frgttn

500 55 18
                                    


you gave me the reason to step back.

***

Hari ketiga hilangnya Audrey, tidak membuat Max seterkejut dua hari sebelumnya. Tapi, tetap, dia tidak bisa diam saja tanpa memberondong gadisnya dengan banyak pesan singkat.

Hari ini, Audrey sama sekali tidak membalas segala pesannya. Saat menelepon Audrey pun, operator mengatakan nomor Audrey tidak aktif dan mesti dicoba beberapa saat lagi.

Sudah bersaat-saat Max mencoba lagi dan lagi, tapi hasilnya benar-benar membuatnya kesal.

Kalau mengutip kalimat Audrey: "What am i to you?"

Dia ingin sekali berkata begitu, karena dirinya merasa tidak dianggap sebagai orang yang patut diberi kepastian akan apa pun yang berhubungan dengan gadis itu.

"Tolong gunting, dong!"

Hari Kamis ini, para siswa ke sekolah hanya untuk mendekor berbagai macam ruangan untuk kepentingan di hari Sabtu nanti, hari di mana para siswa beserta walinya masing-masing dikumpulkan untuk mengadakan kebaktian syukur di akhir tahun ajaran.

Jumat besok, class-meeting diadakan, dan sehubungan dengan itu, bukannya membantu mendekor, tim futsal kelas 11 IPA A malah melatih skill mereka di dalam kelas.

"Max, lo gak latihan?" tanya Fazar kepada temannya yang hanya duduk di meja guru sambil mengecas baterai ponselnya.

Max diam.

Harris menunjuk Max dengan dagunya sambil menautkan alisnya, seakan bertanya kepada Fazar: "tuh anak kenapa?" yang dijawab Fazar dengan anggukan bahu.

"AAAAHAAAA KENA TIPUU!!" Alex memasuki kelas yang lengang dengan nyanyian lagu iklannya yang memekakkan telinga. "BARANG PALS- Wow, Mek, lo kenapa?" tanyanya, agak terkejut melihat cowok itu terlihat distracted.

Seharian itu, Max diam saja. Tidak bicara, tidak apa. Hanya duduk diam sambil menatap ponselnya.

Alex menepuk punggung temannya. "Heh, pamali duduk di meja. Ntar pantat lo belah, loh. Noh, ada kursi."

Max tetap diam dan memandangi ponselnya.

Melihat Max diam, Alex bertanya lagi, "Kangen Audrey, ya?"

Cowok itu tetap diam.

"Gue tau Audrey di mana," ujar Alex lagi. "DI HATIMUUUU!!"

Kali ini, yang diam bukan hanya Max, Fazar, Harris, Noah, Dwayne, dan lain sebagainya juga ikutan diam. Mereka diam-diam merencanakan percobaan pembunuhan bagi Alex Si Raja Tidak Jelas itu.

Sia-sia.

Usaha Alex menarik perhatian kawannya sangatlah sia-sia.

Bukannya menunjukkan barang sedikit reaksi, seperti mengernyit jijik atau apa, Max malah tetap menatap ponselnya sambil sesekali mengetuk layar ponselnya dua kali, untuk mendapati nihilnya notifikasi di sana.

Semoga Audrey tahu, Max adalah manusia yang lama-kelamaan akan mundur jika tidak lagi dibutuhkan.

"Tadi Fio jatuh dari tangga, Max," ujar Alex sedetik setelah Max memikirkan kemundurannya.

Max mengangkat wajahnya. "Di mana?"

Alex tersenyum puas. "Di aula. Dia nangis soalnya sempet mati rasa, katanya."

Max segera turun dari meja guru, lalu berlari ke aula, ke tempat di mana Fiona Princessa Darmawan membutuhkannya.

***

"Kalian hati-hati di jalan, ya. Drey, jagain mama. Maaf papa gak bisa ikut pulang ke Jakarta."

Audrey mengangguk. "Papa juga take care di sini."

"Doain papa ya, Drey," pesan ayahnya itu sebelum melepaskan anak dan istrinya untuk pulang menggunakan bis yang tiketnya dibeli dari sedikit hasil penjualan ponsel Audrey, seluruh sisanya diserahkannya pada kedua orangtuanya.

"Iya."

"Ongkos ini nanti papa ganti."

Audrey menggeleng cepat. "Papa urusin diri papa sendiri aja di sini. Aku bisa urusin diri aku sendiri sama mama."

"Maaf kalian harus pulang naik-"

"Paaa, it's okay," ujar Audrey. "It's gonna be fun. Rumah baru, lingkungan baru, gaya hidup baru. So many changes and it all is gonna be fun." Gadis itu tersenyum.

Jeremy memeluk tubuh putrinya, dan mengusap puncak kepala anaknya penuh sayang. "Papa bangga sama kamu, Drey."

"Who isn't?" canda Audrey, lalu bersiap naik ke dalam bis ketika ibunya kembali dari toilet.

Jeremy mengecup kening dua wanita paling berharga dalam hidupnya, lalu melepas kepergian keduanya dengan sangat berat hati.

"God bless you, Pa!" seru Audrey dari ambang pintu bis, sambil melambai kepada ayahnya yang terlihat berkaca-kaca.

Jeremia tersenyum, balas melambai.

Audrey mengulum bibirnya, menahan tangisannys yang hampir lolos. Dengan ragu, dia melangkahkan kakinya memasuki bis untuk menyusul ibunya yang sudah duduk di dalam sana.

Namun, sesuatu yang berat seakan menariknya dan memaksanya untuk berlari dan menangis di pelukan ayahnya.

"Maafin papa, Drey," sesal Jeremia bergetar, memeluk putrinya demikian erat. "Maafin papa."

Audrey menggeleng, memeluk ayahnya semakin erat. "I can do it, Pa."

"My little girl can do everything. My daughter is able." Jeremia mengelus punggung anaknya. "Bersandar pada Tuhan, Drey. Lakukan yang terbaik, biar Tuhan melalukan bagian-Nya."

Audrey melepaskan pelukannya, menatap mata ayahnya dengan yakin. "I can do it!"

"We can do it!"

Audrey mengeluarkan ponsel barunya yang hanya memiliki beberapa fitur mendasar. Gadis itu lalu membuka kamera belakang, dan mengambil gambar sambil tersenyum bersama ayahnya.

"Mbak, udah mau berangkat, Mbak!" panggil kenek supir, melambai pada Audrey.

Audrey memeluk ayahnya untuk yang terakhir kalinya, lalu mencium pipi pria nomor satu dalam hidupnya dengan cepat.

"Dadah, Pa," pamit Audrey. "God bless you."

"God bless you too, Drey."

***

25.10.17

ephemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang