you're my world. don't question it.***
Dua hari setelahnya, Bali menjadi semakin menyenangkan.
Tidak pernah sedetikpun mereka berniat pulang dan kembali pada rutinitas sialan yang menggerogoti inner peace para manusia ketika Bali menjelma menjadi surga dunia terbaik yang pernah mereka kunjungi.
Siang itu, pukul 14.00, rombongan SMA PERSADA sedang meninggalkan hotel untuk mengunjungi sebuah tempat wisata yang dicanangkan dalam agenda perjalanan kali itu.
Audrey dan Stephanie pun tidak tinggal diam. Beberapa jam lalu, keduanya berkelana untuk berburu oleh-oleh yang dititipkan Ayana melalui Louisa yang lalu diberikan kepada Audrey dan Stephanie. Sayangnya, Mickey sesibuk itu bersama keluarga dan saudaranya.
"Lo bisa surfing?!"
Stephanie terkejut ketika beberapa saat yang lalu Audrey berkata bahwa dia bisa berselancar di atas papan dengan lihainya.
Di siang hari dengan panas terik itu, Audrey menatap laut di hadapannya. "Dulu, sih, bisa. Sekarang udah kaku kayaknya."
Ketika dua jam lalu Audrey dan Stephanie berkelana di pulau indah itu, Stephanie tidak pernah berpikir sedetikpun bahwa temannya itu bisa berselancar. Dan sekarang, dia masih tidak percaya ketika melihat Audrey bangkit dari duduknya dan mulai beraksi di laut luas di hadapannya.
Stephanie pun bangkit dari duduknya. "KAK, HATI-HATI!!!"
Seketika, dia menjadi cemas. Terlebih ketika Audrey benar-benar menunjukkan kehebatannya menari bersama ombak dan angin yang mengelus lembut setiap inci tubuhnya yang berpijak di atas papan yang terombang-ambingkan air asin itu.
"Max, lo mah gak perlu mikirin univ mana. Jalur undangan udah di depan— Audrey?"
Max yang tadinya sibuk dengan ponselnya, menoleh kepada Tyler, sahabat sekaligus sepupunya, yang berjalan di sebelahnya dan tiba-tiba saja menyebutkan nama gadis itu.
"Apaan Audrey-Audrey?" tanya Max tidak mengerti.
Tyler memanjangkan tangannya demi menunjuk ke arah laut yang di mana terdapat Audrey yang sedang berselancar di sana.
"Audrey bisa surfing?"
"Audrey gue emang bisa segala," ujar Max bangga, lalu menonaktifkan ponselnya, memasukkan benda itu ke dalam sakunya demi menatapi gadis itu yang sedang bermain bersama alam.
Kebahagiaan terbesar dalam hidup bisa diraih Audrey sedemikian mudah. Hanya dengan berselancar, gadis itu bisa tersenyum senang bahkan hampir menangis dibuatnya.
Selirih angin, gadis itu menyanyikan berbagai lagu pujian pada Sang Pencipta yang menyediakannya kesempatan seindah itu. Hatinya mencelos bahagia, air matanya menetes, membuat seseorang di pesisir itu ikutan tersenyum lebar.
"T-TOLONG!!!"
Audrey berhenti bernyanyi. Gadis itu mengedarkan pandangannya demi mencari sumber suara.
Dan ternyata, di dekatnya, ada seseorang yang sedang memperjuangkan hidupnya di bawah sana.
Kepayahan, gadis itu berusaha bekerja sama dengan ombak yang semakin menyulitkannya menarik tangan orang itu yang ternyata seorang anak kecil.
Audrey memilih loncat, tanpa memikirkan kemungkinan dia akan tenggelam, lalu berusaha meraih bocah itu.
Untuk beberapa detik, dia merasa hampir mati karena jutaan ton air itu seakan berusaha menggagalkan rencananya dengan menyerang matanya sedemikian rupa dan membuat tubuhnya panik.
Di suatu titik yang jauh itu, Stephanie dan banyak orang kenalan Audrey terkejut mendapat gadis itu melakukan aksi gila tersebut. Tidak sedikit dari mereka berteriak dan berusaha menarik perhatian bay watch yang ternyata sedang tidak berada di tempatnya bertugas.
Di tengah laut, dengan mata yang perih dan helaan nafas yang tidak konstan, Audrey kembali ke permukaan dengan seseorang yang tergolek lemas di pelukannya.
Gadis itu berusaha menggapai papan selancarnya, lalu membawa bocah itu ke pesisir pantai.
Sesampainya di pesisir pantai, dia meletakkan bocah itu di pasir. Banyak orang segera mengerubunginya dan membantunya memulihkan kesadaran bocah itu.
"Saya dokter, biar saya yang tangani," kalimat itu layaknya air sejuk yang mengguyur Audrey di tengah panas terik.
Gadis itu segera menyingkir, memberi ruang bagi siapapun yang berpotensi menjadi penyelamat bocah itu.
"Kak, lo nggak pa-pa?" tanya Stephanie pada Audrey yang menatap kerumunan itu dengan doa dan harapan.
Audrey menoleh. "Gak pa-pa. T-tapi, anak ini—"
Maximus Ryan datang hanya demi memeluk tubuh gadis itu dari belakang. Erat. Sangat, sangat erat. Seakan ketakutan terbesar dalam hidupnya sedang mengancamnya.
Audrey terkejut untuk beberapa detik. "Gue nggak pa-pa, Max."
"Jangan gila, Drey," ujar Max terdengar marah ketika melepaskan pelukannya dan menatap gadis itu tepat di matanya. "Lo bisa mati, tadi."
"Gue cuma berharap anak itu selamat. Seenggaknya, masa depan dia lebih cerah daripada—"
"Lo mulai ngaco," potong Max tidak suka.
Audrey menghela napas panjang. "Gue—"
"Gue nggak suka lo kayak tadi. Lo harus mikirin diri lo sendiri juga. Gue udah bilang, lo dunia gue. Kalo lo nggak ada, gue gimana?"
***
To God be the glory,
nvst.
26.11.17