ttckd

479 58 11
                                    


beauty ain't physical.

***

Operasi itu berjalan lancar.

Dan Audrey bersyukur karena hal itu bisa memotivasi hidupnya. Dia tahu dia berguna ketika, sedetik setelah ibunya keluar dari ruangan operasi, kesehatan ibunya menjadi tanggung jawabnya. Sang Pemberi Kesempatan sudah memberinya kesempatan dan kali ini adalah waktunya dia membuktikan bahwa dia bisa dan layak diberi kesempatan itu.

Sejak saat itu, lima hari berturut-turut ruang rawat inap Maria dikunjungi banyak orang. Itu membuat Audrey bersyukur karena setidaknya ada segelintir dari anak manusia yang masih menganggap keluarganya ada.

Hari ini, giliran Ibu RT yang datang menjenguk. Wanita itu meminta maaf karena baru kesampaian sekarang, hal itu dikarenakan putranya, Gilbert, yang sempat tidak enak badan dan tidak mau ditinggal pergi.

"Loh, Bu, tadi katanya sama Gilbert? Gilbertnya mana?" tanya Audrey kala mendapati wanita itu datang seorang diri.

Dewi mendekati ranjang Maria ketika menjawab, "Di luar, gak boleh masuk sama satpam."

Maria menepuk tangan Audrey, membuat gadia itu menatapnya. "Kamu temenin Gilbert, mama mau ngobrol sama Bu Dewi."

Audrey mengangguk, lalu berjalan ke luar ruangan ibunya. Tidak lama kemudian, dia sudah di tempat di mana Dewi meninggalkan puteranya di bawah pengawasan satpam.

Sekeluarnya dari ruangan itu, yang didapatinya dalam sekejap adalah seorang anak yang berdiri tepat di sebelah pintu dengan sembunyi-sembunyi.

"Eh, Gilbert?" Audrey menghampiri bocah itu. "Ngapain? Nungguin mama?"

Bocah itu mengangguk.

"Si mama lagi ngobrol sama mamanya kakak. Kita jalan-jalan aja, mau, gak?" tawar Audrey dengan cengiran di wajahnya.

Walaupun cemberut, bocah itu akhirnya pasrah. Dia menggandeng tangan Audrey—yang bahkan belum gadis itu ulurkan—lalu menuntun Audrey ke jalan keluar tempatnya masuk tadi.

"Kenapa, sih, mama masuk sendiri? Kenapa Ibet ditinggal sama Pa Sapam?"

"Soalnya Ibet masih kecil, nanti ketularan penyakit," ujar Audrey tanpa tahu bahwa bocah di sebelahnya merasa tungkai mungilnya sudah berjalan secepat mobil balap, padahal dia hanya melangkah kecil menggunakan kaki-kaki kecilnya.

Bibir mungil itu semakin mengerucut. Dia memendam kekesalannya sembari berjalan menuju pintu keluar.

"Ibet laper, Kak," ujar bocah itu sambil ketika akhirnya mereka sampai di luar rumah sakit. "Tadi cuman makan cuanki."

"Ibet mau makan apa?" tanya Audrey.

"Apa weh. Tapi di situ boleh, gak, Kak?" bocah itu menunjuk sebuah kafe yang ramai. Kafe anak muda yang baru launching dan, Audrey tahu, harganya terjangkau baginya.

"Ya udah. Makan di sana atau dibungkus?"

"DI SANAH!!"

Tidak lama kemudian, Gilbert sudah berada di sana, duduk di sebuah kursi dengan es krim cokelat di tangannya yang dengan belepotannya dia lahap. Bocah itu terlihat sangat menikmati makanan dinginnya, dan mensyukuri cuaca panas yang memberinya kesempatan menghayati es krim itu lebih lagi.

ephemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang