who the fuck cares.
***
"Fi, gue bawa makanan buat lo."
Masih di hari sore hari yang sama, Audrey yang baru tiba di rumahnya berkat kebaikan hati Mickey, berjalan memasuki istananya itu dengan wajah lelahnya.
Hari itu, Mickey benar-benar menjadi sebuah mujizat ketika Max adalah sebuah malapetaka. Di hari yang menguras keringat dan emosi itu, Audrey merasa, segala sesuatu terasa begitu menyentil hatinya. Sebenarnya, bukan saja hatinya, tapi juga fisiknya. Setelah sekian lama, kelemahan tubuh akhirnya menghinggapi gadis itu lagi.
Dan Max yang bertingkah seperti itu sungguh merepotkannya.
"Mama," sapa Audrey lalu mencium pipi ibunya singkat. "Apa kabar, Ma?"
"Baik, tadi sama Tante Martha ke pasar. Belanja bulanan, biasalah ibu-ibu."
"Back to ibu-ibu life be like," gurau gadis itu sambil nyengir. "Ngomong-ngomong, mama udah nggak ngerasa apa-apa lagi?"
"NAAAH!"
"Buset, apaan."
"Untung kamu ingetin!!" Maria tersenyum lebar. "Besok mama kontrol ke rumah sakit. Jam dua belas. Kamu anterin mama ya!"
"SIAP BOS!"
Mendengar itu, Maria mengusap puncak kepala anaknya, lalu tersenyum kecil. "Ntar malem, kita anter Tante Martha ke terminal, ya."
"Mau pulang?"
"Iya," terdengar sulit melepaskan.
"Yah," terdengar tidak rela membiarkan seseorang itu pergi. "Kita kasih apa, Ma, buat Tante Martha?"
"Udah mama siapin amplop, udah ditaro di dalem tas nya." Maria tersenyum, lalu mengacungkan jempolnya.
Audrey membalas acungan itu dengan cengiran yang lebih lebar.
Ibu dan anak itu seakan bersekongkol meracuni istri pertama seseorang demi merebut warisan yang ditinggalkan si suami.
Cengiran itu masih ada sampai Audrey bertanya.
"Oh iya, Fio apa kabar, Ma, seharian ini?" tanyanya sambil berjalan memasuki kamarnya.
"Seneng dia main sama Ibet. Liat aja di kamar tuh!"
"Astagaaa." Audrey terkekeh, lalu berdecak kegum melihat Gilbert yang tertidur pulas dalam pelukan sahabatnya. "Akurnyaaaa...."
Maria menatap tubuh anaknya dari belakang.
Gadis yang selalu siap bertarung dan butuh sandaran di saat yang bersamaan itu adalah darah dagingnya. Satu hal yang menjadi motivasi hidupnya. Satu hal yang disyukurinya pertama kali setiap dia bangun dari tidur malamnya. Satu hal yang menjadi penyemangat ketika dia benar-benar ingin menyerah melawan kanker dan ketandusan ekonomi yang menggerogotinya perlahan-lahan.
Ingatan wanita itu kembali ke beberapa bulan lalu di mana terakhir kalinya dia menyaksikan momen saat anaknya memeluk sang ayah dengan tangisan dan kasih sayang yang tulus seperti dulu. Terakhir kalinya dia percaya keluarganya baik- baik saja.
Beberapa bulan dari itu, putrinya kembali dari kunjungannya menengok sang ayah di dalam sel penjara. Dan kalimat papa baik-baik aja terdengar seperti lagu pengantar tidur yang memberikan kenyamanan sesaat hanya untuk hilang di keesokan harinya.
Wanita itu tahu putrinya itu berusaha membuatnya tenang, tapi ketenangan yang sama juga membuatnya penasaran dan menangis hampir di setiap malam yang dia lewati.