"Jesus replied: you don't understand now what i am doing, but someday you will." John 13:7
[this part is a shoutout to Jesus Christ]
***
Senin, 30 Oktober, 13.00 WIB.
"Ma, aku pergi dulu, ya," pamit Audrey pada ibunya yang sedang berbaring di atas ranjangnya setelah setiap pekerjaan rumah dia kerjakan, mulai dari memasak katering, mencuci pakaian, menyapu, mengepel, dan lain sebagainya.
Maria mengernyit. "Bukannya jam empat acaranya?"
"Ini mau mampir ke rumah Max dulu, tiketnya ketinggalan di sana. Sekalian beres-beres dikit."
"Oh, oke. Take care, Drey." Sebelum Audrey beranjak pergi, Maria menahannya dengan pertanyaan, "Tante Martha mana?"
"Lagi anter katering di arisan ibu-ibu," ujar Audrey, "kalo mama butuh apa-apa, telepon-"
Kalimat itu berhenti begitu saja kala Audrey melihat ibunya memejamkan mata dengan begitu erat, dan, dari air mukanya, ibunya itu terlihat sangat tersiksa.
"Ma, kenapa?" tanya Audrey, berusaha untuk tenang walau jantungnya berdetak liar, "apa yang bisa aku bikin?"
Maria mencengkeram tangan putrinya yang sudah duduk di hadapannya, lalu berujar lirih penuh kemenderitaan.
"R...rumah sakit."
Dan seakan semuanya belum cukup menghancurkan itu bagi Audrey, sesampainya di rumah sakit, yang dikatakan dokter adalah:
"Pengangkatan rahim harus segera dilakukan sebelum sel kanker itu menyebar lebih luas."
Satu kalimat sialan itu berhasil membuat gadis itu percaya bahwa hidupnya tidak lebih dari sekadar omong kosong.
***
Hari itu adalah hari di mana Stephanie dan Mickey menunjukkan kebolehan mereka dalam berolah nada dalam pentas seni yang diselenggarakan pihak sekolah.
Setiap anak hanya diperbolehkan membawa-maksimal-dua orang, dan Stephanie memutuskan untuk mengajak Audrey seorang. Jika dipaksa harus dua, maka dia akan mengajak Audrey dan Agatha-kedua orangtuanya selalu sesibuk itu, ditambah dengan kehadiran adik bayinya, dan Maximus Ryan terlihat setidakpeduli itu.
Sedangkan Mickey, dia membawa kedua orangtuanya yang terlihat begitu berkelas dalam pakaian kerja mereka.
Sore itu, karena hujan mengguyur lapangan basket yang mana terdapat panggung dan bangku penonton, maka pertunjukkan musik dipindah ke ruang teater.
Mickey dan Stephanie tampil pukul 16.00. Saat itu, waktu sudah menunjukkan waktu 15.45, dan tidak ada tanda-tanda kemunculan Audrey.
Stephanie, dalam balutan baju terusan sederhana berwarna biru dengan corak bunga warisan ibunya, berkata, "Gimana kalo Kak Audrey beneran gak dateng?"
"Dia pasti dateng," Mickey berusaha menenangkan temannya.
Dengan rambut terurai sederhana dan wajah tanpa sentuhan riasan wajah sedikitpun, Stephanie berjinjit dalam balutan sepatu datarnya, berbisik pada cowok di hadapannya yang mengenakan kemeja kasual.
Mickey berkata beberapa detik setelah gadis itu selesai berbisik, "Gue emang mau nembak dia, tapi-"
"Tembak aja, nyatain perasaan lo," potong Stephanie, "kejujuran nggak akan ngerusak persahabatan."
Mickey menggaruk tengkuknya. "Ya, tapi kan-"
"Pokoknya, hari ini do'i harus udah tau perasaan lo, dan lo harus nembak dia."
