rlzn

530 55 42
                                    


you don't deserve her.

***

"Max, lo kenapa, sih?"

Ronald melirik cowok di sebelahnya yang hanya duduk diam dengan kedua tangan melingkari kedua kakinya yang ditekuk ke atas, ketika hampir semua orang bermain di pesisir pantai menjelang menghilangnya senja.

Sejak pukul 14.00 waktu Yogyakarta, sejak rombongan SMA PERSADA sampai tadi, yang Max lakukan hanyalah duduk dan mengecek ponselnya, sama sekali tidak tertarik dengan semua keindahan alam di hadapannya.

Kalau saja para guru memperbolehkannya berdiam di dalam bis, maka dia tidak akan duduk di atas pasir saat itu.

Dari tempat duduknya, Ronald menyaksikan teman-temannya yang sesekali melirik ke arah mereka, seakan bertanya apa gerangan yang sedang menimpa Max, sehingga cowok itu terlihat begitu patah arang.

"Anak-anak nyariin lo, tuh," ujar Ronald.

Dan Max memilih untuk diam, dan mengecek pesan yang dikirimkannya pada adiknya beberapa puluh menit lalu.

Maximus Ryan: audrey gimana?

Stephanie.: baik

Maximus Ryan: lo bisa ga sih balesnya cpt.

Stephanie.: urusan gw bkn lo doang.

"Gue yang bego apa emang Fio udah jadian lagi, sih?" tanya Ronald terdengar heran.

Max mengangkat kepalanya demi melihat Ryan dan Fiona duduk berdua tidak jauh di depannya.

Fio menyandarkan kepalanya di bahu Ryan yang merasa iba ketika mendengarkan cerita gadis itu.

"Gimana rasanya, ngeliat mantan lo jadian sama sahabat lo, satu hari setelah lo berdua putus?"

Max terdiam, jauh di dalam hatinya, dia merasa dibodohi. Maksudnya, jika Fiona benar-benar mencintainya, maka gadis itu tidak akan bisa berpaling pada pria lain secepat itu.

"Lo gak bisa definisiin rasanya?" Ronald mendengus. "Coba tanya Audrey."

Max terdiam kala kalimat itu menghantamnya telak.

"Gue pikir, lo nggak berhak dapetin Audrey, Max," ujar Ronald terdengar seperti nasihat seorang sahabat, "salah. Kita nggak berhak. Dia berhak dapetin yang lebih dari lo, dari kita."

"Maksud lo?"

"Maksud gue," Ronald melempar ingatannya ke masa-masa di mana hidup Audrey berada di ujung tanduk, "cewek itu bisa sendiri. She ain't need no man. She's a damn survivor."

Max masih saja tidak memberikan respon selain telinga dan pikirannya yang menyimak.

"Were you there?" tanya Ronald tiba-tiba.

"Where?"

"In her hard times."

Max menundukkan kepalanya masih sambil memeluk kedua tungkainya.

Kejadian subuh tadi masih membekas dengan jelas di kepalanya, dan menghancurkan hatinya sedikit demi sedikit.

Ketika dia melambungkan ingatannya lebih jauh lagi, kenangan yang paling dominan menyerangnya adalah hari di mana dia meninggalkan gadis itu dengan mudahnya, lalu menjalin hubungan baru dengan sahabat gadis itu sendiri, seakan semua yang dilakukannya masih kurang jahat.

Ditemani deburan ombak dan hembusan angin laut, cowok itu terdiam lama.

Maximus Ryan: di rumah ada mickey?

Stephanie.: ada, kenapa?

Maximus Ryan: bilang dia, tolong jagain audrey.

***

"Gue gak tega deh liat Kak Audrey nyapu, ngepel," bisik Stephanie di kolam renang belakang rumahnya.

"Gue juga," ujar Mickey. "Tapi gimana. Kalo kita nawarin bantuan, ntar malah dianggap ngasihanin."

Stephanie menghela napas panjang, "Kak Audrey lagi rentan banget."

Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing untuk waktu yang cukup lama. Yang mengisi waktu hanyalah suara air kolam yang ditendang dua pasang kaki itu dengan perlahan dan konstan.

Lalu, Stephanie dan segala ide cemerlangnya tersenyum lebar.

Mickey menoleh, bertanya heran, "Apa?"

***

Sore itu, Audrey sedang membersihkan kamar Max dengan begitu banyak perban yang menempel di tangannya yang sesekali membuatnya menahan ringisan.

Kamar cowok itu tidak seperti kamar laki-laki pada umumnya. Bahkan, terlihat lebih rapi dari pada kamar adik perempuannya, Stephanie—yang hari itu sudah dirapikan oleh sang pemilik sendiri.

Dan sedikit-banyak, Audrey bersyukur akan hal itu. Karena kedua kakak-beradik itu mengurangi banyak pekerjaan yang menyiksa tubuh lemah-

Audrey berhenti mengelap nakas di samping ranjang Max kala mendapati secarik kertas yang mengintip malu-malu dari dalam laci di bawahnya.

Dengan rasa penasaran yang memuncak, gadis itu menarik kertas yang memiliki sobekan yang begitu familiar baginya.

Dia berlutut di hadapan laci itu, lalu membukanya perlahan demi mendapatkan amplop sobeknya yang hilang, yang masih berisi kertas daftar tunggakan sekolahnya.

Di sana, terdapat tulisan cukup besar khas tulisan tangan Max yang sudah terhafal Audrey di luar kepala.

Tulisan itu berkata: paid off.

Audrey mengusap wajahnya, matanya hampir menitikkan air mata lagi.

What are you doing, Max? batin gadis itu kehabisan akal.

***
To God be the glory,
nvst.
9.11.17

ephemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang