thnkn

530 54 15
                                    


who made me like this?, the heart asked.

***

Sial seribu sial.

Seakan satu emosi paling mengganggu dan membakar itu sudah reda di dadanya, Max disuguhkan dengan pemandangan yang bahkan tidak ada dalam daftar hal-hal yang ingin dilihatnya dalam hidup.

Sekitar satu setengah jam lalu, dia harus begitu tersiksa merasakan sakit hatinya melihat Audrey sebegitu dekatnya dengan Mickey.

Dan sekarang, pukul setengah sembilan malam, ketika dia rasa dia bisa memenangkan dirinya di bar yang penuh manusia dan euforianya itu, dia harus merasakan rasa kekesalan mendalam itu lagi ketika Audrey memasuki bar di pojok tersepi dengan Mickey dan saudaranya laki-laki yang lain. Mereka bertiga terlihat asyik membicarakan musisi, yang Max duga merupakan Hillsong.

Dan seakan belum panas, Max harus berusaha mengalihkan fokus dan pikirannya ketika melihat Audrey sesekali melempar senyum yang itu, senyum yang diklaim sebagai milik Max seorang.

Max menenggak air anggurnya. Cowok itu mencengkeram kaki gelas kaca itu dengan sangat erat.

"I don't love her. I don't love her. I don't love her."

Lalu, matanya tiba-tiba berubah menjadi mata elang kala mendapati Audrey merangkul bahu Mickey dan menyandarkan kepalanya di bahu cowok itu dengan santainya.

Cengkeramannya mengerat.

"Fuck, i love her!"

Gelas itu pecah.

Cowok itu menonjok meja yang penuh dengan beling itu dengan seluruh emosi yang menumpuk di jiwanya.

Dengan langkah panjang-panjang yang menghentak, Max berjalan keluar dari sana dengan tangan yang berlumuran darah, tapi tidak diberikannya sedikit pun kepedulian.

***

"Gak. Pokoknya Audrey cuma buat gue."

"Lah, Max, kan udah sepakat kita dukung Ryan bareng-bareng buat dapetin—" kalimat Ronald terpotong begitu saja.

"Iya, Anjing, gue tau," kesal Max dengan kedua kepalan erat tangannya yang dimasukkan ke dalam saku celananya. "Gue gak peduli. Audrey cuma buat gue."

"Coba kalo lagi hidup tuh otaknya dipake," Noah ikutan kesal.

Kali ini, yang memojokkan Max adalah Harris. "Gak bisa, Max. Audrey itu tipe cewek yang diincer semua cowok baik-baik. Dan lo udah ngelepasin dia gitu aja. Goblooook, goblok."

Walaupun diam, bukan berarti dia setuju akan fakta yang dikatakan Harris tadi. Cowok itu hanya berusaha meredakan ketegangan dalam dirinya yang begitu sulit dikendalikan.

Fazar angkat bicara, "Audrey lo gak bisa buat lo lagi,—"

Kalimat itu terpotong begitu saja ketika pintu di dekat mereka memunculkan Audrey dan Mickey dengan tautan tangan persahabatan dan derai tawa renyah gadis itu.

"—Max."

Rahang cowok itu mengetat semakin erat, melihat Mickey dengan enaknya menggandeng cewek itu seakan Audrey adalah miliknya seorang.

"Mereka jadian?" celetuk Fazar yang melayang begitu saja tanpa kepastian.

"Apapaun itu, kita harus bantuin Ryan dapetin—"

"Audrey cuma punya gue." Kemurkaan Max menggelegak. Cowok itu menatap Alex dengan geramnya. "Gue harap lo ngerti."

"Ya, gak bisa, lah," ujar Alex santai seakan Max tidak baru saja memelototinya, "Ryan kan menang tender. Ya, dia lah yang berhak."

ephemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang