grmny

406 30 4
                                    


God has the best plans.

***

Minggu, 22 April.

Audrey membenci itu ketika, sedari pagi, banyak orang sudah berkumpul di kediaman Louisa yang hari itu berulang tahun.

Christian dan Aleesa, Marcel dan Keyana, bahkan Ary dan Ayana yang baru sampai tadi malam pun sudah berada di rumah ibu mereka pagi-pagi sekali.

Namun, lihatlah apa yang terjadi pada Audrey Agatha.

Gadis itu sedang sibuk-sibuknya membenci dirinya sendiri karena tubuh lemahnya gagal menyesuaikan diri dengan German yang sangat dingin dan bersalju.

Audrey terbangun pukul 06.00 dengan tubuh membeku, dan tidak lama kemudian, darah keluar dari hidung gadis itu, sehingga Max memaksanya untuk pergi menemui dokter.

"Nggak usah, ntar—"

"Masih kerasa dingin?"

"Mmm..." Audrey mengangguk. "Mayan, sih."

Max melepas winter coat yang dikenakannya, lalu mengenakan pakaian super tebal itu pada gadisnya yang, padahal, sudah mengenakan 3 lapis baju hangat.

"Terus lo pake apa?" tanya Audrey sambil membersihkan bekas darah dari hidungnya. "Max, ntar lo kedinginan."

"Masuk," perintah Max, tidak menyinggung sedikitpun kalimat Audrey sebelumnya.

Itu semua karena dia merasa sangat khawatir dan cemas di saat yang bersamaan, tapi cowok itu terlihat begitu terampil menata emosinya.

Mengetahui sesuatu bersembunyi di balik ketenangan cowok itu, Audrey segera masuk ke dalam mobil itu, dan duduk di bangku penumpang depan.

Tidak lama kemudian, mereka sudah berada di jalanan yang licin. Max berusaha mengendarai itu seaman mungkin, mengingat kecelakaan rawan terjadi di musim salju.

Sedang Max memfokuskan perhatiannya pada jalanan, Audrey sibuk memperhatikan jalanan, terutama orang-orang di sekitarnya.

Di antara sekian banyak yang gadis itu amati, yang paling membekas di ingatannya adalah pemandangan seoramg ibu dan anak perempuannya.

Pemandangan itu benar-benar menarik perhatiannya, karena, kala itu, putri kecil yang manis itu terjatuh, dan keningnya sedikit menggesek onggokan salju trotoar, sehingga membuat dahinya agak lecet dan berdarah.

Ibundanya tidak tinggal diam. Wanita itu terlihat begitu terkejut dan tersiksa melihat anak kecilnya menangis kejar. Dengan raut khawatirnya, dia memukul-mukul salju itu, seakan salju itulah pihak yang salah karena sudah melukai anaknya, sehingga es putih itu patut diberi hukum—

"ADUH!"

Audrey terkejut kala Max membuat sandaran joknya turun jauh dari posisi awalnya.

"Tidur," ujar cowok itu sambil menarik dagu gadisnya ke atas. Dia membagi perhatian kepada dua hal dengan sangat baik. "Liat atas, jangan nunduk. Nanti darah lo tambah banyak. Jangan diisep."

"Kan udah kering?"

"Terus itu apa di jaket gue?"

"Yah, keluar lagi," desah Audrey kecewa saat melihat bekas darah dari hidungnya di jaket cowok itu. Gadis itu kehilangan harapannya untuk mengubah pemikiran Max untuk membawanya ke dokter.

Max mengelus puncak kepala gadisnya yang terlihat kesal, lalu tersenyum miring. "Ngambek kenapa, sih?"

Audrey menepis tangan Max sambil berkata kesal, "Gue nggak mau telat ke acara Oma Louisa."

ephemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang