lv

510 51 65
                                    


you own me.

***

Dua minggu kemudian, semuanya berjalan seperti biasa. Terutama bagi Maximus Ryan dan Fiona Princessa.

Keduanya, seperti biasa, menghabisi dua puluh menit atau lebih setelah jam pulang bersama dengan teman-teman futsal Max yang turut membawa gadis mereka. Tak jarang, sepuluh orang lebih itu pulang malam berhubung gerai di kantin itu buka sampai pukul 19.00 malam karena satu dan lain hal.

Tyler dan Becca, pasangan baru jadi itu memilih untuk jarang hadir bersama Max dan kawan-kawan karena keduanya membenci keramaian.

Pukul 14.35 berarti jam pulang sudah lewat lima menit. Kantin sangat penuh dan gegap-gempita. Namun, dua puluhan orang itu selalu mendapat tempat duduknya, selalu dan akan terus seperti itu, seakan di meja itu tertulis "Reserved for Max and friends."

"IH, HARRIS, DI LEHER LO ADA KISSMARK, LO ABIS NGEN—"

Max langsung menyumpal mulut Alex dengan bakso yang berada di mangkuk di hadapannya. "Language," peringatnya.

Harris menggaruk keningnya yang tidak gatal. Untuk beberapa detik, perhatian 18 orang itu tertuju kepadanya.

"Goblok lo, Lex," umpat Harris. "Urusan lo banget, ya?"

Alex menggaruk tengkuknya. "Iya, iya, maap. Gue kaget soalnya."

"Bilang aja pengen lo, Ler," ujar Harris masih tidak terima dipermalukan.

Fazar mendecih. "Kaget, mulut lo peyang. Lo liat prosesnya aja udah sering, Lek."

"Sayang, aku gak mau di sini," adu Fio kepada Max dengan nada yang berkata bahwa dia sangat terganggu.

Max tersenyum menatap gadisnya. "Kenapa?"

"Ngomongnya jorok. Aku gak suka."

"Mau pulang sekarang?"

Fiona mengangguk.

Melihat itu, Max menyandang ranselnya, laly pamit pulang kepada teman-temannya, "Guys, gue cabut, ya."

Fiona menggenggam tangan cowok di sebelahnya dengan bangga.

"Dinas sama ibu negara, Bos?" goda Ronald yang hari itu tidak ditemani gadisnya.

"Yoi," ujar Max disertai dengusan geli. "Duluan, Bro!"

Lalu, Max, dengan Fiona yang menggamitnya, berjalan turun ke lapangan parkir di mana Audrey terlihat memohon belas kasihan seorang satpam yang bersikeras tidak memperbolehkan gadis itu masuk ke ruang tata usaha.

Mereka tidak bisa mendengar apa isi percakapan itu, namun, baik Audrey maupun Pak Satpam itu, keduanya terlihat begitu serius.

"Pak, saya udah disuruh Bu Miriam masuk, ambil rapotnya sendiri," melas Audrey. "Tanya deh, Pak. Katanya, kalo udah lunas boleh ambil. Terus disuruh minta kuncinya ke bapak karna beliau lagi ke luar sekolah. Tadi di telepon bilang gitu," ungkapnya jujur.

"Kamu udah lunas?" tanya satpam itu sambil menatapnya remeh.

Audrey membesarkan hatinya, mengulaskan senyum yakin. "Udah, Pak."

"Moso?"

"Bener!"

"Saya gak percaya."

"Ah ya udah," ujar Audrey akhirnya, "gimana bapak aja."

Satpam itu memainkan tongkat merah di tangannya, lalu berkata, "Kan saya udah bilang. TU dikunci. Gak boleh masuk tanpa bukti konkret."

"Serah dah, serah!" pasrah Audrey, menanggung kecewa karena tidak bisa mencapai tujuannya hari itu. Ini artinya, dia sudah menghabiskan sejumlah uang untuk sesuatu yang sia-sia.

Uang yang dikumpulkan Audrey sedikit demi sedikit dari hasil katering, kursus menjahit ibunya, dan beragam pesanan jahitan yang dipercayakan orang untuk ibunya kerjakan. Uangnya itu dia kumpulkan tanpa sepengetahuan ibunya.

Menurutnya, jauh lebih baik jika rapor itu ada di tangannya. Setidaknya, dia tahu ada satu tagihan yang lunas dan perlahan beban di pundaknya bisa terangkat.

Dari jauh, terlihat Max dan Fiona kaget melihat Audrey. Pasalnya, sudah hampir dua bulan lebih ini mereka tidak mengetahui apapun tentang Audrey dan segala kabarnya. Mereka kehilangan gadis itu dan gadis itu kehilangan mereka.

"Audrey sekolah di mana sih, Max?" tanya Fio ketika Max memakaikannya helm berwarna hitam, helm itu dulu merupakan milik Audrey.

"Gak tau, gue," ujar Max yang sudah selesai memakaikan helm untuk melindungi kepala gadisnya.

Fio berkata kepada Max, masih dengan tatapannya yang tertuju kepada Audrey yang berjalan keluar gerbang sekolah.

"Gue kangen sama Audrey," ujar Fiona, menatap sahabatnya dengan lesu. "Lo tau nggak, Max? Pas SD, kita selalu barengan. Ke kantin berdua, baris berdua, segala-galanya berdua deh. Gak pernah gak berdua. Tapi, lama-kelamaan semuanya berubah karena dia sibuk sama dunianya sendiri."

Max masih tersenyum sambil menatapi Fiona yang bermonolog sambil menatap Audrey.

Fio menghela napas berat, lalu mengembalikan tatapannya pada Max.

Gadis itu mengernyit ketika tahu, sedari tadi dia berbicara, cowok di hadapannya menatapnya sedemikian rupa dengan sebuah senyuman tipikal yang membuatnya merasa tersipu.

Fiona mengerjap. "Apa?"

Max menggeleng.

"Max, apa?"

"Nggak ada apa-apa, Sayang."

"Max, ish!"

"Apa?"

Fiona mencebik kesal. "Ada yang salah sama aku?"

Lagi-lagi, Max menggeleng.

"Ya terus kenapa kamu senyum-senyum gitu?"

Dengan santainya, Max menjawab, "Because i knkw that i own the most beautiful girl on earth."

***

28.10.17

ephemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang