i play hardthey play heart.
***
Senin, 9 Oktober.
Ayana, yang malam itu akan pergi ke rumah sakit untuk mendapat perawatan pra persalinan, mengunjungi kamar anak-anaknya satu persatu sebelum berangkat.
Stephanie ternyata sudah terlelap pulas di dalam kamar gadis itu yang selalu berantakan.
Ayana mengulaskan senyumnya, lalu mengecup kening anak gadisnya cukup lama.
Lalu, wanita itu bangkit dari duduknya dengan susah payah sebelum menyalakan lampu tidur yang terletak di sebelah ranjang putrinya.
Mematikan lampu kamar Stephanie, Ayana menutup pintu kamar itu sesunyi mungkin.
"Ma!"
Ayana membalikkan tubuhnya kala melihat putranya baru menginjakkan kaki pukul 22.30.
Wanita itu menghela napas panjang sambil memijat pelipisnya. "Max, kamu itu, ya. Mama mau lahiran aja kamu masih keluyuran begini."
"Lah, mama ngapain di atas? Kan sama papa gak boleh naik-turun tangga."
"Nggak usah ikut campur urusan mama, ya," sindir Ayana, lalu melangkah menuju kamar lamanya yang sekarang menjadi kamar anak sulungnya. "Follow me," titahnya.
Max mengikuti ibunya berjalan ke arah kamarnya. Anak itu sebenarnya sedikit seram melihat perut ibunya yang begitu besar, maksudnya, bisa saja kelahiran adik perempuannya itu terjadi di kamarnya.
"Kamu percaya sama yang namanya cinta sejati?" tanya Ayana sambil berdiri di samping sebuah lemari usang yang tidak pernah sekalipun disentuh olehnya.
Bukannya tidak mau, melainkan tidak boleh.
Max mengedikkan bahunya. "Sedikit."
"Percaya atau nggak?"
"Nggak."
Ayana tersenyum, lalu mengeluarkan sebuah kotak yang berisi barang-barang masa lalunya.
Melihat itu, Max berpikir. Lemari sebesar itu hanya menyimpan satu kotak itu saja.
Berarti, lemari itu memang dimiliki dan dikhususkan hanya untuk menyimpan kotak berisi—
Max mengernyit kala Ayana duduk di ranjangnya, di hadapannya, dan mengeluarkan banyak sekali foto polaroid, lampu LED, dan sebuah buku dari dalam kotak berpita cokelat tadi.
"Apa ini?"
Sebulir air mata menuruni wajah wanita paruh baya itu ketika wanita itu berkata.
"His name was Caleb...."
***
Audrey duduk termenung di ranjangnya.
Minggu lalu, gadis itu bercerita segalanya pada Fiona sampai tersedu-sedan. Dia menceritakan segala keluh-kesahnya, mengadukan seluruh bebannya, dan melepaskan semua perasaannya yang selama ini mengekangnya.
Saat itu, gadis itu tidak berpikir sahabatnya akan mengabaikannya keesokan harinya.
Kenyataannya, sejak saat itu, Fiona tidak pernah lagi mencari kabarnya, tidak pernah lagi meneleponnya, dan, ketika berkunjung ke kediaman Atmadja, Fio selalu menempel pada Max demi tidak membuka percakapan dengan Audrey.
Audrey berusaha mencari kesalahannya dalam memperlakukan Fiona, namun dia tidak menemukannya sama sekali selain mempercayai fakta bahwa Fiona yang sekarang masih sama dengan Fiona yang dulu.
Gadis itu sudah terlalu lelah untuk merasakan sakit dan pengkhianatan lain.
Dia bisa menolerir rasa sakit hatinya akan hubungan Max dan Fio, karena dia tahu, keduanya tidak ada salah apapun dalam menjalin hubungan itu.
Tapi, kali ini.
Audrey Agatya Jeremia benar-benar membenci dirinya sendiri.
"Drey, yang surat tunggakan dari sekolah itu, coba mama liat," ujar Maria sambil memasuki kamar anaknya. "Kamu lagi ngelamunin apa?"
"Ini, aku tuh lagi bingung suratnya nyempil di mana," dustanya. "Lupa, Ma. Intinya total dua juta harus ditransfer ke sekolah."
"Oke," ujar ibu satu anak itu, "besok, kamu anter pesenan jaitan, ya, ke rumah Bu RT."
Audrey menganggukan kepalanya.
"Oh, ya, sekalian sama kateringnya Bu Lilis jangan lupa. Soalnya Ibu yang satu itu tuh selalu...."
Sembari ibunya berceloteh, Audrey memejamkan matanya dan menautkan kesepuluh jarinya.
Air matanya hampir mengalir kala dia berkata dalam hatinya.
God, why is my life like this?
***
"That's what true love is," Ayana menutup ceritanya yang dihiasi senyuman dan air mata.
Dia yakin putranya menyimaknya dengan baik kala anak itu bertanya, "Mama masih sayang sama Om Caleb?"
"Masih. Dan akan selalu begitu. There are places in my heart and he came in one."
Max terdiam lama. "Jadi maksud mama adalah?"
"Cinta sejati tidak membutuhkan hubungan, Max," ujar Ayana. "Cinta sejati kamu mungkin ada di luar sana. Tapi, siapa pun dia, gadis itu tidak akan memaksakan sebuah hubungan. Karena, yang mereka, para cinta sejati, butuhkan adalah cinta, bukan hubungan."
Max mengernyit. Dia seperti pernah mendengar kalimat itu, namun dia lupa di mana dan siapa yang mengatakannya.
"Audrey atau Fiona, itu pilihan kamu," ujar Ayana, "mama akan bantu doa buat dia yang menjadi cinta sejati kamu nanti, seperti yang dilakukan Oma. Oma yang ngedoain papa sama mama supaya akhirnya menikah, walaupun papa sama mama waktu itu gak ada status, bahkan musuhan."
"Doa ibu itu manjur, ya?"
"Makanya mama minta kamu pikir baik-baik, siapa yang mau mama doain untuk jadi pasangan hidup kamu nanti. But you have keep fighting for the girl, because all i do is just supporting."
Max mengangguk.
Ayana menepuk pundak anaknya setelah selesai membereskan benda bersejarah yang membuatnya banjir air mata.
"Max, satu lagi," ujar Ayana sebelum meninggalkan kamar putranya.
Cowok itu mengangkat sebelah alisnya.
"Love is not the same with replacement."
***
by the way, pengalaman audrey curhat trs ditinggalin besokannya itu pengalaman aku pribadi.
yeah, i know, humans suck.
To God be the glory,
nvst.
5.11.17
![](https://img.wattpad.com/cover/123456841-288-k44108.jpg)