be a pearl;
simple. rare. tough. expensive.***
Sepulang dari pentas seni itu, Audrey diantar pulang oleh Mickey dan Stephanie dengan bantuan supir pribadi Mickey.
Di dalam perjalanan tadi, Audrey tidak henti-hentinya berterimakasih dan menyatakan kekagumannya akan penampilan kedua sahabatnya tadi.
Stephanie dan Mickey, mau tidak mau, jadi salah tingkah juga. Stephanie akhirnya mengubah haluan percakapan dengan menceritakan tentang Our Home dan pendirinya. Dia berkata bahwa ketigapuluh anak tadi merupakan generasi kedua Our Home, yang artinya, merupakan anak-anak dari generasi pertama komunitas itu.
Tidak memakan waktu lama untuk Audrey sampai di rumahnya.
Sebelum gadis itu turun, dia berkata kepada adik temannya yang duduk di sebelah kanannya.
"Steph, makasih, ya, lo keren," ujar Audrey tulus.
"Mick."
"Drey."
Audrey dan Mickey saling tatap, menunggu siapa yang akan bicara terlebih dahulu.
Stephanie, yang duduk di antara keduanya, menunggu dengan harap-harap cemas.
Tembak, Mick, tembak, bisik gadis itu kepada sahabatnya di dalam hati.
"Lo dulu?"
"Lo dulu?"
Audrey tertawa kecil. "Gue dulu, ya?"
Mickey mengangguk.
"Makasih lo udah mau jadi sahabat gue, dan, gue tau, lo berbakat banget," ujar gadis itu membuat cowok itu tersenyum. "Lo mau bilang apa tadi?"
"Gue mau bilang, lo hebat, dan semua yang lagi lo hadapi itu under God's control."
Cowok itu tidak menghiraukan sahabatnya yang mendesah kecewa di sebelahnya.
Mickey dan Audrey saling melempar senyum.
"Thanks. Lo berdua manusia favorit gue," ujar Audrey dengan seulas senyumnya, lalu turun dari dalam sana.
"Lo kenapa gak nembak, Mick?!" seru Stephanie kesal.
Mickey menatap sahabatnya dengan serius. "Dia gak butuh, Steph. She's on her own, and that's enough. "
"Tapi—"
"That kind of queen doesn't need a king."
***
Audrey berjalan ke rumahnya dengan semangat yang pulih kembali berkat dua sahabatnya tadi. Senyumnya tidak pernah menghilang, walaupun fajar sudah tersingsing sejak lama. Semua gerak dan bahasa tubuhnya seakan berkata bahwa dialah manusia paling beruntung di dunia.
Dalam hatinya, dia bersyukur karena dua manusia—
"Drey."
Audrey batal membuka pagar kecil rumahnya yang bercat putih dengan banyak karat tergores di sana.
Gadis itu mengernyit ketika mendapati, "Max?" beberapa langkah di hadapannya.
Maximus Ryan melangkah mendekat, menyisakan tiga langkah di antaranya dan gadis itu.
"Lo kemana aja?" tanya cowok itu dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.
"Gue tadi abis ke rumah sakit, terus nonton pensinya Mickey sama Stephanie," ujar Audrey.
Max masih terdiam dengan ekspresi yang sama.
Gadis itu lalu berujar dengan gugup kala mengira dia paham arah pertanyaan cowok di hadapannya. "Ma-maaf gue gak ke rumah lo. Ntar semuanya gue beresin besok. Gue janji besok dateng ke rum...."
Secepat yang dia bisa, Max mendekap Audrey dan menenggelamkan wajahnya di lekukan leher gadis itu demi menghirup aroma surai gadis itu dalam-dalam.
"Lo kenapa susah banget dihubungin, sih?"
Audrey yang kesulitan dengan ketidaktaatan jantungnya dalam berdetak, berkata sebisanya, "G-Gue hapenya di ketinggalan."
Gadis itu memejamkan matanya dengan ringisan yang ditahannya, lalu berdeham. "Max?"
"Hm?"
"Mmm.... boleh lepas, nggak?"
Max menggeleng.
"Kenapa?"
"Kangen."
Audrey meringis tanpa suara. "Tapi gue capek."
Max masih bersikeras, "Gue masih betah, Drey."
Dalam hatinya, Audrey terus mengumpat. Menyalahkan hatinya yang masih saja luluh pada manusia yang sedang mendekapnya seenak jidat itu.
Beruntung, karena Max akhirnya melepaskan dekapan eratnya.
Tapi, dia tidak berniat untuk melepaskan Audrey secepat itu.
Dengan mata yang tidak pernah terlepas dari mata gadis di hadapannya, cowok itu bertanya.
"Lo baik-baik aja?"
"Mm... ya," gumam Audrey sambil berusaha menghindari tatapan mata hitam pekat mantannya.
Max masih saja mengincar tatapan mata gadis itu. "Liat gue kenapa sih, Drey?"
Audrey menghela napas pelan, lalu menatap cowok itu tetap di matanya. "Apa?"
"Lo baik-baik aja?" ulang Max dengan intens.
Audrey baru saja mau mengalihkan tatapannya, ketika Max menangkup wajahnya dan menatapnya dalam-dalam.
"Drey."
"Max, i'm trying to be okay."
"But you don't have to fake anything."
Kini, Audrey memberanikan dirinya untuk menatap Max tepat di matanya. "What are you doing?"
"Showing you that i care." Tatapan cowok itu melembut. "I don't love you anymore, but at least i care."
***
To God be the glory,
nvst.
14.11.17
