your problem < one minute
***
"Kak, aku ada PR bahasa Inggris," lapor Stephanie sambil membalikkan tasnya seratus delapan puluh derajat demi menumpahkan seluruh isinya. "Ada yang bisa sendiri, ada yang masih bingung."
Audrey mengusap wajahnya yang masih terlihat pucat. "Coba gue liat."
Stephanie memperhatikan gadis di seberangnya dengan iba. Sebenarnya, hari Jumat itu, dia tidak ingin membahas segala pekerjaan rumah dari sekolah sialannya bersama Audrey. Karena gadis yang sudah dianggapnya sebagai kakak kandungnya itu terlihat begitu menyedihkan. Tapi, dia tahu, Audrey akan sangat kecewa padanya bila dia benar-benar mengosongkan jadwal kursus mereka.
Dari pengalamannya, Audrey Agatha Jeremia paling tidak suka dikasihani.
"Bentar, bentar," ujar Stephanie, lalu beranjak pergi menuju ke kamar kakaknya.
Sekembalinya gadis itu, dia menemukan Audrey melipat tangannya di atas meja dan menyandarkan sisi kiri wajahnya di atasnya, terlihat begitu ringkih dan rentan.
"Nih, Kak," ujar Stephanie, menyerahkan sebuah benda bersejarah bagi gadis di hadapannya.
Audrey mengangkat wajahnya. "Ini belum dikasih ke Fio?"
Stephanie mengedikkan bahunya. "Gak tau, ini gue ambil di lemari Kak Max. Lagian, Kak Max sama Fio kan udah putus, masa masih—"
"Hah?" potong Audrey dalam keterkejutan. "Putus? Sejak kapan?"
"Sejak banyak bukti gue serahin ke Kak Max hari Rabu siang, pulang sekolah, jam tiga tepat," ujar Stephanie bangga, begitu detail.
"Bukti?"
"Bukti bahwa Fio bukan cewek yang tepat buat dia, dan bukan sahabat yang berhak didapetin semua orang," ujar Stephanie.
Audrey terdiam.
"Udah, lo pake hoodie-nya, terus kita lanjut belajar."
Jadilah, dalam balutan kain tebal berbau harum itu, Audrey mulai mengajari Stephanie yang menyimak hanya demi menghargai perasaannya saja—gadis itu tidak benar-benar memasukkan semua perkataan Audrey ke dalam otaknya, dia hanya memberikan waktunya untuk menghargai dan menganggap orang lain.
"The rat ran after his hat and—"
"Kak," kalimat Audrey yang sedang membaca teks soal terpotong begitu saja, "gue mau nanya boleh, gak?"
Audrey mengangguk. "Boleh, dong. Mana yang nggak ngerti?"
Stephanie menggeleng sebelum memulai ceritanya, "Suatu hari, lo bangun pagi. Lo ngerasa seger dan udah siap ngerjain apa pun yang lo mau. Saking bahagianya, lo rasa, dua puluh empat jam lo itu akan bener-bener berjalan dengan baik tanpa adanya gangguan sedikitpun."
Audrey menyimak setiap kata yang dikeluarkan Stephanie dengan baik.
"Tapi, terus, ada satu orang dateng. Dia bikin lo ill feel dan ngerusak mood lo dalam waktu kurang dari satu menit. Semua kebahagiaan lo akan dua puluh empat jam tadi ilang cuma karena satu orang itu doang."
"..."
"Pertanyaan gue, lo bakal tetep ngebiarin satu menit itu dirusak, lalu ngejalanin dan berusaha bikin sisa hari lo seperti keinginan lo lagi, atau sibuk membenci orang tadi dan menyerahkan seluruh dua puluh empat jam terbaik lo untuk dia rusak?" Stephanie tersenyum.
"Gue..." Audrey terdiam, terlihat berpikir. "Gue bakal berusaha bikin dua puluh empat jam gue sesuai dengan yang gue inginkan. Gue bakal usahain sisa waktu gue sebaik mungkin."
Senyuman Stephanie melebar. "That's the point. Seumur hidup lo adalah dua puluh empat jam, dan masalah yang lagi lo hadapi saat ini, berdurasibnggak sampe satu menit. If someone breaks you a minute, you just have to enjoy the other minutes you have left."
"..."
"Pernah denger istilah ephemeral?" tanya Stephanie lagi.
Tersenyum, Audrey menggeleng.
"Ephemeral means lasting for a very short time," ujarnya dengan senyuman kecil, "do you know what ephemeral is?"
"..."
"Your problems are ephemeral. Semua masalah lo yang lagi lo hadapi, semuanya akan selesai. They'll last shorter that you think it will." hibur gadis itu dengan tatapan lekatnya, "they are short, Kak. You'll end up as a winner, you'll look back just to know that they're actually nothing."
Audrey tersenyum kecil.
"Your twenty-four hour is still here," tutup Stephanie disertai senyum hangatnya, "you've got this."
***
Sabtu, 28 Oktober. Pukul 23.23 WIB.
"Audrey tadi pulang sama siapa?" tanya Max sesampainya di rumah dari karya wisatanya, dan hanya menemukan adiknya yang masih sibuk dengan novelnya—sebenarnya novel yang Audrey pinjamkan yang ketumpahan mayonaise karena ulah Max dulu.
"Sendiri," jawab gadis itu singkat.
Max terdengar kesal ketika berkata, "Itu si Mickey, emangnya, gak bisa jagain Audrey, apa?"
"Tadi Mickey udah mau nganter, tapi Kak Audrey-nya gak mau," ungkap Stephanie, sesekali melirik kakaknya yang berbaring di atas ranjangnya, "seenggaknya dia nggak ninggalin Kak Audrey pas lagi susah-susahnya eh." Gadis itu berakting seakan dia tidak sengaja menyindir kakaknya.
Max diam saja, lalu nyelonong keluar dari kamar adiknya.
Cowok itu mencari letak ponselnya, dan mengirimkan pesan dengan kecepatan tinggi kala niat buruk Audrey Rabu malam lalu terlintas di kepalanya.
Maximus Ryan: lo dmn?
Maximus Ryan: drey
Maximus Ryan: nsjsjs
Maximus Ryan: jskskwod
Maximus Ryan: ksleps
Maximus Ryan: wpdimz
Audrey: di rumah
Audrey: lo udh sampe?
Maximus Ryan: udah. lo bener di rumah?
Audrey: max gue bakal mikir dua kali sebelum ngejual diri gue
Maximus Ryan: itu bahkan nggak worth it buat dipikirin.
Maximus Ryan: stop bullshitting me.
Audrey: i never bullshit you.
Maximus Ryan: you okay?
Audrey: yeah. you?
Maximus Ryan: same
Audrey: we both lyin aint we
Audrey: but really, thanks for the hugs and kisses tho, i feel warm.
Audrey: and for paying off my school bills
Maximus Ryan: i said i cared
Audrey: you did or do
Maximus Ryan: both.
***
To God be the glory,
nvst.
11.11.17
