketakutan dan kekhawatiran yang menghantui dan mencegah mereka menyelesaikan persoalan itu.
Tapi, ada juga beberapa insan yang memilih untuk tertinggal, terseok-seok, dan menyusul perlahan demi mengurai pergumulan mereka satu persatu dengan kekuatan untuk mengabaikan ketakutan dan kekhawatiran mereka, hingga mereka sampai di satu titik di mana, semua pergumulan itu hilang setelah terselesaikan dengan baik, walaupun orang-orang itu harus mengejar ketertinggalan yang menumpuk.
Audrey adalah satu dari sekian contoh manusia tipe kedua.
Gadis itu rela meninggalkan sekolah, pergaulannya yang menyenangkan, dan segala aktivitas untuk melupakan realita yang terdapat di dalam ponselnya untuk mengurai satu masalah terbesar dalam hidupnya saat itu.
Ambil contoh, saat hari itu, sepulang ibadah di gereja, Max mengajaknya untuk makan siang bersama, Audrey menolaknya dengan alasan, gadis itu harus mempersiapkan segalanya untuk kembali memulai satu minggu penuh kerja keras keesokan harinya.
"Ke pasar aja, yuk, temenin gue," pinta Audrey, lalu tanpa persetujuan menggandeng dan menarik tangan kiri cowok itu.
Max yang bergeming di tempat, membuat Audrey berkata, "Lo nggak mau? Ya udah, kalo gitu gue—"
Kalimat itu terhenti di sana kala cowok itu menarik tangan kanan gadisnya yang masih menggenggam tangan kirinya, dan membuat gadis itu berdiri kaget tepat di sebelahnya.
Max menunduk, menatap mata Audrey dengan tegas dan lembut.
"Lo yang belum sarapan itu udah salah banget, Tha. Lo terakhir makan jam berapa," tanyanya tanpa intonasi sebuah pertanyaan.
Ditatap begitu, Audrey mengalihkan tatapannya dengan gugup, lalu menjawab, "Jam tujuh...?"
Max mengalihkan tatapannya, lantas mendecak kesal. Cowok itu menarik gadisnya untuk melangkah mencari tempat makan dengan ritme langkah yang sangat cepat.
"Apa, sih, yang lo dapet dengan nggak makan?" tanya cowok itu terdengar geram, bahkan pegangan tangannya mengerat.
Audrey meringis.
"Bocah." Max terdengar sangat muak.
"Maaf," sesal Audrey. "Max, sakit."
"Apaan?" Cowok itu langsung mengarahkan seluruh fokusnya ke gadis di sebelahnya, dan menatap kedua mata hitam itu intens.
"Tangan lo," ujar Audrey lirih sambil menunduk berusaha melepaskan genggaman tangan—
"Kalo lo nggak mau dipegang seerat ini, lo tau apa yang harus lo bikin," tandas Max, menggagalkan rencana Audrey membebaskan tangannya yang lesu dari genggaman itu.
Tidak lama dari situ, keduanya sudah duduk di sebuah rumah makan sederhana, dengan Audrey yang terlihat pucat dengan sakit di ulu hati yang ditahannya.
Max berusaha meredam badai kecemasannya dengan berkata, "Lo pesen, gue beli obat dulu. Jangan makan sebelum lo minum obatnya."
Audrey mengangguk.